DINGIN

87 5 1
                                    

Aku tidak pernah menulis yang aku benci dengan kata kata "aku suka". Aku bukan sosok bertopeng. Sosok yang mustahil aku temukan semisalmu, hanya tinggal kamu. Maka ijinkan aku menulis sesuatu tentang kamu yang paling aku bingung, apakah aku benci ataukah malah menyukainya.

Dingin.

Aku sering bertanya, karna Angin kah namamu, atau aku yang iri sampai membeku kan sendiri jiwaku. Kadang aku sering terbawa labil. Karna saat malam kau akan datang, bersama seluruh bisik bisik orang yang tertawa, atau yang tidak tau dalam mencari jejak lama. dan aku suka saat kamu datang, membawa daun daun yang sudah kering di atas permukaa airku. Lalu, kamu sendiri yang membuatku menjadi sedikit aneh. Tiba tiba aku merasa sakit, saat kamu datang bersama awan, menurunkan beratus kecil dari sebagian yang menyenang kan padahal itu amat menyakitka. Aku air. Hujan adalah Aku juga. Tapi kami berbeda, Aku bersama sama, dan dia sendirian. Membuatmu berbelas kasih sehingga menemaninya. Terima kasiih atas sebuah penghargaan rasa itu. Air tidak mungkin sakit. Tapi aku bisa terluka. Kalian menggenalnya dengan tercemari.

 Jadi ingat saat kita bertemu pada lapangan belakang sekolah yang luas. Aku bermain ilalang, dan kamu tidak berani mendekatiku, sampai sampai harus aku yang menoleh dan menyapamu

"hai yang sedang sendiri, ya kau, kenapa berdiri saja?".

Aku rasa, aku sudah berteriak keras sekali. Harusnya kamu menjawab, setidaknya kamu menoleh itu sudah cukup. Karna yang di lapangan itu hanya kamu, selain aku. Aku tertawa. Mengutuki dalam hati, 'bodoh, mana mau dia menoleh, kenal saja tidak bukan?'. Kamu tau? aku seperti benar benar bicara pada angin. Tak peduli apapun akhirnya pekerjaan yang akan kau lakukan, aku nyatanya asik sendiri dalam lingkupku bermain.

Sekarang aku benar benar merinding. Sesuatuyang dingin menyentuh dekat tengkuk leherku.

"aku tanya balik, kenapa kau bermain saja tanpa mengajakku?".

Itu bukan seperti suara orang yang aku kenal sebelum ini. Aku mendangak untuk melihat wajahmu. Matamu seperti Langit, hanya saja Langit tidak punya adik. Aku tersenyum. Aku punya jawabann yang baik, yang bisa membuat kita bermain.

"Karna aku tidak tau namamu".

Kamu tertawa dalam sumbang. Jelas sekali kamu ingin bermain tanpa harus ada basa basi seperti ini. Posisi perkenalan seperti ini tidaklah menyenangkan. Aku berusaha berdiri, agar mengimbangimu saat kita akan berbicara lebih banyak dari pada sekedar basa basi 'siapa namamu'. Kamu malah berusaha duduk, menjajariku pada posisi awalku. Nyatanya kami tidak bertemu pada posisi awal yang tadi, baik berdiri maupun duduk. Tetapi, kami bertemu saat tengah tengah, membentuk sudut lancip pada posisiku, dan sudutmu? siku siku. Ah, nyatanya dari awal kami memang seperti benci. Tidak sama.

"Berdiri sajalah, sekalian langsung bisa main kan malah?", katamu dengan sembarang alasan.

"Baik, jadi-?",. Aku sudah seperti tidak sabar ingin berkenalan pada sosok tinggi disebelahku. Padahal beberapa detik yang lalu aku masih tidak peduli. Aku menahan senyum. Itu tidak memalukan, lucu saja untuk kita tau, bahwa sebuah hati mudah di bolak balikan.

"Angin",

Aku menoleh.

"Ada apa dengan angin?", tanyaku.

Bukannya menjawab, malah tertawa. Aku merasa seperti ada yang .., "ah, jadi namamu Angin ya?". Kamu mengangguk anggukan kepalamu santai bersama senyummu. Senyum yang dingin. Sekarang aku ikut tertawa, menyadari aku memang bodoh dari awal.

"Namaku Airauva, panggil aku Air",

Angin mengangguk paham,

"Kita akan main apa?", tanya Angin.

Aku diam. Dia barusan bilang apa ? Kita main apa? Aku bingung sekarang,

"Maumu?", tanyaku balik.

"Hujan hujanan", jawabmu datar.

Hujan? Aku melihat langit. Ah, ini sudah mendung rupanya. Aku tertawa sampai Angin melihatku. 'Kenapa?'--begitu maksud wajahnya.

"Maaf, bukannya tidak menghargai, hanya saja aku lebih nyaman kalau tidak bermain hujan. Bagaimana jika berenang?", tawarku.

Angin heran, alisnya sampai berkerut membentu huruf 's' tidur. Tapi sebentar kemudian dia pergi. Aku hanya diam tak bergeming.

"ayo, katanya mau berenang?", teriak Angin. Aku menoleh tidak mengerti, barusan dia ingin meninggalkanku, atau itu hanya perasaanku yang terlalu sesitif?

"Ayoo, kolamnya tidak ada di depanmu, tapi di seberang sana, jadi cepatlah,"

Aku sekarang benar benar labil. Tadi aku kesal hanya karna hampir ditinggal, sekarang aku senyum senyum sendiri karna tawaran itu. Nah kan, aku paling labil pada 'dingin'mu.

AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang