Menjadi yang paling kecil tidaklah menarik. Saat kamu harus terus mengikuti semua keinginan orang yang lebih tua, dengan sedikit imbuhan, 'demi kebaikanmu'. Kalian harusnya bersyukur, ah, aku juga harusnya bersyukur.
Aku bersyukur, satu hal yang paling aku banggakan, selain orang tuaku yang pisah ranjang, aku punya Kakak yang baik. Memahamiku seperti dia benar benar reinkarnasi ku. Dia bahkan tau seluk beluk masalah yang aku hadapi, walau kadang aku Menepisnya, mengatakan bahwa dia tidak tau apa apa.
Maafkan aku. Jika kau membaca ini setidaknya kau tau, bahwa aku menyesal sudah menjadi jahat.
Kami memiliki warna mata yang sama. Biru. Menarik untuk dilihat. Tidak. Ini bukan lensa. Ini asli turunan dari mama. Mama keturunan langsung Eropa sana. Jadi definisikan saja bagaimana rupaku. Tapi rambutku tidak seperti Kakak, aku coklat.
Kami baru baru ini pindah rumah ke tempat yang lebih tenang, dari pada bersama papa maksudnya. Kakak pernah ikut papa setahun, lalu menyusul mama dan aku. Rumah awal kami ada di tengah kota, lalu pindah dekat danau. Tidak jauh juga dari kota, lumayan masih dekat dengan sekolah elit.
Akhir minggu ini aku baru mengenal satu orang agaknya. Namanya Va,cantik menurutku. Kemarin dia tidak sengaja berpapasan. Kakakku, sepertinya belum menemukan lebih banyak daripada aku. Sulit terkadang harus menebak apa yang dia pikirkan.
Awan sepertinya tidak berlagak seperti cerita zaman dahulu. Memayungi orang. Jelas tidak mungkin, karna yang dia payungi seorang Nabi. Aku seorang apa?
Mama tadi bilang ,aku harus ke belakang pos, ada kiriman mama yang tertinggal. Aku tidak mau buru buru, mampir di dekat danau sebentar. Ah, papa. Dulu papa sering mengajak bermain. Sampai kami lupa bahwa mama menunggu dengan salad. Haha, papa. Aku tertawa kesal. Setengah meruntuki keputusan orang tuaku yang seperti anak kecil.
"Loh, Ngit?",
Seseorang memanggilku. Aku tau suara siapa ini.
"Iya, kak". Aku malas sekali menoleh walau itu hanya sepersekian detik."Pulang bareng sini,".
Aku diam saja. Baru kali ini kakak ku seperti ini. Aku tertawa bersyukur. Kemudian berdiri, melangkah menyusul kakakku. Kakakku menaikkan bahu, tidak mengerti kenapa aku jadi aneh. Salah siap aneh duluan?
Aku menebak. Dan benar. Nyatanya sepanjang jalan kami tetap saling diam. Aku berdeham kecil. Membuat kakak menjadi sedikit menoleh.
"Kamu batuk?",
Aku tertawa lepas kali ini. Bukan apa apa. Tapi dia barusan mengatakannya dengan muka paling datar, tidak cocok sama sekali dengan nadanya yang mengandung unsur khawatir.
Aku tertawa, "Yah gak peka",
yang dikatai malah ikut tertawa, tidak menyadari apa kesalahan bodohnya barusan. Tipikal kakak aneh." kakak dari mana?",pertanyaan basa basi. Sedikit memecah canggung diantara.
Dia menaikkan salah sebelah alisnya. Ciri khas sok santai yang baik kuakui.
Kakak agak lama berpikir."Berenang sama teman," jawabnya singkat.
"Sudah punya?", aku sedikit menggoda. Kakak terkekeh, kemudian meninju bahu kiriku, bersama seruan aduh dariku.
"Kau pikir aku ansos?",
Aku tertawa. Kenyataan dari dulu kakak terlalu cuek, sampai hampir disamakan ansos."Memang kau sendiri sudah ada kenalan?".
Aku mengangguk. "Sudah".
"Baguslah",Aku mendengus sebal.
Baru sebentar suasana cair, sudah padat lagi. Tak apa, demi melihat mama yang sudah menunggu kami, aku menepis sikapnya barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin
Teen FictionAku adalah sebuah batang pohon yang sering kau sandarkan. Memahami kamu, aku bagai bulan tehadap matahari. Kita saling mengalah, walau itu tandanya kita tidak pernah dalam posisi yang sama dalam satu lingkarang orbit. Aku sering memanggilmu Angin, d...