Tidak usah aneh membacanya, kawan. Karna aku sendiri geli membuatnya. Namaku? Ruang, sseperti judul diatas sana. Aku ada diantara sekian banyak benda yang hidup dan mati. I am every where. Ah, siapa tadi di depan yang sudah membahasku? Angin? Apa dia bilang aku sebagai jarak? Tidak usah berpikir aku seperti orang yang suka menghancurkan sebuah kata pertemanan. Aku tidak menghalangi apapun, hanya saja aku ada karena kalian sendiri yang menciptakannya.Namaku Ruang. Ini bukan kali pertama aku berkenalan dengan Angin. Dimana ada dia, disana ada aku.
Hari yang paling telat untuk berkenalan adalah sabtu. Karna besoknya kamu akan punya waktu yang sangat mendadak untuk mengajak seseorang itu lebih dekat. Tapi aku melakukannya di hari itu. Kepada sosok yang lebih bahagia sebenarnya. Alasan kenapa Angin menganggapku benar benar sebagai ruang.
"Lu, sendiri?".
Jujur, ini namanya sok akrab. Tapi, mau apa lagi, sudah terlanjur keluar."Maaf, elu..?",
"Ruang, salam kenal. Matahari ya?", kali ini rasanya sudah lebih pantas dari yang awal tadi.
Matahari ber o sebentar, tidak ada kata kata lagi setelahnya. Tipikal cewek dingin.
"Lu tau gua darimana ?", tanyanya.
Aku pura pura mengernyitkan dahi.
"Stalker lu ya?", katanya pede sekali.Aku hanya menaikan bahu. Membiarkan dia berpikir, lagian mana mungkin stalker?. Toh, nggak ada ketertarikan sama sekali sebelum ini.
"Ah, bukan, pasalnya kita sekelas, dan elu slalu njatuhin pensil gua,".
Itu kenyataan. Sebelum Angin cerita, jujur, aku membencinya. Tidak bisa diam. Bikin emosi. Tidak kalem. Itu dia, Matahari.
"Lu penghuni meja belakang gua ternyata?,".
Jari telunjuknya pas sekali sejajar dengan hidung pesek yang aku punya. Aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana pola wajahnya. Apa dia heran, takut, tegang, atau..terpukau ?.Tiba tiba Matahari Mengambil tanganku, Eh?.
"Duh, sorry bat ya. Nih, duit buat beli pensil baru lagi. Oh iya, satu hal lagi, sekali kali duduk depan gua, biar gua gak salah terus, ", katanya, kemudian berlalu. Tanpa salam penutup.
Sedikit tanya heran, kenapa dia memberiku uang? Aku tertawa tanpa suara. 'Bodoh, pensilku tidak pernah hilang tau, lagian harga pensil gak sampe 30 ribu kan?',Aku hanya menggenggam uang tadi. Bingung akan di apa kan. Sudahlah, toh, tiba tiba, malah yang kugenggan seperti tangan Matahari. Payah, aku mulai berkhayal. Berkhayal yang mustahil, adalah ciri bahwa sebenernya aku jones. Dan jones selalu berkhayal.
Sabtu ini agaknya mendung. Yah, setidaknya aku membawa mobil. Dan hujan benar benar turun saat aku keluar dari kelas. Menyulap tanah menjadi basah sekali. Bulirnya tidak kecil kecil. Besar sebesar kacang polong.
Brughh.
"Ahh sialan!",reflek. Seseorang menabrak, menjatuhkan lembar lembar kertas ulangan fisika yang aku bawa. Sialnya, hujan nya tidak bisa dipause sebentar, kertas itu basah semua.
"Ah, maaf, ", katanya sambil ikut ikutan mengumpulkan kertas ulangan yang jatuh barusan.
Aku tidak memandangnya sama sekali. Siapa yang tidak emosi, sudah jatuh, basah pula. Aku abaikan dia yang berusaha membantu. Beruntung, dia tanggung jawab."Ahh, nilai fisika gua! Remedi lagi sama pak Khan! Yaaah, lima sekarang?? Kemaren lima koma satu, sekarang??".
Sebentar. Apa dia bilang. Nilai fisika dia? Lima pula. Satu kelas bareng gua dong?. Dan satu satunya yang fisika selalu remidi,.. Matahari.
Aku mendongak. Benar saja. Aku mendapati dia malah mengomel sendiri tentang pak Khan, guru fisika.
Pak Khan mengajar dengan metode yang baik menurutku, tapi kenal dia remidi? Dan nilai lima?" kalau gak mau remidi kenapa lu gak belajar lebih rajin?!", aku sewot menyindir.
Matahari berhenti bersuara. Menoleh padaku,dan menatap aneh sekarang.
"Eh?, emang nilai fisika lu bagus terus ya?". Matahari melangkah ke arahku yang barusan berdiri, selesai merapikan lembar hasil fisika. Wajahnya seperti tidak percaya. Juga wajah tidak terima, atas kalimatku barusan.
"Setau gua, gua selalu yang tertinggi di kelas". Aku mengangkat bahu, siapa tau? Kenyataan.
Raut wajah Matahari malah menjadi sebal. Apa yang salah?
"Hihh, kasih tau dari awal kenapa ?", Matahari berteriak geram, "gua kan bisa les privat sama lu seenggaknya......bbfbffbffbfbf",
Aku menutup mulutnya cepat, sebelum kami menjadi perhatian. Suara Matahari keras sekali. Walaupun hujan memang, karna itu Matahari malah berteriak bicaranya. Padahal samping ini ruang guru.
"Lu gak diem, gua gak lepas,",ancam gua.
Matahari mengangguk. Kemudian menarik napas yang terengah saat aku meleskan tanganku.
"Haa ha hahh.., harusnya lebih lama Ru, biar sekalian koma, gak ikut remidi fisika deh, ", katanya polos sekali. Nafas nya jelas terengah. Sepertinya aku terlalu lama, atau kuat?
Pletak!
Tanganku ringan sekali menjitak kepala Matahari. Seringan waktu dia berkata barusan. Matahari diam, tidak menggubris apapun.
"Lu, njitak gua karna barusan apa yang gua bilang ya? Ha ha, lu gatau Ru,",
Matahari tidak menangis ataupun merintih sakit. Justru aku yang menjadi heran atas tingkahnya.
"Gua kebal. Karna ada yang lebih sakit dari pada jitak punya lu barusan. Dan itu tidak bisa hilang",
Sekarang Matahari benar benar terlihat sosok yang rapuh. Aku bergetar. Seperti ada sesuatu yang aku tau.
"Sakit hati? Karna siapa?",
Matahari menarik nafas panjang. Baru saja dia akan berbicara, seseorang meneriaki nama Matahari.
"Mat!",
Aku menoleh reflek. Antara paham dan prasangka. Aku gantian menatap Matahari yang menatap orang barusan dengan sorot mata dingin.
"Angin", katanya lirih.
Aku terdiam. Aku adalah Ruang. Ajari aku sekarang agar aku tidak membuat ruang diantara orang yang aku kenal baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin
Teen FictionAku adalah sebuah batang pohon yang sering kau sandarkan. Memahami kamu, aku bagai bulan tehadap matahari. Kita saling mengalah, walau itu tandanya kita tidak pernah dalam posisi yang sama dalam satu lingkarang orbit. Aku sering memanggilmu Angin, d...