Aku hidup seperti matahari. Sebagai ibu atas bintang bintang dan bulan. Mengajari mereka cara bersinar. Tanpa ada yang mengajariku.
Namaku Matahari. Usiaku lebih muda dari pada usia umumya di jenjang pendidikan ku. Lompat 2 kali. Satu,ketika sekolah dasar, dan dua, saat SMP.
Aku yatim sejak lahir. Yatim yang sesungguhnya. Mungkin saat aku lahir, aku menyalahkan takdir, yang tega sekali merebut ayahku. Merebutnya dari kehidupan. Seperti membuat anak kecil kehilangan boneka kesayangannya.Ayahku sehat sehat saja kata Bunda. Tanpa sakit, dan selalu murah senyum. Pigura yang tersemat pada ayahku selalu dapat membuatku bangga. Membuatku iri.
Tidak. Aku tidak membenci takdir. Aku membenci aku. Sesuatu yang merenggut Ayah adalah aku. Aku yang pada menit berikutnya lahir. Aku yang masih merah. Dan aku yang merebut kebahagiaanku sendiri, juga Bunda.Siang itu, Bunda sudah di Rumah Sakit Sehat. Hanya menunggu menit berikutnya sampai kabar itu datang dengan tiba tiba. Hanya karena ingin membelikan sebuah boneka, untukku. Lalu harga nya begitu mahal.
Tahun memakan hari yang melindas detik. Bunda, apa yang aku bisa lakukan untukmu? Apapun. Asal kau menjadi ceria, dan tak sekurus ini. Genap 4 tahun ini, leukimia jahat sekali membuat Bunda seperti ini. Katakan Bunda, apa yang Bunda inginkan?
Andai kata aku bisa menghidupkan ayah. Andai dan semua itu lengkap hanya berandai tanpa ada kenyataan. Bunda hanya tersenyum. Aku tau, Bunda sudah bertemu ayah kan?
Aku roboh dalam sekali ke dada Bunda. Nafasnya tinggal satu, hanya bersisa untuk kalimat tauhid, lalu hilang. Aku Matahari. Aku ingin menghangatkan tubuh Bunda yang mulai semakin dingin. Aku adalah Matahari yang bisa memeluk. Dan menangis tanpa membunuh cahaya apiku sendiri.
Umur 7 taun, aku yatim piatu. Tinggal bersama guru mendongeng ku, Ibu Dongeng. aku belajar mendongeng, bernyanyi dan mengenali luka. Aku yang tidak pernah merasakan belas sayang Ayah, terlanjur jatuh pada pemuda. Pemuda yang sering Bu Dogeng banggakan atas susunan kalimat sastra bercerita nya, atas simpatiknya.
Umurku genap 15 taun saat aku tau, aku membutuhkan perhatian seorang laki laki, yang bisa merangkul ku. Pemuda itu memilikinya. Atau aku yang terlalu naif untuk berkenalan dengan pemuda lain.
Aku cukup tau apa yang perasaan ini permainkan. Aku yang dipermainkan ilusi ku sendiri. sebuah rasa yang harusnya Ayah ajarkan padaku yah.
Yah,
Pemuda itu.. Dia mengambil kendali waras ku. Dan dia juga yang menaruh hatiku dan menghantamkan palu besar ke arahnya. Salahku yang tak mengerti atau pemuda itu jahat sekali.Waktu jahat sekali. Pemuda yang sering di banggakan itu, tidak pernah jahat. Tidak. Waktu yang terlalu jahat. Mengambil ayahku, Bundaku, lalu membuatku tidak paham akan perasaan baru ini. Kita selalu bertambah tua, tapi waktu tidak. Itu lah kenapa aku membenci waktu. Dia memakan segalanya. termasuk pemuda yang sering Bu Dongeng ceritakan.
Namaku Matahari. Benci sekali dengan air. Air mematikan api apiku. Aku mati tanpa api. Aku bukan matahari namanya jika tanpa api. Aku adalah matahari. Matahari adalah api. Maka aku adalah api.
Air. Aku benci sekali. mengambil apiku begitu saja. Menggantinya dengan api yang lebih panas. Api cemburu.
Aku tergugu. Namaku Matahari. Dan matahari tidak pernah membenci apapun. Aku yang membakar aku.
* * * * *
"Pelajaran fisika minggu depan akan digantikan Bu Angan, "Aku menyeru tertahan. Yes! Dadah Pak khan, aku bisa lolos remidi Fisika sekarang.
"Kecuali.. Yang remidi, bukan begitu nona Matahari?", selidik Pak Khan. Matanya bersama mata satu kelas tertuju sangat tepat jauh ke bangku kedua sebelum belakang kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angin
Teen FictionAku adalah sebuah batang pohon yang sering kau sandarkan. Memahami kamu, aku bagai bulan tehadap matahari. Kita saling mengalah, walau itu tandanya kita tidak pernah dalam posisi yang sama dalam satu lingkarang orbit. Aku sering memanggilmu Angin, d...