Dia

27 3 2
                                    

Juni taun ini basah sekali. Hujan. Hujan. Dan hujan. Ibu ibu mengeluh jemurannya tidak kering sempurna. Petani mogok bekerja. Diam saja seharian di rumah. Menemani tumpukan padanya yang belum kering. Sekali dijemur, hujan membuatnya tambah basah.

Beberapa kali ini Angin pulang sampai sore. Menunggu hujan reda. Baru mulai berjalan pulang. Angin kelas 2 SMA.  Langit kelas 1 SMA. Beda jadwal. Beda jam pulang. Dan lagi, Angin tidak pandai pelajaran sosilogi. Membuatnya bertahan barang 2 jam di kelas. Pelajaran tambahan.

Hari ini, hujan sedikit terjeda. Memberi beberapa menit berharga bagi Angin untuk sampai di lapangan. Kemudian hujan jatuh seperti tertarik sekali dengan tanah.

Angin berlari ke pinggiran lapangan. Hujannya ganas sekali. Meraup semua debu. Angin merinding. Badannya kedinginan.

"Angin?",
Seseorang memanggil namanya. Angin menoleh. Siapa? Kemudian dia tersenyum. Rupanya ada pejalan kaki yang bernasib sama. Diam diam Angin berterimakasih sudah turun hujan. Karna dia bisa bertemu dengan dia.

"Lu ngapain disini, Air?",
Air tertawa. Angin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Baru sadar pertanyaannya barusan bodoh sekali. Jelas karna hujan Air berteduh.

"Namamu kan Air.., Hujan itu air. Kenapa malah berteduh?", kata Angin
Air tersenyum.
"Namamu juga Angin. Bukankah hujan jatuh juga bersama angin?", balas Air.

Mereka tertawa. Tawa pertama mereka. Setidaknya itu mencairkan suasana sebelum dingin hujan membekukan percakapan mereka.

"Ahh, kamu tidak bersama Langit?", Tanya Air. Dia jelas harus memulai topik. Karna Angin tidak pandai membuat topik.

"Dia duluan. Aku harus menghabiskan dua jam lebih lama untuk pelajaran tambahan sosiologi. Sial sekali, nilaiku selalu terancam. Ujungnya aku diancam tidak dinaikkan kelas",Runtuk Angin.

Wajah Angin terlipat lucu sekali. Air menahan tawa disebelahnya. Barusan dia melihat orang paling dingin bertingkah lucu disebelahnya. Angin menoleh.

"Kenapa tertawa?,"
Ehh? Air nyengir. Sadar ketahuan menertawakan Angin. Alih alih menjelaskan, Air malah tertawa lebih keras. Angin makin heran.

"Kamu kenapa sih??",tanya Angin dengan penuh ke tidak mengerti an. Matanya yang biru membesar. Dalam hati Air, dia bergumam, wajah Angin seperti kalkun jika dalam posisi seperti itu.

Air mengacungkan telunjuknya ke hidung Angin.

"Kamu lucu", katanya.
                                 *****

"Jadi, kelompok kerja akan dibagi menjadi 4 bagian. Ini baris A,B,C, dan D. Kerjakan soal nya sampai jam pelajaran ibu selesai. Fisika sampai 35 menit kedepan. Angin? Kamu ketua kelas harus bertanggung jawab.",
Jelas Bu Naken.

Angin hanya mengangguk santai. Jel@s sekali dia bisa mengatasi anak kelasnya untuk bisa mengumpulkan tugas secara tepat waktu. Dengan sedikit cara yang tidak legal pastinya.

Bayangan Bu Naken hilang di tikungan jalan kelas 4. Amin, yang menjaga keamanan tingakat tinggi republik kelas-begitu mereka menyebutnya- di sebelah jendela belakang, mengacungkan jempol.

Tanda bahwa acara harian mereka di mulai. Beberapa anak berkumpul sendiri, memecahkan jawaban. Angin asik mengerjakan. Dia memang suka dengan fisika. 10 menit kemudian Angin selesai mengerjakan. Maju ke depan kelas.

Dan, menuliskan jawabannya dengan santainya. Tanpa takut di contek yang lain. Lagian maksud Angin memberi jawaban untuk SATU KELAS.

Selesai menuliskan, satu kelas bertepuk tangan keras sekali. Angin adalah sosok ketua yang paling di dambakan seluruh kelas. Bukan hanya memberikan Jawaban, dia menjelaskan dari mana jawaban itu turun.

Baik sekali.

"Ehh, aku tidak paham ini. Bisa kau jelaskan ulang?",

Seseorang menyodorkan kertas latihan fisika. Hampir semua belum ada jawabannya.

Angin mendongak. Mendapati perempuan rambut hitam legam. Tinggi tidak lebih dari bahu Angin. Menyengir lebar. Angin terus melihatnya, tanpa bicara, dan sama sekali tidak merespon tangannya yang sudah mulai bergetar karena canggung.

"Ehh, ya sudah. Tidak apa apa kok
Aku tanya yang lain saja", katanya.

Grepp.

Perempuan itu menoleh. Kaget. Tangannya barusan saja ditahan oleh Angin. Doa dapat merasakan genggaman tangan Angin kuat sekali.

"Siapa yang suruh kamu pergi?", tanya Angin. Matanya tajam sekali.

"Eeh, tidak ada. Tapi, kalau kamu nggak bisa, ee mungkin sibuk, aku bisa tanya yang lain kok",

"Aku bilang aku nggak bisa?",Tanya Angin.

Perempuan itu gugup. Mata Angin tajam sekali. Jauh menembus dalam pikirannya. Aduhh, mampus gua.

"Duduk!", perintah Angin.
"lu gamau duduk sebelum disebut nama ya? Matahari?", lanjut Angin.

Perempuan itu semakin menunduk. Sial. dia malu sekali sekarang. Pertama karena satu kelas memperhatikannya. kedua, karna tatapan Angin. Masuk dalam pikirannya. Menyejukan setiap syaraf otaknya yang sudah mulai gila karna fisika.

"Apa yang lu ga paham?, "tanya Angin. Tangan kiri Angin menyodorkan satu lembar rumus fisika penuh. Matahari tergagap. Mau muntah rasanya melihat rumus bertebaran seperti virus.

"Mat? Lu denger kan?, "

Matahari hanya menggangguk. Padahal pikirannya sama sekali sedang pergi. Jalan jalan kemanapun.  asalkan tidak memikirkan kenapa detakan jantungan keras sekali.

Itu Matahari kelas 1SMA. Pertama kali Matahari menemukan sosok yang sering Bu Dongeng ceritakan. Anak yang paling dibanggakan. Merangkul semua sakit atas kehilangan ayahnya.

Bunda, aku harus apa?, batinnya kelu.

"Matt!!? Masih sadar? ",  tanya Angin.

"Ehh, iya aku sadar. Hanya sedikit eh, ee.. Nyaman",

Angin mengeritkan dahi. Berpikir bahwa Matahari mulai gila karena fisika. 

                                   ******

Matahari berlari kencang sekali sepanjang jalan nenuju Rumah Dongeng. Kemudian berjalan lagi kalau jalan itu ramai. Dan kembali berlari kencang saat sepi. Rasanya dia ingin sekali sampai. Memeluk Bu Dongeng. Berterimakasih.
Ahh, Matahari jadi bingung sendiri. Sebenarnya ada apa dengan dirinya.

Pikiran Matahari penuh. Dadanya membuncah. Ada rasa baru yang selama ini dia tak pernah rasakan.

Cinta.

Dari mana hatinya belajar perasaan bernama cinta itu? Padahal ayahnya pun tak pernah hadir. Dari mana datangnya? Aku tidak pernah membuka pintu. Matahri tertawa sendiri.

"Klek."
"Siang Bund,"

Matahari asal melepaskan sepatunya. Bu Dongeng hanya geleng kepala. Aneh sekali kelakuan 'anaknya'. Padahal beliau hafal sekali, setiap Sabtu Matahari akan pulang dengan dahi terlipat atau tas yang asal dilemparkan ke sofa. Kemudian mengomel panjang tentang pelajaran fisika seharian.

Kali ini berbeda. Wajahnya hangat sekali. Malah asik memeluk tasnya. Seperti rasa penyesalan sudah sering membanting tasnya. Bu Dongeng tertarik mendekati Matahari.
Tapi Matahari masih asik berguling dengan tasnya. Menghiraukan Bunda yang sudah disampingnya.

"Lagi.. Jatuh cinta ya?", usik Bunda.
"He em",
Bunda langsung tertawa. Mudah sekali menjahili anaknya.

"Cie.. Jatuh cinta", goda bunda sambil menjauh dari Matahari. Matahari tersentak. Barusan sadar dia berkata iya. Alih alih dia berteriak "Bunda jaahaatt.. "

Bunda hanya tertawa.
Padahal matahari padam sudah mukanya. Merah seperti api. Tapi tetap saja memeluk 'itu'

Bukan. Bukan tasnya.
Tapi, buku fisika..

Hai halo 😆
Selamat malam. Selamat siang. Selamat pagi. Selamat membaca. Semoga hari anda indah😀
Maafkan yak. Baru nambah. Susah batt cari waktu. Kalau lagi baper baru nulis.
Komentar sama kasih suara yak. Kalau suka aja si. Jangan lupa baca Quran utama😚.

السلام و بركة الله عليكم

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang