Dua

43 4 0
                                    

2014

Giovani Hakim.

Badannya yang tinggi dan cukup berisi, dipadu rambut hitam legam dan tampak jatuh ia biarkan agak gondrong. Alis dan bibirnya yang tebal mendukung penampilannya. Sama seperti sang adik, hidungnya mancung dengan sedikit bengkokan khas. Ia pecinta warna hitam.

Gio sudah wisuda sebulan lalu, bersamaan dengan sang adik Gia yang kebetulan cepat menyelesaikan masa kuliahnya. Gio yang memang sempat menunda menyelesaikan harus sabar karena meraih gelar bersamaan dengan sang adik. Mereka turut mengundang kedua orangtua mereka, namun mereka tak begitu mengharapakan keduanya hadir. Cukup si kembar yang menjadi saksi mereka meraih gelar. Untungnya, orangtua mereka tahu diri dan hadir dalam acara bersejarah dalam hidup keduanya. Namun tak lama, mereka pamit.

Gio sudah resmi menjadi karyawan tetap perusahaan yang selama ini dimana ia bekerja. Penghasilan masuk dengan pasti. Hari ini, kebetulan adalah akhir bulan, dan gaji Gio baru saja masuk ke rekening. Gio yang sedang serius mengerjakan pekerjaannya disela oleh panggilan atasannya yang menyuruhnya ke ruangan. Sepertinya ada hal penting yang harus dibicarakan berdua.

"Gio, kamu masih muda dan berkeinginan besar. Saya yakin kamu bisa meraih kesuksesan yang jauh dari yang sekarang." Ujar atasannya yang menatapnya serius. Gio mengerutkan kening, menimang apa maksud sang atasan. "Saya mendapat titah dari atas untuk memindahkan kamu ke offshore."

Deg ... Gio tertegun. Maksudnya di tengah laut?

Kedua alis Gio terangkat mendengarnya. Dan sang atasan pun melanjutkan dengan nada pasrah.

"Disana, karir kamu akan jauh lebih baik, Gio. Saya tahu bahwa kamu karyawan yang etos dan ulet dalam bekerja. Tapi ini titah atas yang meminta langsung kamu untuk terjun ke lapangan. Dan saya yakin hal tersebut adalah karena kamu mampu."

"Jadi, saya bakal ke laut, Pak?"

Sang atasan mengangguk tegas. "Kamu diminta untuk datang hari Senin nanti. Ini tiket pesawat dan ongkos perjalanan kamu." Ia mengulurkan sebuah amplop coklat pada Gio. "Kamu gak perlu pulang tepat waktu hari ini. Kamu perlu waktu dengan keluargamu sebelum pergi ke laut. Tinggalkan saja kerjaanmu, biar rekanmu yang menyelesaikannya."

Gio menatap amplop coklat itu lurus, kemudian mengambilnya. "Baik, Pak. Terima kasih atas bimbingannya selama ini."

Sang atasan tersenyum, "Saya yang harus berterima kasih atas bantuan kamu selama ini. Sukses disana, Gio!"

"Terima kasih, Pak. Saya pamit keluar."

Sang atasan mengangguk, "Berpamitanlah pada rekan-rekan."

Gio berdiri dan mengangguk lalu keluar dari ruangan. Ini adalah tantangan besar. Ia tahu gaji disana lebih besar daripada hanya duduk diruangan seperti yang selama ini ia lakukan. Dulu, ia mendambakan hal ini. Namun sekarang, ia adalah kepala keluarga bagi adik-adiknya, bagaimana ia harus pergi lama dan jauh meninggalkan adik-adiknya sendirian?

***

Gio menjemput si kembar di rumah dan Gia di kantor, kemudian mengajak mereka berbelanja. Gio memang membawa mobil hadiah ulang tahunnya dulu ke rumah baru mereka. Toh itu hadiah, sudah menjadi miliknya, kenapa harus ia tinggalkan?

Memasuki pusat perbelanjaan di menjelang malam hari, di akhir bulan, dan di hari Jumat bukanlah hal yang disukai orang-orang. Ramai dan bising dimana-mana. Namun mereka tak bisa menghindari karena persediaan makanan mereka semakin menipis. Untuk bertahan hidup, mereka harus mau menempuh lautan manusia itu.

Geo dan Gio masing-masing membawa sebuah trolly dan mengikuti kemana langkah Gia dan Gea bergerak. Mereka bersama kemana pun.

Yang pertama mereka kunjungi adalah rak yang menjual keperluan rumah tangga dimana mereka membeli semacam sabun cuci dan lain-lainnya. Semua adalah pilihan Gia yang memang paling mengerti apa yang dibutuhkan dan aromanya masih dapat diterima adik-adik serta kakaknya. Gia meletakkan semuanya dalam keranjang belanja yang dibawa Geo.

Independent Kids (SLOW UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang