Enam

36 4 3
                                    

2016

Geovano Abraham adalah seorang anak laki-laki yang masih berusia cukup muda ketika orangtuanya memutuskan untuk berpisah. Sebagai anak yang cukup muda, ia ingin menangis dan marah akan keadaan yang tidak ia inginkan tersebut. Namun ia tidak bisa, ia masih memiliki adik-kembarannya-yang bersedih akan hal tersebut. Jika ia sedih, siapa yang akan menenangkan sang adik. Ia memang memiliki dua kakak yang sosoknya sudah mampu menggantikan posisi kedua orangtua disisinya. Namun, ia tak mau ikut serta menyulitkan sang kakak dengan bersedih. Cukup ia sedih tanpa air mata. Mungkin hanya hatinya yang menangis pedih.

Ia berperawakan seperti remaja lainnya. Tinggi melebihi kakak perempuannya dan setara dengan kakak laki-laki. Dengan senyum yang manis, kulit kecoklatan, hidung mancung yang agak bengkok, alis tebal, rambut jatuh yang dibuat model agak cepak dan suara yang agak bass. Ia menyukai warna hijau army.

Kini Geo sudah menjadi siswa SMA, ia sudah cukup besar untuk mengerti seperti apa dunia yang ia tinggali sesungguhnya. Ia bukan lagi seorang bocah polos yang hanya bisa menatap kedua orangtuanya yang datang dan pergi seenak dan semau mereka ke rumah tanpa memedulikan keempat anaknya.

Sejak mereka hanya tinggal berempat dirumah milik abangnya, Geo semakin protektif terhadap Gea, saudara kembarnya. Ia selalu memantau setiap gerak-gerik sang adik dari tempatnya berada. Walau mereka berdua berbeda sekolah, namun Geo selalu bisa memantau Gea dari salah satu teman SMP mereka yang bersekolah di sekolah negeri yang sama dengan Gea. Untungnya, sekolah keduanya berjarak dekat sehingga Geo dengan mudah mengantar jemput sang adik.

Sejak kelas 2 ini, Geo memiliki kekasih bernama Hana. Ia sudah memperhatikan gadis itu sejak awal kelas sepuluh, namun Geo baru berani bertindak di tahun kedua ini karena dia sebelumnya masih sibuk dengan keluarganya.

Hana tersenyum melihat sosok Geo yang baru hadir di sekolah. Geo merasa beruntung karena Hana mengerti keadaannya yang tidak bisa mengantar jemput dirinya karena ia masih harus bertanggung jawab kepada saudara kembarnya. Hana pun bukan termasuk perempuan manja yang harus diantar jemput. Jika ayahnya sempat, ia akan diantar ke sekolah dan ia biasa pulang bersama-sama temannya dengan angkutan umum.

"Pagi!" Sapanya.

Geo menoleh, "Hai! Dianter?"

Hana mengangguk, "Sabtu jalan yuk? Ajak Gea, udah lama gak ketemu dia."

Syukurnya, Hana dan Gea bisa berteman dengan baik. Mereka bahkan seperti sahabat. Sayang, frekuensi bertemu mereka sangat jarang karena berbeda sekolah. Namun ketika sudah bertemu, Geo bahkan tersingkir. Maka Geo mengerutkan dahi dengan ajakan Hana itu.

"Kamu ngajak aku atau Gea nih?"

"Dua-duanya."

"Gak mungkin. Kalau kamu udah sama Gea, aku mendadak invisible."

Hana terkekeh dan menjawil dagu Geo, "Ciye ngambek Geo. Enggak kok, kali ini kita bareng-bareng, aku gaada mau curhat kok ke Gea."

Geo menghembuskan nafas pelan, "Yaudah,"

Hana memekik gembira, "Yeeeiii terima kasih!"

Geo hanya mengulum senyum dan melanjutkan langkah bersisian dengan pacarnya. Mungkin ini masih cinta monyet, bukan seperti hubungan yang dijalani kakaknya, namun ia hanya akan menikmati kebersamaannya dengan Hana. Takdir itu rahasia Tuhan, kan?

***

Geo memarkirkan motornya di depan gerbang sekolah Gea. Ia tidak pernah mau masuk ke dalam karena ia merasa asing ketika berada disana. Itu bukan sekolahnya, bukan lingkungannya, bukan teman-temannya. Maka, ketika menjemput Gea, ia hanya akan berada di depan gerbang sekolahnya.

Geo pun mengeluarkan ponsel dan menghubungi nomor kembarannya.

"Buruan, Ge."

"Oke, gue kesana."

Geo pun memutuskan sambungan telfon dan menatap ke dalam gerbang sekolah didepannya dimana terdapat banyak siswa-siswi yang berlalu-lalang disana. Entah dengan motor ataupun dengan berjalan kaki.

Gea dan Geo bersekolah di sekolah negeri yang melarang siswanya membawa mobil pribadi ke sekolah, maka kebanyakan dari mereka lebih banyak yang membawa motor dan sebagian sisanya berjalan kaki. Geo pun hanya mampu membawa motor untuk ke sekolah karena mobil hanya ada milik kakaknya yang sudah bekerja.

Geo memfokuskan pandangan matanya dan melihat seorang anak laki-laki dengan seragam yang berantakan dan satu ransel di punggungnya berjalan ke dekat gerbang, menghampiri sosok perempuan yang mengenakan cardigan salem. Mata Geo semakin menyipit karena merasa perempuan itu familiar.

Ketika mengetahui perempuan tersebut adalah saudara kembarnya, ingin rasanya Geo menghampiri namun terlambat karena Gea sudah beranjak ke arahnya.

Melihat Gea yang mengulurkan tangan meminta helmnya, membuat Geo memandangnya tajam.

"Kenapa, Ge?" Tanya Gea polos.

Alis Geo naik sebelah, "Tadi ngobrol sama siapa?"

Gea diam sedetik sebelum kembali menjawab, "Temen, kenapa?"

"Yang gua tau, dia salah satu pentolan basis sekolah lo. Lo temenan sama orang kayak gitu?"

Gea menatap saudara kembarnya sebal, "Temen sekelas, ya namanya temen juga, kan."

Geo mengulurkan helmnya, "Terserah."

Gea pun naik ke atas boncengan. Sebelum menjalankan motor, keduanya menatap ke arah yang sama, yang ternyata sosok yang menjadi perhatian pun turut menatap mereka dengan tajam. Geo sedikit kesal karenanya.

***

"Ge, makan."

Geo menutup buku yang sedang ia baca itu. Ia beranjak berdiri dari halaman belakang rumahnya yang berupa halaman mungil dengan lantai kayu, diisi oleh sebuah kursi kayu beralaskan bantal-bantal dengan atap kaca agar dapat melihat indahnya langit. Di sebelahnya, terdapat sebuah kolam ikan yang menyambung di bawah lantai kayu dirinya berpijak. Mereka memang memelihara ikan koi untuk estetika rumah dan kolam tersebut agar rumah menjadi sejuk. Rumah mereka benar-benar dibuat senyaman mungkin agar penghuninya tidak ingin bepergian atau berdiam diri di kamar. Maka, hobi si kembar adalah belajar di halaman belakang kala langit cerah, dan belajar di ruang keluarga kala hujan.

Geo masuk dan melihat di meja makan sudah ada makanan khas restoran Cina. Ia pun melihat keberadaan kakaknya dan sang kekasih yang sudah duduk bersama saudara kembarnya.

"Hai, Ge, lagi belajar?" Sapa Adam.

Geo mengangguk dan duduk di sebelah Gea dan Adam. Uniknya, abang mereka membeli meja makan berbentuk bundar agar mereka bisa makan dan duduk bersama tanpa ada jarak. Hanya ada empat kursi memang, maka ketika teman-teman Gea atau Adam ikut makan bersama, mereka akan makan di halaman belakang atau di ruang keluarga.

"Kamu tuh kalau belajar sebelum tidur aja, Kakak lihat kamu terlalu maksain diri, Ge."

Geo tersenyum, "Geo mau dapet beasiswa, Kak, biar Kakak dan Abang gak perlu repot biayain kuliah Geo."

Gia mengulum senyum, ia sudah tahu keinginan adiknya itu sejak sang adik masuk ke jenjang sekolah menengah atas. Tekad adiknya sangat tinggi dan hal tersebut dibuktikan dengan nilai-nilai serta segala prestasi yang ditorehkan sang adik untuk membanggakan sekolah dan dirinya sebagai kakak.

"Kamu tahu kan, Ge, kalau Kakak dan Abang gapernah merasa keberatan biayain kamu? Lagian kami punya tabungan untuk kuliah kamu."

"Tapi Geo maunya kuliah di Jerman, Kak, dan biaya hidupnya saja gak murah. Geo gak mau membebani terlalu banyak nantinya. Apalagi kalau Kakak udah nikah sama Mas Adam, sama saja Geo beratin Mas Adam kan."

Adam terkekeh, "Geo, kamu berpikir terlalu jauh. Nikmatin saja dulu masa remajamu. Tenang saja, Mas gak akan pernah merasa keberatan atas kalian karena Mas ini anak bungsu, gapunya adik dan Mas senang sekali menganggap kalian sebagai adik Mas sendiri."

Gia menoleh dan menatap kekasihnya dengan senyum penuh kebahagiaan. Tuhan, nikmat mana lagi yang aku dustakan?, batinnya.

"Udah yuk, makan. Gea laper." Rengeknya.

Mereka pun tersenyum dan mulai makan dengan doa dipimpin oleh Adam.

***

Independent Kids (SLOW UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang