Hukuman

7 1 1
                                    

"Ah, aw!!! " isakku lirih. "Kenapa? " tanya Wila yang kemudian menghadap ke arahku cemas. Aku menggeleng.

"Emb, it's okay! "

Iapun kembali fokus dengan ayunan sepeda yang kita naiki. Hampir tiga puluh menit aku menemaninya keliling kota dengan sepeda --Wila menyetir dan aku membonceng di belakangnya -- aku sesekali menunjuk dan memberi tahu tempat yang sekiranya akan sangat perlu dikunjungi. Seperti bengkel di seberang rumahku sampai pasar plosok pun kami datangi.

Ah, ya ampun..

Aku berusaha menahan tangis. Tapi darah yang keluar tetap saja memaksaku untuk mengeluarkan air mata. Ku tahan dan sebisa mungkin isak tangisku tak terdengar Wila.

Suasana hening --kami saling diam-- suara cerewetku kini tak lagi terdengar. Hingga pada akhirnya Wila mengajakku beristirahat di sebuah pohon.

"Bagaimana? Kamu cape-- " ada jeda "Arum? Kakimu kenapa? " Wila sontak panik setelah melihat jempol kakiku yang berlumur darah. Ini salahku, seharusnya aku masih membalut jempol kakiku dengan perban. Tapi inilah akibatnya, jempol kakiku tergesek batu saat Wila mengayun sepeda.

"Ini kecerobohanku, Wil. Kamu tak usah khawatir. "

"Aku yang salah, seharusnya aku tak terlalu cepat mengayun sepedanya. " jawabnya sambil membersihkan jempol kakiku dengan sapu tangan yang ia bawa.

"Udah, jangan nangis. Semua akan baik-baik saja. " kata Wila menenangkanku dan mengusap air mataku.

Ia mengangkat tubuhku. Sontak saja aku merangkulnya lehernya karna hal bodoh itu membuatku takut dan kaget.

"Sementara, kamu tahan rasa sakitmu sampai kita sampai di rumahmu ya, Rum. " pesan Wila selepas menaruhku di boncengan belakang sepeda. Aku mengangguk mantap.

                       ***

"Oh ya ampun... " sambut bi Ijah dengan raut muka panik dan bersegera membantu Wila yang sedari tadi menuntun jalanku ke arah sofa depan. Bi Ijah terlihat ngilu saat melihat sapu tangan yang membalut jempol kakiku berlumuran darah.

"It, itu.. Kenapa lagi, non? "
Tanya bi Ijah sambil menutupi matanya dengan jarinya dan sesekali melirik ke arah jempolku lagi.

Aku tak menggubris bi Ijah sedikitpun. Aku hanya menangis dan berteriak sekencang mungkin saat Wila kembali membersihkan lukaku dengan alkhohol.

"Ahhhhh, tempeeee!!! Sakit oy!!! " aku reflek berteriak dan sontak membuat wila terngangah dengan mulut terbuka.

Ups! Keceplosan...

                        ***

Bel pelajaran kedua telah berbunyi nyaris tujuh menit yang lalu. Aku bergegas menuju loker untuk menukar buku. Pelajaran kimia mengharuskanku bersusah payah untuk menuju ke lab.

.....

"Ah, tempe! " keluhku setelah jempol kakiku menyenggol kaki meja.

"Ah elah, udah ada yang bantuin aja masih aja ngeluh. " sindir Hani dengan sedikit candaan.

"Sakit, dugong! "

"Sini.. Gua pijitin, " jawab Hani sambil menahan tawa kecil.

"Eh gila! Lo pijetin jempol gua ntar mblenyek gimana? "

Aku menepuk bahu Hani dan diikuti tawa lepas.

"Arum! Tidak sopan! "

"Ma, maaf bu. Saya khilaf. "
Aku menjawab lirih dan menunduk takut. Sesekali Hani menjawil kakiku dan membisik.

"Jangan belaga sok takut gitu, ntar gurunya kesenengan. "
Setelahnya Hani membusungkan dada dan meringis ke arah bu Yuyun, guru kimia kelas X.

Oh, begitu ya...

Aku mengikuti tingkah konyol Hani.

Dada bidang, mata berbinar, dan pandangan ke depan. Dan... Yak!

"Dasar Arum! Malah menentang saya, ya? " hentakan tangan bu Yuyun ke meja sontak membuatku kaget. Ia menghampiriku dan menjewer telinga kananku.

Asem.. Malah kena marah! Ini semua gara-gara Hani. Udah gila apa dia ngajarin gua gaya kek gitu ke bu Yuyun. Kan gila... Arggg lihat aja ya, Han! Aku menerocos dalam batinku.

Hani menahan tawa dan..
"HAHAHAHAHA" Hani lepas menertawakanku. Aku ternganga,

Hani gila...

"Ups! Keceplosan. " kata Hani lirih.

                       ***

"DAMN! "
Aku berusaha menjauhkan white board yang terpampang jelas di depanku dan Hani. Aku menjawil Hani, "gua ijin ke wc bentar, " aku lantas melangkahkan kakiku. Belum genap dua langkah tangannya mencincing kerah baju belakangku. "Tega lo, tempe! "
Hani menyengirkan mulutnya.

"Bentaran, dugong! "

"Oh, tidak bisa! " larangnya sambil menggerakkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri. "Gua tau! " lanjutnya sok tau.

"Apa? " aku bertanya datar.

"Noh, " ia menunjuk ke arah segerombolan kelas XII. "Tuh, ada Aldi. Lo malu kan? " ejeknya dilanjut tertawa kecil.

"diem lo! "

Hukuman pelajaran kimia mengharuskanku merelakan jam istirahatku. Tak hanya aku, Hani juga terlibat dalam hukuman ini. Tak hanya hari ini, hari sebelumnya banyak siswa yang juga pernah merasakan berdiri di tengah lapangan sepertiku. Karna bu Yuyun selalu memberi konsekuensi bagi murid yang humor.

"KAMI RATU RAME"
"KAMI RATU RAME" suara Reno disambung murid lain.

"K-A-M-I R-A-T-U R-A-M-E? " eja Aldi agak lirih dan lantas menatapku.

"Aduh, si dugong salting dah,"
Ejek Hani tanpa menggerakkan bibir. Aku mencubitnya,"Eih, kurang aj-"

"Hey juga, " Hani membalas sapa Arga dua detik sebelum ia memotong pembicaraanku yang tak ia hiraukan.

Aku ternganga setengah tak percaya, "Han, lo sekarang sama dia? Kesambet jin apa lo? " Hani hanya mengangkat bahunya dan senyum-senyum sendiri.


                    ***

a Wish for LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang