2 x Bukan Sisi

3.7K 341 7
                                    

"Ali, mau kemana?" tanya Nita, Mama Ali.

Ali yang hendak berjalan menuju pintu pun berhenti saat ia mendengar suara Mamanya dari arah dapur.

"Ali mau keluar dulu bentar, Ma." ucap Ali.

Nita menghela napasnya dalam. Ia lalu menghampiri putra bungsunya itu, tangan ringkihnya mengusap pelan punggung Ali sambil tersenyum tipis.

"Duduk dulu yuk? Mama mau ngomong sebentar sama kamu,"

Ali menganggukan kepalanya lalu ia berjalan untuk duduk di sofa ruang tengah Keluarganya. Kini di sampingnya ada Nita yang menatap Ali dengan pandangan yang sulit untuk di artikan.

Nita menarik napasnya dalam. "Li, kamu jangan marah ya sama Mama? Kamu taukan kalau Mama sayang Ali?" ucap Nita.

Aneh.

Ali mengerutkan dahinya. Ada apa? Kenapa Mamanya bertanya seperti itu. Hatinya merasa tak enak, pasti ada sesuatu. Pikir Ali.

Ia hanya menganggukan kepalanya. "Jadi gini, Li. Mama mau jodohin kamu sama anaknya Sahabat Mama. Kamu mau kan, Li?"

"Mama tau, sejak kamu kehilangan Sisi, setelah Sisi meninggal kamu jadi nggak se ceria dulu. Mama mohon sama Ali, Ali mau ya terima perjodohan ini?" lanjut Nita sambil menitikan air matanya.

Ali yang melihat Mamanya menangis pun ia tak tega, dengan berat hati ia menganggukan kepalanya. Ini demi Mamanya! Ali akan memikirkan lagi ke depannya seperti apa.

"Iya, Ma." ucap Ali.

Senyuman mengembang pada Bibir Nita, ia dengan cepat merengkuh putranya itu dengan erat. Sebagai seorang Ibu, Nita tak ingin melihat anaknya menjadi pendiam, tertutup, cuek, dan selalu merasa kehilangan.

Hati Ali memang hampa, kosong tak ada isinya sejak Sisi pergi meninggalkannya beberapa tahun silam. Tak ada lagi arti sebuah cinta bagi Ali, tak ada lagi indahnya pelangi setelah hujan. Yang Ali ketahui kini, hanya ada hujan tidak pernah ada pelangi yang menghiasi hari-harinya. Sekalipun setelah hujan ada pelangi, tetapi pelangi itu tak berwarna, pelangi itu memancarkan sinarnya menjadi seperti bayangan abu-abu; pucat.

Tak ada lagi warna-warna yang menghiasinya, hanya warna abu pucat. Sama seperti kehidupan Ali saat ini, hatinya kosong seperti langit tanpa bintang, tidak akan mengagumkan. Seperti pagi tanpa mentari, tidak akan luar biasa. Dan seperti sore tanpa senja, tidak akan menakjubkan. Ali seolah telah kehilangan semuanya. Ya, Ali memang kehilangan semuanya, kehilangan seseorang yang sangat berharga dalam hidupnya.

Tapi ia bisa apa? Takdir adalah takdir dan tak bisa di ubah oleh siapapun, mungkin Ali harus mencari pengganti Sisi. Namun ia tak akan pernah melupakan Sisi dalam hidupnya, cukup jadikan Sisi sebagai kenangan terindah yang selalu ia ingat dalam hidupnya.

***

"Mang, baksonya satu ya." ucap Prilly lalu ia segera meloncat untuk duduk di kursi kayu itu.

"Oke, Neng."

Prilly mengambil ponselnya yang berada di saku celananya, ia memainkan ponselnya sembari menunggu baksonya datang.

Tapi tiba-tiba saja, kursi panjang yang di dudukinya sedikit bergoyang. "Mas, baksonya satu lagi ya." ucapnya.

Prilly menutup ponselnya, ia seperti hafal suara ini. Dengan cepat Prilly menolehkan kepalanya ke samping dan benar saja, di sampingnya kini ada pria yang beberapa hari yang lalu menabraknya.

"Lho, ngapain lo disini--" Prilly menggantungkan ucapannya karena ia tak tahu siapa nama pria di sampingngnya ini.

Ali tersenyum tipis, ia mengulurkan tangannya di hadapan Prilly. "Gue Ali, Alianno Putra Pratama."

"Yeh, siapa juga yang nanya nama lu, hah?" ucap Prilly ketus.

"Yaelah, gue cuma ngasih tau. Supaya lo gak bingung kayak tadi,"

"Ke geeran itu namanya, udah ah gue mau makan bakso." ucap Prilly sambil meraih bakso yang sudah ada di meja.

Ali hanya mengedikan bahunya, ia lalu ikut meraih mangkuk baksonya dan segera melahap baksonya. Sesekali Ali melirik kearah perempuan di sampingnya.

"Ngapain sih lo lihatin gue?" ucap Prilly tanpa melihat kearah Ali.

"Apaan sih lo, siapa juga yang lihatin lo." ucap Ali mengelak.

"Alah, gak usah bohong deh. Kenapa lihatin gue? Suka sama gue? Iya?" ucap Prilly sambil menatap mata elang Ali.

Ali terdiam.

Mata hazel perempuan ini mengingatkannya pada sosok Sisinya, ia rindu Sisi. Tapi siapa perempuan ini? Bagaimana bisa ia memiliki wajah yang sangat mirip dengan Sisi?

"Woyy!" ucap Prilly sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Ali. Ali yang tersadarpun dengan cepat merubah ekspresi wajahnya menjadi tersenyum.

"Kalo iya emangnya kenapa? Lo cantik." ujar Ali.

Prilly mengangkat bahunya acuh, ia membenarkan topinya lalu kembali melahap baksonya tanpa minat menjawab pertanyaan Ali.

Tapi seketika, ingatan Prilly jatuh pada beberapa ahri yang lalu. Saat Ali memanggilnya dengan nama Sisi?

"Eh--Ali? Gue mau tanya sama lo deh, kemarin pas pertama kali kita ketemu. Lo kenapa manggil gue Sisi?" tanya Prilly tak jelas karena mulutnya masih di penuhi dengan bakso.

Ali terkekeh pelan. "Kalau makan jangan banyak ngomong, makan dulu baru ngomong."

"Hehe, maaf. Oke sekarang jawab pertanyaan gue."

Ia menghembuskan napasnya dalam, apa ia harus bercerita pada perempuan ini? Yang wujudnya sama dengan Sisi?

"Beberapa tahun yang lalu pacar gue meninggal, karena dia mengidap penyakit Leukimia stadium akhir, dia mirip banget sama lo, Prill. Sampai gue ngira kalau lo itu dia." jelas Ali.

"Oh gitu, sori ya gue gak tau, Li."

Ali hanya mengangguk lalu tersenyum. Prilly sekarang tahu jika pria di sampingnya ini mengira jika ia adalah kekasihnya yang sudah tiada. Tapi apakah di dunia ini ada orang yang memiliki wajah serupa namun tidak memiliki hubungan darah?

Prilly bukan Sisi, Prilly adalah Prilly. Mungkin hanya wajahnya saja yang sama dan serupa dengan Sisi, namun beda dengan sifat dan kelakuan mereka yang saling bertolak belakang.

***

Hoho setelah cerita ini gue gantung berbulan-bulan akhirnya bisa di next juga ya hehe, maapkan ya kalo lama. Makasi udah mau baca cerita ini lopyu😘

Sumedang,
14 April 2017

Me And My Perfect CaptainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang