Hari ini entah mengapa kepalaku rasanya begitu pusing. Untuk berdiri saja rasanya seperti mau ambruk. Aku mengikuti pelajaran mata kuliah terakhir dengan tangan yang terus memijit kepalaku.
Oh, God, aku harap kuliah hari ini selesai dengan cepat, karena tubuhku sudah sangat merindukan kasur empukku.
"Hei, kau tak apa-apa kan?" tanya Loraine, sahabatku yang duduk tepat di belakangku.
"Tidak. Jangan khawatirkan aku," jawabku berbohong.
"Tenang, sebentar lagi jam kuliah selesai. Nanti aku temani kau pulang." Sepertinya dia tahu aku berbohong.
Kenapa sahabat selalu mengerti apa yang kita sembunyikan?
Kuliah hari ini pun usai. Aku berjalan melewati lorong-lorong dengan kedua sahabatku, Loraine dan si gay James. Mereka memapahku dengan posisi lengan mereka terkait di lenganku, menahanku supaya tidak jatuh. Tiba-tiba ada seseorang yang berteriak memanggilku. Aku pun berhenti berjalan.
"Hai, Mark. Ada apa?" tanyaku setelah menoleh ke belakang. Mark berlari mendekatiku, dia berdiri di hadapanku.
"Issabelle, ini ada surat untukmu." Aku menerima surat itu, lalu berterimakasih pada Mark. Kemudian, aku membukanya setelah Mark pergi.
"Itu surat apa?" tanya Loraine dan James penasaran.
Segera aku membaca surat itu bersama kedua sahabatku dan tiba-tiba rasa pusing yang aku rasakan sedari tadi semakin berat. Tubuhku semakin lemas. Surat itu berisi tentang pembayaran kuliah dan jika aku tidak segera membayarnya aku terpaksa dikeluarkan. Ini hampir semester akhir dan jika aku diDO itu akan membuat kedua orangtuaku -yang sudah pergi dan tak akan kembali- sangat sedih.
Aku kehilangan kedua orang tuaku saat aku berusia 5 tahun. Kecelakaan beruntun itu telah merenggut nyawa mereka. Aku tinggal bersama kakek dan nenekku. Namun, akhirnya mereka menyusul ayah dan ibuku, mereka meninggal di saat usiaku 22 tahun.
Orang tuaku tak meninggalkan warisan yang banyak, karena kami adalah keluarga sederhana. Uang yang mereka tinggalkan kini telah habis untuk membayar kuliahku semester-semester lalu.
Sedangkan uang untuk uang hidup, aku bekerja di d'Cafe One. Kadang aku menyanyi di cafe itu dan kadang aku bekerja sebagai pelayan.
Aku adalah anak tunggal, hidup sebatangkara di apartemen kecilku di kawasan Miami, Florida. Apartemenku hanya memiliki satu kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur, dan satu ruang TV. Itu sudah cukup bagiku.
"Oh my gosh, aku harus bagaimana?"
"Tenangkan dirimu dulu, Izzy. Kau perlu segera beristirahat. Kita pikir ini nanti saja okay?" Aku mengangguk. Kemudian kami pulang ke apartemenku.
Aku memasuki apartemenku dengan lesu disusul kedua sahabatku. Aku melemparkan tasku sembarangan, kemudian menuju ke dapur. Ugh, sekarang aku membutuhkan segelas air dingin untuk menyegarkan tubuhku dan mendinginkan kepalaku.
"Izzy, kami akan berusaha mencarikan dana untukmu," ucap James setelah aku kembali dari dapur. Aku menghirup nafas berat.
"Terimakasih. Tapi aku rasa aku masih bisa melakukan ini sendiri."
"Kau yakin?" kini giliran Loraine yang bersuara. Aku pun mengangguk.
"Selama aku masih bisa melakukannya sendiri kenapa tidak?"
"Baiklah. Tapi jangan memaksakan dirimu Izzy, nanti kau bisa gila. Hubungi kami jika kau membutuhkan bantuan. Kami akan menolongmu," ucap Loraine disertai anggukan James.
"Terimakasih banyak kawan. Aku sayang kalian." Kemudian aku memeluk mereka.
"Em.. sekarang aku sedang ingin sendiri. Bolehkah?" Aku mengusir mereka dengan sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Contract With a Billionaire
RomanceBe a wise reader, guys! Sebuah kontrak yang membuatnya terpaksa tinggal dengan pria itu sampai batas waktu yang tidak ditentukan. ********************************************** This is my own SEXY IMAGINATION. Cerita ini dibuat untuk mengeluarkan ke...