NAFAS X 1

23.2K 1.1K 76
                                    

NAFAS x 1
***

Aku duduk diam dengan orang-orang yang keluar masuk dari dalam rumahku. Suara ramai mereka malah seperti kesunyian ditelingaku. Lirih-lirih, Ayah memanggil nama ibu sembari tangannya menepuk pelan pipi ibu. Ibu sudah terkulai tak sadarkan diri di atas sofa ruang tamu sejak tiga puluh menit yang lalu.

"Buk, buk... ." Ayah masih berusaha menyadarkan ibu dengan menepuk pelan pipi kirinya. Jika ibu sadar, Ayah pasti terkena Omelan maut ibu karena berani menyentuh dempul mahalnya. "Bangun, buk!"

Kepalaku bergerak pelan ke arah Ibu. Ibu sudah sadarkan diri meski matanya masih terpejam dan isak tangisnya yang menguar. Genggaman tangan Ayah semakin erat tatkala ibu semakin menangis histeris kembali. "Buk, uwes toh (sudah dong)!" Ayah masih mencoba menenangkannya.

"Pak..."

"Wis (sudah), buk." Ayah mengusap lembut tangan Ibu.

"Gimana bayar kuade ama teropnya, Yah (Tenda pernikahan)?" Tanya ibu. "Enggak sanggup Ibu mikirnya, Yah."

"Iku dipikir mene ae (itu dipikir nanti saja), buk." Jawab Ayah bijak. Dia adalah yang terbaik dibandingkan Ibu. Aku acungin jempol deh.

"Ora isok (gak bisa), Yah!"

"Biar Rin yang bayar semuanya, Yah, Buk." Sambarku dan mereka berdua menatapku horor, seperti baru menonton film The Valak lagi kondongan.

"Ibu iku pesen seng apik-apik." Ujar Ibu sanksi padaku.

"Emang Rin enggak punya tabungan apa? Rin punya, Buk. Lagian ngapain Ibu pesen yang mewah-mewah? Dari awal kan Rin bilang yang sederhana aja, enggak usah yang neko-neko (aneh-aneh)." Semprotku dan Ibu kembali terisak dengan apa yang barusan aku katakan.

Ya, aku batal kawin. Ririn Haryani gagal kawin. Calon suaminya tidak dateng di hari H-nya. Gila? Bukan cuman gila, tapi stres calon suamiku. Gimana enggak? Saudara nan jauh di sana sudah datang semua hanya untuk melihat pernikahanku. Geng menye-menye Ibu juga datang. Temen-temen masa bekicot Ibu juga pada datang. Parahnya lagi, aku sudah memakai baju pengantin putih yang aku pesan dua bulan lalu itu, aku rela nahan sesak gara-gara kesempitan ini juga sudah sia-sia. Percuma semuanya.

"Ibu enggak mau keluar selama setaun pokoknya." Ultimatum pertama Ibu dengan isakan tangisnya.

"Mau jadi penghuni rumah abadi, Buk? Yang masak siapa? Yang belanja siapa?" Tanya Ayah yang jelas saja tidak terima dengan ultimatum Ibu.

"Suruh aja si Ririn." Jawab Ibu dengan sewotnya.

"Ririn kerja, Buk." Jawabku tak terima.

"Makanya kalau cari calon suami itu yang bener. Calon item kayak arang blangsat gitu mau aja. Emang kamu dikasih pelet apa sama item blangsat itu? Cari tuh yang putih ganteng, status jelas, buat memperbaiki keturunan hidung pesek kamu itu." Ibu mulai ceramah karena kejadian ini. Aku yakin, dia bakal mengungkit ini selama beberapa tahun kedepan kalau ketahuan aku punya salah fatal seperti ini lagi.

"Mbak Rin!" Ilham datang dengan peluh memenuhi wajahnya yang putih bersih. Aku menunggu dia bernafas teratur, "Rumahnya sepi tuh kayak enggak ada acara gawean (punya hajat)."

"Lo beneran sudah ngecek? Enggak salah rumah kan?" Tanyaku tak percaya dengan apa yang sudah dia katakan.

"Yaelah, Mbak. Lah ini? Sapa yang nulis nih alamat? Kuntilanak? Dedemit?" Ilham mulai nyolot dengan tangannya menyodorkan kertas yang bertuliskan alamat rumah Riko.

"Ini hapenya mati pula. Sumpah, kalo ketemu dia. Gua potong itu titit rowohnya." Geramku kesal, tanganku reflek meremas hapeku sendiri.

"Kurang serem lo!" Aku langsung menatap tajam ke arah Ilham. "Ya, masa titit rowohnya doang yang jadi korban? Lah lo? Liat noh!" Dia menunjuk ke luar rumah dimana tenda pernikahanku yang serba merah hati sudah terpasang dengan gagahnya, kuade pernikahanku yang harusnya jadi singgasanaku selama semalam juga sudah siap dengan cantiknya. "Minta ganti rugilah. Keteringan lo gimana? Siapa yang makan? Dibikin kenduren di masjid sebagai rasa syukur lo enggak nikahan ama cowo blangsat itu?" Cerocos Ilham yang kembali membuatku lemas memikirkan semua ini.

Crazy Marriage [FINISHED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang