NAFAS X 10

8K 554 20
                                    

NAFAS X 10
xxx

“Gak usah kerja.” gumam Ilham yang semakin menempelkan pipinya pada punggungku, kedua tangannya semakin erat memeluk perutku. “Lo kan masih sakit.” imbuhnya setengah merenggek.

Aku melepas tangannya pada perutku dan bangun dari ranjang untuk mandi, tak mengubris dengan segala tingkah merenggek Ilham padaku untuk tak bekerja.

“Pakai daster aja.” suruhnya saat aku mengancingkan baju batik, seragam untuk mengajarku hari ini di depan cermin besar, memakai jilbab biru senada dengan baju batikku.  “Gak usah kerja.”

“Bayi besar gua tidur aja deh,” giliranku memerintah padanya, “Ini gua gak bisa bantuin Mama di dapur gara-gara bangun jam enam pagi.” gerutuku dan memakai sepatu panthofel. Meninggalkannya sendirian yang terus-terusan merenggek padaku.

*
*
*

“Pagi, Ma.” sapaku dan menuang susu ke dalam gelasku sendiri. “Maaf, ya, Ma, enggak bisa bantuin, bangunnya jam enam.” sesalku.

“Enggak pa-pa.” jawab Mama dan meletakkan nasi yang masih panas di tengah meja. “Mama ngerti kok, kamu kan lagi sakit kemaren. Mama maklumin itu.”

“Maaf, Ma.”

“Santai aja sayang. Oh ya, kamu ngajar hari ini?” Mama kayaknya baru sadar aku sudah berpakaian rapi.

“Iya, Ma. Enggak enak sering enggak ngajar, meski ada guru piket yang bisa ngantiin Rin.” jawabku.

Mama duduk di kursinya sendiri dan menyesap tehnya, “Kalo Ilham nyuruh kamu berhenti ngajar gimana, Rin?”

“Ehm... Rin enggak mungkin nurutin kalo itu, Ma.” ucapku pelan-pelan, aku enggak mau bikin Mama sakit hati karena jawabanku. “Maaf, Ma.”

“Enggak pa-pa, sayang. Ini cuman pertanyaan dan apa pun jawabannya, Mama menerimanya.” ucapnya. “Mama menghargai jawabanmu, sayang.”

“Kenapa Mama nanya gituan?” tanyaku sambil menyobek roti lembaranku dan memasukkannya ke dalam mulutku sendiri.

“Cuman pengen tahu aja,” jawab Mama.

“Ohh... Ma, kok Rin enggak liat omah sama Siyah?”

“Mereka kan dari tiga hari yang lalu nginep di rumah Om Lukito.” jawab Mama yang menuang air putih ke dalam gelasnya sendiri dan duduk di kursinya.  “Kamu kan tau kalo Siyah itu enggak suka sama Ria, makanya Omah nemenin Siyah.” ujar Mama dan aku cuman mengangguk mengerti. Emang sih, Si Siyah dari dulu enggak pernah akur sama si Ria, dari sombongnya dan apa pun itu, Siyah enggak suka.

“Pagi, Ma.” sapa Ilham yang sudah duduk di sampingku, menyandarkan punggungnya ke belakang, dia masih mengantuk tapi dipaksain itu.

“Pagi.” balas Mama. “Tumben.”

“Mau nganter istri kerja, Ma.” jawab Ilham dan aku cuman meliriknya tajam. Nganter? Aku maksudnya?

“Pagi, sayang.” sapanya sok mesra dan menggigit rotiku begitu saja.

“Eh?” cengok nih aku gara-gara dia dan aku lihat si Ria baru datang dengan wajah masamnya, keknya si Ilham ini sengaja deh bikin si semok uler keket itu cemburu. Berhasil atau enggak sih, aku masa bodoh. Udah muak aku sama wajahnya apalagi kelakuannya yang enggak banget deh. Heran deh sama suaminya, dia liat apa coba dari si Ria sampe kepincut (jatuh cinta) gitu? Ah, masa bodoh sih. Urusan dia dengan Tuhanlah.

“Abisin rotinya dong.” suruh Ilham yang asik menyeruput kopinya.

“Iya.” jawabku singkat dan menghabiskan potongan roti terakhirku, meminum habis susu yang aku tuang tadi. “Oh ya, Mama mau dibelanjain nanti?” tanyaku.

Crazy Marriage [FINISHED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang