2

12K 1.4K 103
                                    

Reynald benar-benar sibuk selama hampir satu minggu ini. Kebakaran itu bukan kecelakaan, namun perbuatan yang di sengaja. Polisi sedang mengumpulkan semua barang bukti. Kemungkinan karena persaingan bisnis.

Bukan hal yang aneh jika orang akan melakukan apapun untuk membuat usahanya maju. Walaupun jalan yang ditempuhnya melanggar hukum sekalipun. Kadang, Reynald tidak mengerti dengan jalan pikiran pebisnis yang seperti itu. Apa mereka bahagia, hidup dengan mencurangi orang lain?

"Dad, kita akan menghabiskan dana besar-besaran untuk membangun hotel ini kembali." Reynald memandang ayahnya yang tengah mempelajari berkas di hadapannya. Kemarin, ayah, ibu, dan adiknya menyusul ke Italia setelah ujian sekolah Lexi usai.

Sang ayah melepas kacamatanya dan tersenyum. "Tidak apa-apa, Nak. Hasilnya akan sepadan dengan senyum ratusan karyawan kita nanti. Kita masih beruntung tidak ada korban jiwa."

Reynald mengamati ayahnya yang semakin menua itu. Kadang, kebaikan hati ayahnya membuatnya tidak habis pikir. Reynald sebenarnya pesimis. Mereka harus mencari investor lain untuk membangun kembali hotel ini. Biaya yang dikeluarkan mungkin akan sama dengan membangun sebuah hotel baru.

Namun, hotel ini adalah salah satu aset terbesar mereka. Sebanyak apapun dananya, hotel ini harus tetap di bangun kembali.

"Jangan terlalu banyak berpikir. Namanya rejeki, kita tidak akan pernah tahu." Sang ayah melempar tiga buah map di hadapan Reynald.

Reynald membacanya satu persatu dan membelalak. Tiga map itu adalah berkas perjanjian dengan tiga investor baru dari Jerman, Perancis, dan Belgia.

"Bagaimana Dad bisa membawa ini??"

Ayahnya tertawa. "Tidak pernah rugi berbuat baik pada siapa saja, Nak."

Reynald selalu mengagumi ayahnya dalam hal apapun. Kebaikan hatinya, kebijaksanaannya, ketegasannya, apapun yang ada dalam diri ayahnya. Ayahnya adalah benar-benar malaikat tanpa sayap. Pantas jika ibunya begitu mencintainya.

"Kenapa melihat ayahmu seperti itu, Rey?"

Reynald tergagap melihat ibunya tiba-tiba masuk bersama Alexi di belakangnya. Reynald tertunduk. Mukanya bersemu merah. Dia memang sudah tiga puluh satu tahun, tapi dia masih merasa tidak ada apa-apanya dibanding ayahnya.

"Aku kagum pada Dad, Mom."

Sang ayah terkekeh. "Ada apa, Anakku?"

Reynald mengangkat bahunya. "Aku selalu ingin seperti Dad. Tapi apa aku bisa memiliki kebaikan hati sepertimu, Dad?"

Ibunya tersenyum dan mencium bibir suaminya itu. "Ayahmu tidak ada duanya, Sayang. That's why I love him." Ibunya berucap seraya menatap mata ayahnya dan mereka kembali berciuman.

Reynald dan Lexi berpandangan dan tersenyum. Mereka sudah terbiasa dengan hal ini setiap hari. Mom sangat mencintai Dad dan Dad tidak akan pergi keluar Bali tanpa Mom di sampingnya. Tidak pernah sekalipun selama lebih dari tiga puluh tahun mereka menikah.

Kadang, Reynald berpikir apa nantinya dia dan Stephanie akan seperti itu. Adrienne dan Max sudah seperti itu, tetapi dia tidak yakin dirinya dan Stephanie akan seperti itu.

"Bagaimana beasiswa Stephanie, Rey?"

Reynald terkesiap mendengar pertanyaan ibunya. Dia sama sekali lupa!

Kesibukannya akhir-akhir ini membuatnya hanya sempat berkirim pesan pada Stephanie, itupun hanya sesekali dan hanya mengabarkan dirinya sibuk. Pasti gadis itu marah sekali padanya!

"Aku akan meneleponnya, Mom." Reynald bangkit dari duduknya dengan tergesa-gesa.

Reynald selalu begitu, akan lupa segalanya jika sudah bekerja. Kemarin, yang penting baginya adalah memberi kabar pada Stephanie. Dia sama sekali lupa tentang beasiswa itu. 

Chasing After You (Tersedia CETAK dan EBOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang