Aku berjalan pelan menuju kursi bambu yang terletak diberanda rumah sebelah kanan. Rumahku tak besar. Ia hanyalah rumah papan yang dibangun ayah sewaktu ibu dan ayah akan menikah, ibu pernah berkisah padaku. Sebenarnya ibu mengingikan mereka hidup dirumah orangtuanya dikota, tapi ayah bersikeras akan membangun rumah untuk mereka tinggali. Setidaknya, walau kecil, rumah itu milik mereka sendiri.
Aku menggeser kursi bambu perlahan, menghindari tampias-tampias hujan. Mengelapnya dengan baju kusutku, yang sekusut wajah dan hatiku. Lalu mendudukinya.
Aku menghembuskan napas. Teringat sesuatu, AYAH....
Ini adalah kursi yang sering diduduki ayah. Pagi maupun petang, ayah suka sekali duduk-duduk santai menggunakan kursi bambu ini. Ahh ... Ayah. Mengapa engkau tega meninggalkan aku dan ibu dirumah yang telah kau bangun sendiri. Mengapa hari itu kau tetap nekat untuk pergi jauh. Padahal ... Padahal aku yang masih kecil belum mengerti apa arti pergi jauh, yang aku pahami hanyalah aku kehilangan. Kehilangan seseorang yang ternyata tak kembali. Beribu tanya itu membenak lagi, Yah.
Aku menatap keluar, berharap hujan kali ini berbaik hati untuk meredakan derasnya. Aku yakin, Tuhan itu maha pemurah. Ia takkan meninggalkan hamba-hambaNya yang berada dalam kesusahan dan kesulitan. Seperti halnya aku dan ibu, Tuhan akan berbaik hati pada kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
cerpen - HUJAN AME
Short Story"Hujan menurunkan cinta lewat butiran-butiran air yang berjatuhan membasahi dedaunan, memenuhi tong-tong air, bagai penyelamat di kala kekeringan melanda".