Part 9 : Should I Marry My Best Friend?

109K 5.4K 29
                                    

Sejujurnya, saat ini hati Biya berkecamuk. Hatinya berlawanan dengan otaknya yang tetap mendesak Biya untuk mendatangi Genta di waktu break makan siangnya. Biya seperti biasa menyapa dengan ramah suster-suster yang berada depan ruangan praktek Genta. Mereka semua membalas sapaan Biya dengan ceria namun tetap sopan.

“Lagi sibuk?” Biya menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Mengintip apa yang sedang Genta lakukan di dalam ruangannya. Genta tersenyum,

“Sini masuk.” Tangan Genta memberikan isyarat yang sama dengan ucapannya. Biya pun tanpa sungkan langsung masuk ke dalam ruangan kerja suaminya itu. “Udah makan?”

“Not yet. Tapi aku kesini bukan untuk minta jatah makan siang kamu itu kok.” Jawab Biya diselingi canda yang disambut tawa oleh Genta.

“Terus? Kangen sama suami kamu?”

“Bukan juga Genta..” jawab Biya lagi. “I have two tickets for tonight.” Tiket XXI itu dikeluarkan Biya dari dalam tasnya. Genta sedikit memiringkan kepalanya, membaca tulisan di dalam cetakan tiket itu yang dipegang miring oleh Biya.

“Good choice, is it a date?” Biya menggoda Biya dengan tatapan nakalnya sambil mengerlingkan sebelah matanya.

“Come on, ini Cuma tiket nonton biasa.”

“Hahaha, okay aku ngerti kok. Setelah selesai praktek, aku langsung jemput kamu, dan kita langsung ke tempatnya. Aku takut nggak keburu kalo aku pake mandi dan lain-lain dulu.” Genta mengatur rencananya malam ini. Biya mengangguk cepat sambil tersenyum puas.

“Thankyou.” Biya mencium pipi Genta. “There’s something I want you to know Genta. Aku awalnya agak trauma untuk datang kesini. Aku takut ngeganggu kamu dengan perempuan, siapapun itu, yang lagi asik mesra-mesraan di jam makan siang kamu seperti waktu itu.”

“Biya, itu nggak kaya yang kamu pikirin.”

“No problem, hari ini udah cukup kok untuk aku ngilangin trauma itu setelah kamu ternyata makan siang sendirian disini.” Lanjut Biya. Ia mengenakan tas nya, hendak pergi meninggalkan Genta. “Aku nggak usah masak makan malem ya? Dinner after movie?”

Genta tidak menjawabnya. Ia bangun dari duduknya. Menyenderkan tubuhnya ke meja, ia berdiri di hadapan Biya. Biya yang masih terduduk di kursi menatap suaminya itu dengan bingung.

“Ngapain sih? Aku mau pulang.” Biya bangun dari duduknya. Genta menahan tangannya sebelum ia benar-benar keluar dari ruangannya.

“I still have ten minutes left, could you give me a dessert after my lunch?” Genta langsung mengecup bibir Biya dengan lembut. Biya memejamkan matanya. Berciuman dengan suaminya di ruang praktek dokter bukanlah mimpinya, tapi ia benar-benar tidak bisa menolak perlakuan Genta padanya itu. Bahkan ia juga sangat menikmatinya. 


***


“Film itu terlalu banyak ngomongnya nggak sih?” Biya mengerutkan keningnya sambil bertanya pada Genta yang sedang menyuap nasi Hainan di hadapannya. “Aku sampe nggak ngerti inti ceritanya.”

“Gimana kamu bisa ngerti kalo selama nonton kamu selalu ngoceh dan ngegodain aku?”

Biya tertawa, “Aku lebih tertarik sama jenggot tipis kamu yang mulai tumbuh itu. Nusuk-nusuk gitu, sakit.”

“Itu kan karena kamu selalu mencoba untuk cium aku. kalo nggak, mana mungkin kamu ngerasa kesakitan karena jenggotku ini.” canda Genta yang langsung membuat Biya malu.

“Whatever.”

“Ngambek?” Tanya Genta, Biya menggeleng. “Iyalah, awas aja kalo kamu sampe ngambek setelah aku beliin ini khusus buat istriku tersayang.” Genta mengeluarkan selembar kertas dari dompetnya. Seperti kertas print-an. Biya masih menelitinya diam-diam. Gengsi menanyakan langsung pada Genta. “Masih nggak mau tau?”

“OH MY GOD!” pekik Biya tidak dapat menahan luapan bahagianya itu ketika menyadari apa yang sedang dipegang-pegang oleh suaminya. “Kamu pasti becanda kan?”

“Prepare yourself baby, the day after tomorrow. Kita terbang ke Jerman!” Genta memberikan secarik kertas yang ternyata adalah salinan e-ticket miliknya dan Biya untuk vacation nya ke Jerman. “Sebenarnya aku ada seminar gitu disana. Tapi, istri yang baik harus selalu menemani suaminya kan?”

“Of course, I’m here just for you!” jawab Biya sambil tersenyum riang.


***


Biya sudah selesai mengepak segala perkakas yang harus ia dan Genta bawa dalam liburannya nanti. Semua sudah rapi tertata di dalam koper. Ia hanya tinggal menunggu Genta yang masih belum kembali dari rumah sakit.

“Kita pergi masih besok malem kan?” Genta terheran-heran mendapati Biya yang sudah beres dengan semua perlengkapannya untuk ke Jerman. Biya menoleh mencari arah suara itu. Rupanya suaminya baru saja pulang kerja. Biya tersenyum manja, menghampiri Genta yang masih berada tidak jauh dari pintu apartemennya.

“Kan biar besok nggak sibuk.” Jawab Biya sambil membukakan dasi dan kemeja Genta dengan sedikit mesra, atau menggoda?. Genta merasa agak risih dengan perlakuan Biya itu. Bukan risih, terkejut lebih tepat. “Aku nggak suka bau rumah sakit yang kamu bawa ini.” Biya mendekatkan wajahnya ke dada Genta, mencium aroma khas rumah sakit yang menempel di kemejanya. Genta hanya nyengir.

“Namanya juga dokter, ya pasti bau steril seperti ini.”

“Aku lebih suka meluk kamu dengan aroma sabun kaya gini.” Biya membiarkan Genta hanya mengenakan kaos dalamnya. Dengan begitu, bau steril rumah sakit itu sudah hilang dari tubuh Genta, berganti dengan aroma sabun yang terdapat di dalam kamar mandi mereka.

“This way you tease me?” Genta menatap dalam mata Biya. Kedua mata itu tampak berbinar. Biya tersenyum.

“Happy birthday, Love.” Biya langsung mencium bibir Genta dengan lembut dan dalam. Tidak peduli dengan Genta yang maish terkejut, Biya enggan melepaskan kecupannya itu. Genta memejamkan matanya, ia bahkan lupa dengan hari ulang tahunnya ini. jadi karena hari ini adalah ulang tahunnya maka Biya mengenakan lingerie yang super seksi itu. Dan langsung menggoda Genta waktu dia baru pulang kerja. Biya memang penuh dengan kejutan. Biya mulai mendorong tubuh Genta menuju ke dalam kamar tidurnya tanpa sedetikpun melepaskan ciuman mereka. Genta menurutinya, kali ini Biya yang lebih dulu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Sementara Genta masih menatap istrinya itu dengan ragu.

“Are you sure?” Tanya Genta, ia tidak mau menjadi laki-laki yang brengsek dan membuat Biya menyesali apa yang mereka lakukan mala mini seumur hidupnya.

“Kenapa sih kamu masih harus nanya ke aku? emang kamu nggak liat aku udah beli lingerie ini khusus buat kado ulang tahun kamu?” jawab Biya sambil sedikit cemberut. Genta tersenyum mendengar jawaban Biya yang terdengar sangat manja di telinganya itu. 

Should I Marry My Best Friend?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang