Biya membawa plastic-plastik belanjaannya, bukan, bukan belanjaannya. Tapi barang-barang yang ia beli untuk Genta. Untuk seserahan saat prosesi pernikahannya nanti. Rencananya sih, Biya mau belanja di mangga dua, tapi ketika sudah di jalan mendadak Biya malah menyuruh supir taxinya itu ke pim saja. Alhasil, tabungan Biya sedikit terkuras untuk membelikan Genta perlengkapan dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Biya juga tidak membeli merk yang asal-asalan, bahkan Biya baru pertama kali beli barang-barang untuk laki-laki semahal ini. Biya tersenyum puas menatap plastic-plastik di tangannya, pasti Genta menyukai semua pemberiannya ini.
Rumah Sakit Pondok Indah,
Biya mau memberi Genta kejutan dengan menunjukkan semua barang-barang yang sudah dibelikannya untuk sahabatnya itu. Tanpa sepengetahuan Genta, Biya mampir sebentar di rumah sakit seperti biasa, di saat makan siang Genta. Biya mencari Genta di cafeteria tapi ia tidak menemukan wajah calon suaminya itu. Biya melangkahkan kakinya menuju ruang praktek Genta yang berada di poli anak. Suster-suster yang biasa memberikan senyum untuk Biya tampak canggung begitu melihat wajah ceria Biya yang memberikan senyum untuk semua suster itu. Melihat papan nama Dr. Genta Arlan .P yang masih menggantung di depan pintu ruangan tempat biasa Genta praktek, maka Biya langsung membuka pintunya. Ia tidak mau berlama-lama, sepuluh menit lagi waktu makan siang Genta akan habis.
“Gen, aku beli buat kam…” kalimat Biya terhenti. Sekujur tubuh Biya terasa lemas ketika mendapati Genta sedang berpelukan, mesra, dengan seorang perempuan yang tidak asing baginya. Biya berusaha menahan air matanya yang sesaat lagi akan menetes dari pelupuk matanya itu. “Sorry, gue nggak tau lagi ada Karin.tadi Cuma iseng aja kok main kesini, gue balik dulu ya, lupa ada urusan lagi. Bye.” Biya berlari sekencang mungkin. Menghapus air matanya yang tidak tertahan lagi.
“Tunggu Bi!” Genta menahan tangan Biya. Ternyata dia berhasil mengejar langkah Biya yang sedikit terganggu karena plastic-plastik bawaannya itu. “Aku bisa jelasin semuanya.”
“Lepasin!” Biya meronta berusaha melepaskan genggaman Genta yang menahannya.
“Maaf Dok, sudah waktunya praktek.” Seorang suster memanggil Genta dengan takut-takut. Genta yang lengah karena menoleh kepada suster itu langsung menyesal karena genggamannya terlepas dan Biya langsung pergi meninggalkannya. Genta melirik jam tangannya, tidak mungkin dia meninggalkan rumah sakit di saat pasien-pasien membutuhkannya saat ini.
***
Biya menatap barang-barang yang sudah dibelinya untuk Genta yang ia biarkan berceceran di lantai kamar tidurnya. Biya sendiri bingung, kenapa dia harus menangis terus menerus seperti ini mendapati Genta yang sedang bermesraan bersama mantan pacarnya itu. Toh ini semua kan hanya pernikahan sementara. Tapi Biya merasakan hatinya terluka, ia tidak rela sahabatnya dipeluk semesra itu oleh wanita lain. Atau mungkin, Biya sudah menganggap Genta benar-benar sebagai calon suaminya?
“Biya, please buka pintunya. Aku bisa jelasin semuanya.” Biya terkejut mendapati Genta yang mengetuk pintu kamar tidurnya. Sial, dia lupa mengunci pintu rumahnya, lagi. Biya berusaha mengacuhkan ketukan itu, pura-pura tidak dengar. Biya memasangkan earphone ipodnya ke telinga, memasang lagu favoritnya sekencang mungkin, hingga ia benar-benar tidak mendengarkan ketukan itu.
Lima menit berlalu, Biya memejamkan matanya. Menahan air mata yang akan mengalir lagi dari kedua matanya.
“Kamu salah paham.” Genta menarik tangan Biya dan memeluknya. Erat. Biya yang terkejut mendapati Genta yang berhasil masuk ke kamarnya hanya terdiam. Bahkan tubuhnya kini berada dalam dekapan sahabatnya itu. Earphone ipod yang sudah terlepas dari kedua telinganya membuat Biya dapat mendengar seluruh ucapan Genta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Should I Marry My Best Friend?
Lãng mạn"Maaf Om, sebenarnya ada yang mau Genta sampein ke Om dan Tante.." dalam seketika, seluruh mata tertuju pada Genta. Tapi Genta tampak begitu tenang, dia selalu dapat mengatasi segala keadaan. "Sebenernya Genta dan Biya datang berdua kesini, karena G...