Dokter-dokter itu tampak begitu gagah dan berpendidikan. Sejujurnya, Biya tidak mengenal semua orang itu. Ia hanya kenal beberapa dari semuanya. Biya memilih untuk menepi dan duduk di lounge VIP yang terdapat di bandara. Biya menatap dari jauh Genta yang sedang berbincang dengan beberapa temannya. Biya sangat menyukai hidupnya saat ini, apalagi hubungannya dengan Genta yang berjalan semakin mulus. Biya tersenyum kecil ketika mengingat tadi pagi ia terbangun dari tidurnya dalam pelukan Genta, ditambah saat ia hendak bangun menuju dapur dan menyadari dirinya hanya menganakan kemeja Genta yang kebesaran di tubuhnya tanpa pakaian lainnya. Mereka benar-benar seutuhnya menjadi suami istri. Suami istri pada umumnya, bukan sandiwara.
“Hai, Wiza.” Sapa seorang pria yang mendadak sudah berdiri di sisi kanannya. Biya tersenyum, dia pasti salah satu teman Genta.
“Biya, Shabiya.” Jawab Biya dengan ramah, mereka berjabat tangan.
“Ikut ke Jerman?”
“Istri gue tentu ikut menemani gue ke Jerman.” Genta mengejutkan Biya dan Wiza yang mendadak datang dan langsung memeluk pinggang Biya dari belakang. “Dia Wiza, dokter umum di rumah sakitku.” Tambah Genta pada Biya. Biya mengangguk, tanda ia mengerti.
“Kenapa kayakanya gue familiar ya sama muka lo?” Wiza memicingkan matanya, menatap Biya lebih dalam. Biya yang canggung diperlakukan seperti itu langsung salah tingkah.
“Nggak kok, gue belom pernah ketemu lo sebelumnya.”
“Shabiya..Shabiya Malicca Nassir?” Wiza menepuk keningnya sesaat, Biya mengangguk. “Kenalin, gue Dwiza Permadi. Anaknya temen bokap lo yang kayaknya sempet mau dijodohin sama lo.”
OMG, apalagi ini. bagaimana mungkin kini Biya malah bisa-bisanya bertemu dengan mantan calon suaminya yang dulu sempat dipilihkan oleh kedua orangtuanya. Genta menatap Wiza dan Biya secara bergantian, Genta mengetahui atmosfir di dalam ruangan itu sudah tidak enak.
“Oh, ternyata lo orang yang waktu itu sempet mau dikenalin sama Ayah..” ucap Biya pelan. Wiza tersenyum.
“Gue familiar karena waktu itu pernah dikasih lihat foto lo sama bokap gue, sayangnya katanya semua rencana itu dibatalin karena lo udah punya pilihan lo sendiri.” Ucap Wiza yang langsung melirik kea rah Genta, “Ternyata sama Genta, what a small world.” Tambahnya lagi. Genta dan Wiza bukanlah teman yang baik dan saling mendukung, mereka hanya sebatas kenal, tidak lebih.
“Penting nggak sih ngebahas masalah itu sekarang? She’s my wife now, jadi lupain aja masalah perjodohan itu.” Genta menatap Biya yang tampak kebingungan, “Temenin aku beli minuman yuk, black coffee?” Tanya Genta yang langsung dijawab anggukan cepat dari Biya. “Sorry ya, gue dan Biya duluan.” Genta pun terus memeluk pinggang Biya sambil berlalu dari hadapan Wiza, posesif.
***
“Jeaolus?” tanya Bisa berbisik, Genta menatap mata Biya dalam. “Wiza?”
“Iya. Stop flirting him.” Jawab Genta dengan nada emosi. Biya langsung menatap Genta dengan bingung. “Kamu kira aku nggak liat daritadi kamu senyum-senyum sama dia kaya gitu?”
“Dia senyumin aku, ya aku senyumin dia balik. That’s it. Dia itu anaknya temen Ayah, aku Cuma menghormatinya. Sama kaya temen-temen dokter kamu yang lain.” Biya terbawa emosi, ia menatap Genta dengan kilat di matanya. “Aku mau tidur.” Biya langsung memejamkan matanya saat ia kembali memakai sabuk pengaman pesawat yang sedang ditumpanginya.
Genta menolehkan wajah Biya dengan jemarinya agar berhadapan dengan wajahnya, ia kecup cepat bibir Biya yang kemerahan. “I love you.”
“Love you too Sayang.” Bisik Biya di telinga Genta. Biya langsung memeluk Genta sambil menyenderkan kepalanya di bahu Genta yang selalu tersedia hanya untuknya itu. “Jangan ngambek gitu lagi ah, jelek tau.” Lanjut Biya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Should I Marry My Best Friend?
Romance"Maaf Om, sebenarnya ada yang mau Genta sampein ke Om dan Tante.." dalam seketika, seluruh mata tertuju pada Genta. Tapi Genta tampak begitu tenang, dia selalu dapat mengatasi segala keadaan. "Sebenernya Genta dan Biya datang berdua kesini, karena G...