" Hey aku tidak tahu jika Davi ada di rumah Rafaella." Carol membela dirinya. Apa-apaan itu? Jangan katakan jika ia tidak mau bertanggung jawab padaku kali ini.
" Kenapa kau tidak mencari tahu?" Apa pertanyaan ini cukup untuk dijadikan serangan balik. Aku tahu pada akhirnya itu tidak akan berguna.
" Aku tidak akan menelpon Rafaella, tidak akan menelpon ayahmu, tidak akan menelpon anggota keluargamu. Satupun." Yap... aku kalah. Jangan coba-coba untuk berdebat dengan Carol karena dimanapun dan kapanpun, dia akan selalu menang. Mungkin selain karena fakta bahwa waktu itu kami masih sama-sama remaja, alasan kenapa dia dan aku tak pernah menikah adalah karena hal ini. Satu lagi, berhasil membawa Davi selama dua tahun ke Milan merupakan pencapaian paling menakjubkan bagiku ketika berurusan dengan wanita itu.
" Kau benar-benar egois Carol." Ah... apa aku harus mengatakan sesuatu yang dia sudah tahu.
" Oh ya? Benarkah? Aku hanya mencemaskan anakku yang hampir seharian tidak kembali ke rumah sementara kau bersenang-senang di Irlandia sana. Dengar ya... kau yang sudah janji, kita akan membesarkan Davi bersama-sama." Dia meninggikan suaranya, membuat langkah kaki lainnya mendatangi kami.
" Hey kalian... tidak bisa ya selesaikan masalah tanpa saling berteriak?" Itu Dante, suami baru Carol. Di gendongannya si kecil Cisco sedang menangis dengan keras. Aku tersenyum kecut ke arahnya. Faktanya, yang berteriak sejak tadi adalah istrinya sendiri.
" Aku sudah selesai denganmu." Carol menyudahi pertengkaran kami, langsung meraih tubuh Cisco dan menenangkannya ke ruangan lain. Dante memandangiku dengan tatapan 'prihatin'−setidaknya itulah yang kutangkap sekarang.
" Maafkan aku Ney. Kau tahu-lah bagaimana Carol." Setelah mengatakan hal itu, dia pun meninggalkanku untuk menyusul Carol.
Sialan...
Aku tidak tahu kata apa yang bisa menggambarkan keadaanku sekarang. Jam Sembilan saat pesawat tiba di bandara, saking paniknya aku langsung menuju rumah Carol dan meninggalkan barangku di bandara. Di perjalanan aku menelpon orang tuaku dan mereka mengatakan jika Davi memang tidak ada di rumah. Rafaella dan suaminya tinggal di Santo Amaro. Entah bagaimana dia bertemu Davi, yang jelas aku mungkin akan melayangkan tuntutan padanya jika aku sudah berada di sana nanti. Aku lelah sekali. Serius... di pesawat aku tidak tidur terlalu nyenyak, karena guncangan dan juga karena anakku menghilang−kata Carol. Aku perlu kembali ke rumah saja, yang jelas aku sudah tahu jika anakku baik-baik saja dengan tante-nya.
......
Semuanya baik-baik saja, Davi bahkan tidak menyambut antusias saat aku tiba di Santo Amaro, di rumah Rafaella dan Mathew. Anak itu sedang bermain dengan sepupu kecilnya Amanda di tepi pantai. Apa-apaan ini?, seketika aku merasa seperti di bawa ke setting Fast Five, saat Dom, Brian dan Mia berada di rumah tepi pantai pada adegan penutup film itu. Well... apa yang terjadi sekarang bahkan tidak mendekati cerita film itu.
" Oh kakakku... akhirnya kau datang." Rafaella memelukku bahagia. Dia mencium pipiku sangat keras, seperti yang dulu sering dilakukannya.
" Hey... kau masih ingin makan pipiku?" Protesku sambil berusaha melepaskan diri darinya.
" Kau datang untukku atau untuk Davi?" Rafaella mengabaikan pertanyaanku yang sebelumnya.
" Aku akan melayangkan tuntutan untukmu karena ini, kau tahu."
" Aku hanya mengambil pilihan terakhir Ney. Hanya dengan menculik anakmu, kau akan datang kemari."
" Senang bertemu denganmu bro." Mathew, dia sudah ada di dekat kami, aku tak menyadari kedatangannya. Pria itu seperti selesai mengerjakan sesuatu, kaus yang ia kenakan penuh dengan keringat. Dan dia menyalamiku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Leaving Valentina
Fanfiction"Untuk sekarang−saat kau terbangun nanti, biarlah kau tahu jika aku masih meninggalkanmu." Seri kedua Loving Valentina. Selamat membaca. :)