Diumurku yang harusnya masih produktif bermain bola, sepertinya mengalami titik sebaliknya sekarang. Ada banyak kekalahan di depan mata, dan sialnya lagi aku tak melakukan apa-apa saat menghadapi mereka. Krisis mental, katakan saja begitu. Aku bahkan tidak bisa mengambil keputusan dengan benar. Kata Lopez, jika aku ingin bertahan maka aku harus mengikuti kata-katanya ketimbang menuruti egoku sendiri; atau keinginan untuk bermain-main seperti Aidan yang dulu−Aidan yang masih baik-baik saja.
" Ya...ya, baiklah. Kami baik-baik saja. Kami akan menunggumu." Lopez bicara susah payah dengan seseorang lewat ponsel pintarnya. Setelah panggilan diakhiri, dia menyeka butir-butir keringat di dahinya sekali lagi. Bahasa Inggrisnya tidak terdengar seperti aksen Portugis. Pria itu pasti berusaha sekali.
Minuman Lopez hanya tersisa sedikit. Dia sekali lagi meminta dibawakan lime squash ke meja kami. Sementara aku masih belum menyentuh minuman di depanku. Kedua mataku menyipit memandangi sekitar. Hari begitu terik, seakan membakar benda apapun yang ada di luar ruangan, termasuk aku dan Lopez. Heran juga, mengapa tamu kami meminta untuk bertemu di sini. Maksudku, sebuah restoran outdoor yang terletak rooftop hotel di pusat kota. Meskipun meja kami di naungi payung besar; sama seperti meja-meja yang lain tapi di waktu-waktu tertentu ada kalanya matahari menuntut haknya untuk berada di sana selama beberapa saat.
" Aku tidak percaya ini Lopez, menuruti kata-katamu? Yang benar saja?" Aku sedikit mengejek keputusanku sendiri.
" Kau diam saja. Tidak usah berkata seolah-olah kau punya pilihan lain." Lopez membela dirinya.
" Aku mau kembali ke Eropa." Kataku berang.
" Amerika adalah tawaran yang terbaik sejauh ini." Pria itu mempertegas kata-katanya.
" Apa yang bisa kita harapkan dari pria ini?, dia sudah terlambat setengah jam lebih dan kau masih mau menunggu."
" Tuan Xavier, Tuan Lopez." Tiba-tiba saja seorang pria bersetelan resmi menghampiri kami dengan tersenyum. Tidak sendirian, pria itu datang bersama seorang anak laki-laki berumur sekitar delapan tahun yang membawa bola di tangannya.
" Maafkan aku tuan-tuan, aku harus menjemput putraku dari sekolah terlebih dahulu." Dia meminta maaf dengan sopan. Seketika amarahku mereda melihat wajah si bocah pirang yang terlihat begitu bahagia.
" Tidak apa-apa Tuan Jameson. Silakan duduk." Jawab Lopez kembali menggunakan Bahasa Inggris yang tidak terlalu kaku. Jameson pun duduk setelah ia membantu putranya duduk.
" Baiklah, mari kuperkenalkan diriku secara resmi. Namaku Casey Jameson, juru bicara New York Red Bull, dan aku diberikan kewenangan untuk membicarakan tentang minat klub kami pada anda, Tuan Xavier." Jameson bicara dengan nyaman. Dia terlihat sangat berkharisma dan pandai sekali bicara. Tidak heran jika sebelumnya dia berhasil meredakan amarahku karena keterlambatannya.
"Daddy... you said you will introduce me to Aidan Xavier." Dengan polosnya putra Jameson menyela pembicaraan itu.
" Uhmmm.... I..." Jameson menatap tak enak padaku dan Lopez karena hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Leaving Valentina
أدب الهواة"Untuk sekarang−saat kau terbangun nanti, biarlah kau tahu jika aku masih meninggalkanmu." Seri kedua Loving Valentina. Selamat membaca. :)