Bagaskara Wijaya pov
Gadis yang lugu dan pemalu. Hanya itu yang bisa aku katakan jika ditanya pasal gadis yang belakangan ini sering menemuiku. Bella. Namanya Bella. Tapi aku tidak mengetahui nama lengkapnya.
Apakah aku menyukainya?
Entahlah.
Aku hanya mencoba menjadi kakak kelas yang baik untuknya. Mengajarinya yang baik dan menjauhkannya dari yang buruk.
Ah bodoh. Semua kakak juga melakukan itu.
Dia gadis yang sempurna. Tubuhnya yang mungil membuatku membayangkan sesuatu. Jangan negatif. Aku hanya membayangkan bisa menjadi pelindungnya selalu.
Jika di sekolah mungkin aku hanya dikenal sebagai kutu buku. Tapi tidak dengan di luar. Ayahku adalah pemilik salah satu dojang taekwondo terkenal di kotanya. Ya, kalian bisa tebak. Aku juga bisa bela diri. Meski hanya memakai sabuk merah strip dua, tapi aku rasa itu cukup untuk melindungi tubuh mungilnya.
Aku senang bisa bertemu dengannya. Dari pertama aku melihatnya di parkiran sekolah. Hm, bukan melihatnya. Lebih tepatnya dia yang menghampiriku saat itu. Wanita menghampiriku? Terdengar aneh. Tapi itulah kenyataanya.
Pipinya selalu memerah jika aku berbicara dengannya. Ia tampak sangat malu jika bersamaku.
Mungkinkah ia menyukaiku?
Ah lupakan. Aku tidak ingin menyakitinya dengan perasaan apalagi dengan fisik.
"Kak Bagas?" panggil seseorang kepadaku
"Hah? Iya?" jawabku kaget padanya.
Ternyata ia adalah teman Bella, Acha. Aku lupa mengatakannya. Jika kami sudah pulang dari sekolah dan Acha menyuruhku datang kesebuah taman guna mengajarinya Matematika dan IPA. Tentu saja ia mengajak gadis itu, Bella.
"Ini gimana ya caranya? Aku ga pernah ngerti kak. Bayangkan saja. Guru di kelasku hanya datang seminggu sekali. Padahal jadwalnya 2 kali" jelasnya padaku- Acha
"Haha. Kakak juga seperti itu dulu. Tapi karena kakak mengikuti les privat jadi belajarnya tidak risau seperti adik sekarang" jelasku padanya.
Aku kemudian mulai menjelaskan sedikit demi sedikit materi yang Acha tanyakan. Bella? Dia hanya mendengarkan. Sesekali mengangguk tanda mengerti. Namun, tak segan juga ia menggeleng saat tidak mengerti.
Berbeda dengan Acha. Ia selalu mengangguk dan kemudian nanti bertanya lagi. Padahal sebelumnya ia mengatakan 'sudah mengerti'.
"Ekhem. Kakak mau nanya boleh?" tanyaku saat mereka tengah asik mengerjakan soal yang aku berikan tadi.
"Iya" jawab mereka serentak. Sahabat yang kompak.
"Boleh tau nama lengkap kalian? Mungkin terdengar aneh jika kakak bertanya hal seperti ini. Tapi kakak hanya ingin tau, itu saja" jelasku pada mereka agar tidak ada kesalahpahaman di antara kami.
"Acha Juliani"
"Annabella Angelista"
"Acha Juliani? Kakak akan panggil kamu Aci. Lalu Annabella Angelista? Annabell? Mirib nama boneka yang menyeramkan itu ya?"
"Aci? Nama macam apa itu??" bentak Acha padaku
"Jangan remehkan namaku kak. Orang tuaku memberi nama itu dengan kasih sayang" jawabnya padaku. Bella maksudku
"iya Aci. Yasudah iya, Angel"
"Angel?" tanya Bella dengan nada penasaran
"iya, Angel" jawabku tegas

KAMU SEDANG MEMBACA
Heart And Logic
JugendliteraturBanyak yang bilang kalau cinta harus main logika, tapi bagaimana dengan hati? Bukankah hati yang menumbuhkam cinta? Lalu aku harus memilih apa? Kata hati? Atau logika? Mungkin keduanya? Cover by Picture For You @ted3530r