07. H E R

3.2K 582 8
                                    

Bunyi klakson mobil membuyarkan pikiran Jisoo yang menerawang, mencoba mengulang berbagai penuturan dan penjelasan gadis yang mengaku kawan lamanya—Im Nayeon, serta sekaligus berusaha untuk mencocokkannya di setiap pintu di dalam ingatannya yang mungkin terkunci.

Jisoo membalikkan badannya ketika hendak memasuki halaman tempat yang dia tinggali itu dan melihat mobil sedan berwarna hitam doff yang sangat tidak asing baginya. Tanpa harus bergumam tidak jelas dan bertanya pada dirinya sendiri, dia langsung mengenali siapa pemiliknya.

Seungcheol sungguh telah mengembalikan mobil itu pagi-pagi sekali.

Kaca di pintu penumpang terbuka, terlihat sosok pria di kursi kemudi yang ternyata sudah pulih lagi dari keadaannya yang cukup mengacau tadi malam. Entah, bahkan Jisoo tidak yakin kalau dia sendiri mengingatnya. Tetapi, mau ingat atau tidak, pria itu tetap tidak akan mengubah apapun. Maaf sepertinya bukanlah tipikal kata yang tertulis di dalam kamusnya.

"Kim Jisoo!" seru Taeyong dengan lantang.

Jisoo mendesis pelan. Bisakah ia tidak menganggap semua tempat adalah dapur? Bahkan ini hari libur dan dia mendengar teriakan itu lagi. Tidak, bukan karena tidak suka atas posisinya sebagai bawahan. Kekesalannya ini lebih kepada siapa yang meneriakkan namanya.

Terkadang Kim Jisoo mengagumi Chef-nya, Lee Taeyong. Tetapi, pada banyak waktu, dia membencinya.

Atau, lebih ke . . . takut?

"Ya, Chef?" tanya Jisoo setengah hati. Betapa dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan pria itu hari ini. Lagi.

"Ikutlah denganku. Aku akan membeli peralatan untuk dapur. Ada beberapa yang harus diganti," tukas Taeyong dengan tatapan yang menurut Jisoo sangat mengintimidasi.

Melihat ekspresinya yang seperti itu, mustahil bagi Jisoo untuk menolaknya. Dia menggeram kecil. Kenapa Taeyong harus berhenti saat melihatnya? Kenapa dia tidak berlalu saja? Oh, ayolah. Jisoo ingin tidur seharian.

"Sekarang, Chef? Aku—" Jisoo menangkap mata Taeyong yang tidak memancarkan sedikitpun rasa toleransi atau apapun itu. Jika sudah terucap dari bibirnya, maka— "Baik Chef. A-aku akan berganti pakaian."

"Sepuluh menit," sahut Taeyong, semakin membuat Jisoo kelabakan dan mempercepat langkah kakinya.
-------

"Chef, aku rasa yang ini—"

"Tidak. Coba pegang genggamannya. Ini tidak bagus."

Bagi Jisoo, dia tidak ada gunanya berada di sana. Taeyong memiliki tingkat selera, kebutuhan, dan keinginan sendiri yang bahkan tidak akan pengaruh jika ada intervensi dari berbagai orang. Ini adalah kedua kalinya ia berbelanja dengan Taeyong. Dan kali ini tidak lebih menyenangkan daripada yang sebelumnya. Lama-lama, Jisoo merasa hanya sebagai pengawal pribadi Taeyong saja.

Membosankan.

Bukan karena kegiatan belanjanya, atau tentang apa yang akan dibeli. Namun karena Taeyong yang membuat suasananya jadi sedemikian rupa. Jika Jisoo adalah teman atau kakak kelasnya, dia sudah menyindir dan memaki seperti apa yang telah Taeyong lakukan. Tapi sayangnya, Jisoo bukan.

Lagipula, dia tidak punya keberanian semacam itu. Ingat kan? Taeyong berada di level yang berbeda.

Jisoo menutup mulutnya yang menguap, matanya mengikuti Taeyong yang kini berada beberapa meter di depannya. Dia berhenti dan cukup lama mengamati sesuatu yang terjajar di rak itu. Sebenarnya Jisoo tidak ingin ikut campur lagi atau terdengar sok memberikan pendapat—yang akan sia-sia, jadi dia menghampiri Taeyong hanya karena penasaran.

Burned Up ㅡ taeyong ; jisoo ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang