13 - No 'lo-gue'

42 9 2
                                    

Sepeninggalnya dari rumah, Jananta memacu motornya menuju rumah Keana, ia berniat untuk menemui Keana dan meminta maaf atas apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Tidak butuh waktu lama baginya untuk sampai dirumah Keana karena setelahnya, Jananta sudah berdiri didepan pintu rumah Keana. Setelah beberapa kali mengetuk, pintu tersebut terbuka, menampilkan sesosok wanita—mama Keana.

"Pagi tante," Sapa Jananta.

"Eh, nak Ata, nyari Keana ya?" Jananta kemudian mengangguk. "Masuk aja, Keana lagi di kamarnya, dia agak sedikit demam."

"Keana demam tante?" Raut wajah Jananta berubah menjadi khawatir, "Udah dari kapan tante?"

"Dari semalem, kayaknya kebanyakan lembur tugas."

"Saya langsung masuk aja ya tante?"

"Oh iya silahkan, nak." Jananta langsung berjalan menuju lantai dua di rumah Keana dan memasuki kamarnya. Didalam kamar, Jananta melihat Keana sedang tertidur pulas dibalik selimut bergambar Monster Inc. Wajahnya terlihat pucat dan sedikit berkeringat. Dengan perlahan, Jananta mendekati Keana dan berjongkok disampingnya. Ia mengusap keringat di dahi Keana dengan tangannya dengan sabar. Perasaan bersalah kini mengalir dalam diri Jananta, ia merasa bersalah karena ia tidak tahu jika Keana sedang sakit. Ia kemudian memeras handuk basah yang digunakan untuk mengompres Keana dan meletakkan handuk tersebut di dahi Keana.

"Ke, kenapa lo gak bilang sih kalo lo sakit?" Jananta mengusap rambut Keana pelan, tidak ingin membangunkan Keana dari tidurnya. "Lo tau kan kalo gue gak bisa liat lo sakit?". Jananta kembali duduk terdiam di sebelah Keana, ia melingkarkan kedua tangannya dan memeluk kakinya. Pandangannya memperhatikan Keana yang sedari tadi masih tertidur.

Satu jam berlalu sejak Jananta mengganti handuk di dahi Keana untuk terakhir kali. Jam kecil di nakas kamar Keana sudah menunjukkan pukul 11.35 dan Keana belum bangun juga. Jananta meletakkan tangannya di dahi Keana dan dahinya, untuk mengecek apakah panas di dahi Keana sudah sama dengannya atau belum. "Hm..." Ia bergumam sendiri. "Udah mendingan ternyata" tak lama berselang, Keana mulai bangun dari tidurnya dan sedikit terkejut karena Jananta ada di kamarnya.

"Ata?" panggil Keana lemah.

"Eh, Ke, udah bangun?"

"Lo ngapain disini?" Tanyanya sambil melepaskan handuk kompresan yang berada di dahinya.

"Ngejagain lo." Jawab Jananta singkat. "Kok lo gak ceritasih kalo lo demam? Lo tau 'kan, gue khawatir banget kalo lo sakit—"

"Ta, gue gak apa-apa. Gue cuma kecapekan aja." Keana masih berujuar dengan nada suara pelan, membuat Jananta memajukan posisi duduknya semakin dekat dengan Keana.

"Ke, maafin gue ya." Jananta berujar sembari menundukkan wajahnya dan memegang tangan Keana. "Maafin gue karena selalu jadi beban buat lo. Gue tau pernyataan gue kemarin pasti beban banget buat gue, dan gue—"

"Ta," Keana memotong ucapan Jananta. "Gue kan udah pernah bilang jangan sering minta maaf kalo gak lebaran." Ujar Keana sambil tersenyum. "Lo sama sekali nggak jadi beban buat gue, Ta, justru sebaliknya. Gue banyak nyebabin masalah buat lo dan Shanin." Keana meremas tangan Jananta.

"Ta, gue sayang sama lo, gue mau jadi cewek lo,"tanpa Keana sadari, air matanya sudah menggenang di pelupuk matanya. "Tapi gue gak mau nyakitin Shanin."

"Ke—"

"Gue gak mau Shanin semakin ngebenci gue karena gue jadi cewek lo, tapi gue juga gak mau kehilangan lo, Ta. Gue tau gue egois sekarang." Keana mengusap air matanya sendiri dengan kasar. "Tapi gue bener-bener gak mau kehilangan lo seperti gue kehilangan Papa, Ta." Air matanya semakin deras. "Buat gue, kehilangan Papa udah jadi hal paling menyakitkan dalam hidup gue, dan gue gak mau kejadian yang sama terulang lagi."

LatibuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang