Owen dan Eral

77 9 1
                                    

Jananta's POV

Kemarin, gue pulang ke rumah dengan keadaan basah kuyup karena harus menerobos hujan selepas nyamperin Shanin yang ternyata dia disana malah asik-asikan sama Sandy.

Oke, ini bukan salah Sandy juga sih karena dia gak ngasih tau gue kalo dia bakal nyamperin Shanin setelah pertemuan kita. Justru gue merasa kesal dengan diri gue sendiri karena gue gak selalu ada buat Shanin seperti dulu. Gue juga gak bakal munafik untuk menyangkal bahwa waktu gue udah habis buat Keana entah nemenin dia beli novel baru, ke pasar malem, atau sekedar beli cilok di deket Monas.

Hampir setiap hari gue berangkat pagi buat ngampus dan pulang jam delapan malam, dan jam segitu biasanya Shanin lagi belajar dan gak mau diganggu sama sekali.

Sekarang gue rasanya sedang berada di pertengahan antara senang dan sedih campur marah. Senang karena Shanin gak perlu kesepian lagi saat gue gak ada. Sedih dan marah karena gue gak bisa nemenin Shanin seperti dulu.

Gue mengacak rambut frustasi. Mencoba mencari jalan keluar bagaimana caranya Keana dan Shanin bisa berteman seperti biasa.

"Paling kesini juga disuruh Keana. Si caper Keana."

Kalimat Shanin terus mendengung di kedua telinga gue, seakan nggak mau hilang.

Caper.

Caper katanya? Gue tersenyum pahit.

Kalo boleh jujur, sebenernya gue agak tersinggung sama Shanin yang ngatain Keana caper tanpa tau kondisi sebenarnya. Bahkan saat di telepon tadi, suara Keana terdengar khawatir banget waktu tau Shanin ada di starbucks sendirian. Pesan terakhir dari Keana juga membuat gue tahu kalo sebenarnya Keana hanya khawatir sama Shanin, dan selalu berusaha mencari jalan agar mereka berdua dapat berbaikan.

Gue jadi tambah ngerasa kalo gue merupakan sumber masalah utama dari pertengakaran keduanya. Bukan salah Shanin yang egois, atau Keana yang selalu butuh perhatian. Gue kembali menjatuhkan badan gue ke kasur empuk yang berada di kamar. Memandang langit-langit kamar yang berwarna putih. Disamping kasur gue terdapat nakas yang diatasnya terdapat pajangan foto gue beserta Keana dan gue beserta Shanin.

Gue mengambil foto gue dan Shanin dari atas nakas. Menatapnya nanar.

"Dek," sial, mata gue mulai panas. "kalo aja kamu tahu, gimana sayangnya abang sama kamu."

- Latibule -

Keana's POV

Gue berangkat ke kampus pagi ini pake taksi, gak bareng mama ataupun Ata. Gue lebih memilih sendiri, memberikan kesempatan untuk Ata untukmerefleksi diri dan lebih dekat dengan Shanin lagi. Gue bener-bener gak mau kalo harus terus disalahkan sebagai pemecah persaudaraan antara kakak dan adik tersebut.

Seperti biasa, pelataran kampus masih sepi saat taksi yang gue tumpangi menurunkan gue di depan gedung fakultas komunikasi. Setelah membayar taksi, gue turun dari taksi dan duduk di gazebo sekitar gedung komunikasi. Gue memang bukan tipe anak yang selalu nongkrong di gazebo kampus saat ramai. Gue lebih menikmati saat-saat sepi seperti ini. Saat dimana gue bisa berbicara dengan pikiran gue sendiri dan mencoba merefleksikan diri sendiri.

"Eheeeyyyy!" Suara seorang laki-laki yang entah darimana bener-bener bikin gue kaget. Apa jangan-jangan penunggu—"Sendirian aja?" tanyanya yang sudah duduk disamping gue. Dan ternyata bukan hanya satu orang, melainkan dua orang.

"Siapa ya?" tanya gue dingin. Bener-bener males untuk basa-basi.

"Duh, galak amat sih. Kenalin," ujar pria yang bertubuh tinggi dengan telinga yang menurut gue sih jauh dari kata normal, sambil menjulurkan tangannya. "nama gue Owen."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 21, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LatibuleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang