Awal

31 6 1
                                    

Kedua tanganku kubuka perlahan. Membuka muka yang sedang mencoba menghilangkan stresnya. Telapak tanganku penuh dengan air mata. Dan mataku penuh dengan kantungnya. Semalaman ini masih sama seperti sebelum-sebelumnya, kuhabiskan untuk meratapi sejuta penyesalan, di sebuah penjara.

Tempat itu pengap dengan menyisakan sebalok kecil cahaya mentari. Kosong, dan akulah benda hidup satu-satunya. Aku terduduk di sudutnya. Meringkuk tak berdaya dengan baju tahananku yang telah robek. Juga teriakan yang selalu membuat semua penjaga mati kebisingan. Makanya, mereka pasti memakai penutup telinga setiap mendapat giliran menjagaku. Dan aku, akan selalu meratapi sampai terbalaskannya putra kebaperan yang tenggelam, benci.

Bunyi berat pintu penjaraku terdengar. Kepulan debunya menari diudara gersang penjara, menandakan begitu lamanya ia tak pernah tergeser secuil pun. Dan sepertinya penjaga itu juga merasakan kian tuanya pintu yang tengah didorongnya. Berbobot dan jelas keras setara batu.

"Anka. Sudah waktunya." Ya, itulah namaku. Akhirnya. Kutarik napas dalam-dalam. Mataku terpejam menyeringaikan senyum perlahan yang tersorot celah cahaya disana. Dan air mata, ia kini hanyalah sebuah bekas.

Perlahan aku bergerak memurnakan goresan pagar di dinding. Menggoreskan batu dengan batu. Mencipatakan bekas putih yang menutupi seluruh dinding hanya untuk menunggu hari ini akan tiba. Penjaga masih terkagum melihat seluruh dinding, tak berkutik ketika kuketukkan batu pada baju zirahnya, mengajak untuk cepat keluar.

Badannya besar dan tinggi. Terlihat kekar ditambah janggutnya yang mencuat dari penutup wajahnya. Dan yang pasti ia memakai penutup telinga. Aku mengekor di belakangnya alih-alih bersiap untuk melarikan diri, namun itu justru hal bodoh bila kulakukan sekarang, tak ada gunanya.

Pengapnya udara kandang penjaraku mulai memudar dimakan lorong-lorong yang redup dengan obor disetiap sisinya. Dan dari situ cahaya yang lebih terang terlihat di depan. Berharap itu dari mentari. Membuatku kian mempercepat langkah tidak sabarku.

Sepertiku juga, penjaga itu mempercepat langkahnya alih-alih bukan karena menyesuaikan langkah denganku, tapi supaya cepat dapat menghindar dari bau badanku yang telah berumur-umur tidak pernah dibersihkan.

Seberkas cahaya yang lebih besar kuterima, di bibir pintu penjara. Benar saja, itu dari matahari. Dan tanpa kata-kata, penjaga memberikan pakaian lamaku sembari menunjuk sebuah ruangan kecil tempatku untuk berganti.

Gaun putih bergaris kuning metalik. Kerahnya berenda gelap menggulung. Juga lengannya panjang dan beruncing diujung, agak menyempit dibagian pinggangnya, dan terjuntai sampai menyentuh lantai. Sempurna.

Pintu utama dibuka lebih lebar. Dan aku kini seutuhnya telah terkena cahaya matahari. Gaunku memantulkan cahayanya. Selangkah berjalan, berarti satu tarikan napas panjang dimulai. Dan langkah selanjutnya, berarti satu lepasan napas panjang dikeluarkan. Awalnya aku tak gugup, tapi rasa itu datang menjemputku lebih dahulu sebelum aku keluar total dari lobi penjara. Kau hanya tinggal selangkah.

Oke, santai dan rilex Anka. Ini akan seperti biasanya. Kau hanya tinggal keluar dan beraktifitas. Namun, ada satu hal yang harus kau tetap tancapkan sedalam-dalamnya. Jangan pernah kau lupakan rasa pahit, perih yang terlanjur mengakar dihatimu. Menuntut untuk membalaskan pada apa yang telah membuatmu begini, si kacamata bulat.

🐾🐾🐾

Kenapa Anka dipenjara?
😣😕😶😐

BLACK HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang