Sepuluh

27 6 3
                                    

        “Serangan datang tanpa pertanda

Renata membaca ulang pesan Dion. Pemuda itu menegaskan tidak ikut karena tugas. Renata tidak punya pilihan lain sebab hanya Dion yang dapat dipercaya. Dia memijit kepalanya memikirkan cara menjaga Kirana di tempat ramai sendirian.

Renata membuka cashing belakang ponselnya, mengambil chip yang memendar warna merah. Dia tahu konsekuensinya bila mematikan radar, tapi Renata tidak punya cara lain.

Pintu ruang terapi terkuak, Renata sigap menghampiri Kirana. “Bagaimana? Lancar?” tanyanya antusias.

“Sejauh ini lumayan. Kirana mulai membuka diri.” Dokter Ayunda yang menjawab.

Renata tersenyum lega. “Akan saya sampaikan ke Bu Dea.” Dokter Ayunda mengangguk lalu kembali masuk ruangan.

Elganta dan Della menyambut Kirana begitu melewati pintu kaca otomatis. Mereka menunggu di luar sebab tidak diizinkan masuk ke dalam.

“Apa kata dokter?” tanya Della pada Renata yang berdiri di kiri belakang Kirana. Renata mengulang ucapan dokter Ayunda.

Della tersenyum lega.“Sekarang waktunya main. Senyum dong, Kiran.” Della mencubit pipi Kirana. Kirana menepis tangan Della “Sakit,” protesnya.

“Iya.. iya, maaf.” Della terkekeh. “Kuy, kita jalan,” lanjutnya semringah.

Di mobil Della sibuk cerita soal adaptasi novel ke film yang akan segera syuting. Kirana mendengarkan antusias. Membayangkan tulisannya akan diperankan di dunia nyata oleh aktor dan aktris papan atas. Air matanya nyaris jatuh kalau dia tidak menahan sekuat tenaga.

Berbeda dengan Elganta dan Renata yang saling diam di jok depan.

Elganta menganalisis debatnya dengan Renata beberapa jam lalu. Menduga Renata tahu sesuatu.

Sementara Renata memikirkan strategi terbaik melindungi Kirana di Dufan. Meski telah melepas chip, dia tetap khawatir keberadaannya terdeteksi.

“Sampaiiiii....” suara nyaring Della membuyar benak Elganta dan Renata. Keduanya kompak melarikan pandangan ke papan bertulisan Taman Impian Jaya Ancol.

Elganta sontak terlempar ke masa belasan tahun silam ketika dia dan Kirana diajak almarhum papanya ke tempat itu. Mereka kabur seperti hari ini. Pergi tanpa seizin Papa Kirana.

Terbayang wajah ceria Kirana begitu memasuki Ancol. Bibir mungilnya berkali mengucap, “wah” dengan senyum terkembang sempurna. Jarinya menunjuk ke pantai yang membentang sepanjang mata memandang. Saat itu Elganta merasa kasihan, Kirana anak orang kaya tetapi ke Ancol saja harus kabur. Persis seperti hari ini.

Decit rem mengejutkan Elganta. Rupanya Della mendadak minta diturunkan di depan pintu masuk Dufan untuk beli tiket.“Kamu dengan Nat ya, Kiran. Nasib harus selalu bareng pengawal,” Della terkikik sebelum menutup pintu. Kirana hanya mengangguk pasrah.

Tidak ada yang perlu dicemaskan, kan? Renata membaca ketikan Kirana yang disodorkan ke samping bahunya ketika dia mematikan mesin mobil. Renata menggeleng. Namun Kirana tidak lantas percaya. Gadis itu kembali mengetik.

Kenapa wajahmu tegang?

Renata tertawa kering. “Kamu memang paling suka berpikiran negatif. Yuk, turun, mereka sudah menunggu kita.” Renata membuka pintu, menyapu sekeliling dengan matanya, membukakan pintu Kirana setelah memastikan aman.

Kenapa perasaanku tidak enak, ya..

“Sudah kubilang aman. Waktunya bersenang-senang.” Renata memasang mimik gembira demi meyakinkan Kirana. Padahal matanya awas menjelajah sekeliling selama berjalan di kiri belakang Kirana.

The Guardian AngelWhere stories live. Discover now