Tiga

38 7 0
                                    

Ada endapan masa lalu yang sulit kuretas, tapi kamu semudah itu mengingat.”

Peluh membanjiri pelipis Elganta. Tiga hari berturut-turut peristiwa mengenaskan itu menerjang alam mimpi. Kejadian sepuluh tahun lalu yang seumur hidup tidak akan pernah dia lupakan.
Masih lekat di pelupuk mata kobaran api yang melumat seisi rumah besar berlantai tiga. Jerit dan tangis yang dia dengar sempurna sebelum tubuhnya yang lemas akibat asap pekat menyentuh tegel panas. Luka bakar yang masih menyisakan scar di punggung serta ujung pahanya. Seperti baru terjadi kemarin.
Elganta menyibak kasar bed cover yang menutupi setengah tubuhnya. Merasakan panas yang tidak biasa. Mimpi itu terlalu nyata.
Andai saat itu dia bisa berbuat lebih?
Dia masih sangat muda untuk bisa menyelamatkan keempat penghuni yang sudah dia anggap keluarga. Tubuh kurusnya terlalu lemah bahkan untuk menolong diri sendiri. Jika tidak ada yang menarik tubuhnya mungkin namanya ikut tercetak di surat kabar lokal.
Elganta mendesah. Bagaimanapun, masih ada yang layak dia syukuri. Kehidupan Kirana.
*
Kirana lamat-lamat menikmati puding mangga yang diserahkan staf Elganta sebelum dia dan Della ke luar kafe. Rasanya melebihi kata enak. Intuisi Elganta seratus persen benar. Hebat juga cowok itu, bathin Kirana senang. Puding mangga itu akan menjadi favoritnya setelah kue balok dan caramel machiato.
Anehnya, Kirana merasa akrab dengan puding buatan Elganta yang dia yakini baru pertama kali masuk mulutnya. Ya, dia memang pernah makan puding mangga buatan Dea beberapakali, tetapi rasanya tidak lantas menjadikannya desert favorit. Berbeda dengan buatan Elganta yang langsung mengenai indera perasa dan disetujui hipotalamus-nya.
Seperti deja-vu. Kirana merasa penah merasakan sensasi se-exited ini ketika mengunyah sepotong puding. Seperti pernah juga merasa nelangsa usai kunyahan terakhir tandas. Tapi di mana?
Seperti biasa pula pelipisnya akan langsung berdenyut kencang ketika Kirana memaksa ingatannya.
Dia lantas menyerah. Mungkin dia pernah makan puding seperti itu ketika masih kecil. Ketika ingatannya masih sempurna. Ya, Kirana akan memaknai ingatannya seperti itu. Denyut itu pun lenyap.
Kirana menyalakan laptop. Melanjutkan tulisan lebih baik daripada mengingat rasa puding mangga. Dia tidak perlu mengingat masa lalunya. Kehidupan yang dia jalani saat ini lebih dari cukup. Ada Della, Mama Dea, dan Papa Rianto yang menyayanginya. Tapi.... jemari Kirana batal bergerak di atas keyboard. Dia kembali menyender dengan rasa ngilu bersarang di hati. Keluarganya.....
Matanya kembali memuntahkan bulir bening. Bila cerita Rianto benar, betapa menderita keluarganya, harus meregang nyawa dalam kobaran api. Kirana terisak hingga hidungnya mampat.
Kamarnya diketuk. Kirana tergesa mengambil tisyu, menyeka sisa air matanya. Lalu mendesah ketika menyadari mata bengkaknya tidak mungkin disembunyikan.
“Apakah Papa menganggu?” tanya Rianto ketika Kirana membuka daun pintu.
Kirana menggeleng lemah. Tanpa bicara, Rianto memeluknya.
“Maafin Papa bila semua ini terlalu mendadak.”
Kirana kembali menggeleng dalam pelukan Rianto. Rianto mengecup puncak kepala Kirana sebelum melepas pelukan lalu membimbing Kirana duduk di kursi belajarnya.
“Pengacara itu ingin bertemu denganmu besok.”
Jantung Kirana kembali memompa cepat. “Kiran takut, Pa.”
Rianto tersenyum lembut seraya menggeleng. “Selama ada Papa tidak ada yang perlu ditakuti.”
Ucapan Rianto meredakan ketakutan. Kirana bersyukur diangkat anak oleh Rianto. Betapa Tuhan sayang padanya.
Rianto mengeluarkan sebundel kertas dari amplop cokelat yang dia letakkan di atas kasur, mengangsur ke Kirana. Kirana menerima dengan alis bertaut.
Apa ini?” tanyanya seraya menengadah.
“Aset almarhum papamu.”
Dengan dada berdebar keras Kirana membaca lembar demi lembar. Kerongkongannya mendadak kering dan tangannya gemetar. Dia gemetar membaca deretan angka yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Tidak mengira almarhum papanya sekaya itu.
Belum habis membaca, Kirana menyerahkan bundel kertas kembali ke Rianto. Dia terlalu syok menerima kenyataan itu. Dalam sekejab dia seperti berada di negeri dongeng, di mana gadis panti-adopsi-tuna wicara mendadak jadi puteri raja.
Mungkin mereka salah orang, Pa.” Kirana menyeka keringat yang merintiki pelipis. Nuraninya terus menyangsikan.
“Papa sudah cek ulang dan ini benar.”
Kirana masih berusaha menepis fakta dengan menggeleng cepat.
“Percaya Papa.” Rianto mengelus rambut Kirana yang makin terlihat gugup.
Tapi, Pa, jika Kiran anak konglomerat, kenapa Kiran selamat? Siapa yang menyelamatkan Kiran? Kenapa Kiran berada di panti asuhan? Kenapa keluarga besar Papa atau Mama tidak mengurus Kiran?” Satu persatu bulir air lolos dari sudut mata Kirana.
Rianto kembali memeluknya. “Tidak semua hal bisa diterima akal sehat. Papa harap kamu tidak ingat kejadian mengerikan itu. Papa mau kamu melanjutkan hidup. Masa depan kamu lebih penting.”
Kiran, takut, Pa,” kata Kirana setelah Rianto melepas pelukan.
“Manusia perlu rasa takut untuk kemudian menjadikan dia kuat dan berani,” tukas Rianto bijak.
Kirana menghapus sisa air matanya kemudian mengangguk.
“Sekarang kamu istirahat. Besok pagi kita ke kantor Pak Rahman,” perintah Rianto menyebut nama pengacara papa Kiran.
Kirana hanya dapat mengangguk pasrah.
*
Pagi-pagi sekali Della menerobos masuk kamar Kirana. Kelopak mata Kirana yang bengkak akibat terlalu banyak menangis terasa sulit diangkat. Tapi suara Della yang ceriwis tidak mungkin dia indahkan.
“Ya ampun Kiran, aku nggak nyangka. Selamat, ya.” Tanpa Kirana duga, Della merengkuhnya erat. Kirana sampai merasa akan kehabisan napas.
Ada apa?” tanya Kirana setelah Della meremas tangannya.
“Saudaraku mendadak jadi orang kaya!” Della menjerit.
Refleks Kirana membekap mulut Della sambil meletakkan telunjuk di tengah bibirnya.
“Kenapa?” tanya Della berdengung akibat bekapan.
Aku takut Del.” Wajah Kirana kembali muram.
“Jangan takut Kiran. Justru ini anugerah yang harus kamu syukuri. Banyak orang yang berharap tukar tempat denganmu.”
Tapi keluargaku...”
Della sontak memeluk dan mengusap punggung Kirana. “Aku turut sedih dengan tragedi yang menimpa keluargamu. Tapi Papa bilang, tidak ada yang mampu menolak takdir.”
Della melepas dekapan dan mengelus kepala Kirana sayang.
Apakah ini nyata?”
Della tersenyum singkat. “Banyak cerita fiksi yang diambil dari kehidupan nyata. Dan ini buktinya.”
Aku takut Della.” Lagi-lagi Kirana mengulang kata sama seraya menyeka air mata yang meluncur melewati pipinya. Dia tidak berdusta, dia betul-betul takut. Dia sempat berharap semua hanya mimpi. Dia takut hal-hal yang sering dia tulis di naskah fiksinya menjadi kenyataan. Harta yang membuat orang jadi incaran orang jahat.
“Jangan takut Kiran. Kami akan menjagamu, tuan puteri.” Della mencubit pipi Kirana lembut dan mengapus sisa lelehan air matanya.
Meski Della tulus menguatkan, tidak serta merta menjadikan Kirana berani menghadapi kenyataan.
*
Kantor Pak Rahman berada di bilangan Jakarta Selatan. Di antara impitan ruko-ruko tiga lantai dengan bentuk sama. Kirana menengadah melihat keseluruhan dinding gedung yang warna catnya mulai pudar. Mendadak rongga dadanya sempit.
Bila cerita itu benar, berarti dulu, di beberapa waktu lalu, papanya pernah datang.
“Ya Tuhan, Kirana. Oom tidak mengira akan melihatmu.” Rahman memandang takjub.
“Banyak yang ingin Oom bicarakan sampai tidak tahu harus mulai dari mana,” kata Rahman seraya mengusap ke dua pundak Kirana.
“Duduklah.” Rahman kemudian menyilakan Kirana dan Rianto duduk di sofa twoseater yang menghadap lukisan gerombolan ikan koi.
Kirana mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Berharap ada wajah papanya di salah satu bingkai.
Sekretaris Rahman menawari Kirana dan Rianto minum. Rianto menjawab dua kopi. Membuat Rahman tersenyum.
“Tidak kusangka kalian kompak. Aku sangat bersyukur.”
Rahman lalu mengambil beberapa album foto yang kavernya telah berubah warna.
“Ini foto keluargamu yang Oom punya.”
Kerongkongan Kirana mendadak ngilu. Kelopak matanya menghangat. Gemetar, Kirana membalik lembar demi lembar album foto. Tangisnya pecah.
Ternyata dia punya adik laki-laki. Adik yang dari fotonya tidak berbeda usia jauh dengannya. Adik yang di foto itu berpelukan dengannya. Sementara papa-mama memeluk mereka dari belakang. Foto yang menyayat hati Kirana.
Ternyata cerita itu benar. Dia betul anak Ardito Setiawan. Semalam dia mem-browsing wajah papanya. Dan wajah itu, sama dengan yang di foto. Kirana tersedu hingga kesulitan bernapas. Rianto mengusap punggung Kirana tanpa bicara.
Ke dua pria di hadapan dan sebelah Kirana tidak menginterupsi. Membiarkan gadis itu menumpahkan rindu dengan kenangan dalam foto.
Setelah Kirana menutup album foto dan mengapus lelehan air matanya dengan tisyu, Rahman buka suara.
“Papamu dan Oom berteman sejak kuliah.” Rahman menekan kelopak mata dibalik kaca matanya.
“Sayangnya, persahabatan kami tidak berlangsung lama. Tuhan lebih sayang papamu.”
Kirana masih terisak hingga tidak mampu menimpali ucapan Rahman. Jutaan tanya yang menggumpali persyarafan masih belum mencuat dari bibirnya yang bergetar.
“Oom sangat menyesali kebakaran itu. Tapi Oom tidak mampu berbuat apa-apa. Setidaknya, Tuhan masih berbaik hati dengan membiarkanmu hidup. Maafkan Oom yang baru menemukanmu.”
“Minumlah Kiran. Papa harap kamu lebih tenang” Rianto mengangsur gelas berisi air mineral. Kirana menerimanya gemetar.
Perlahan gadis itu meneguk air putih yang mampu melerai ngilu di kerongkongan. Tangisnya perlahan reda.
“Kamu mau minum kopi?” Rianto kembali menawarkan. Kirana menggeleng lambat.
“Kamu sudah lebih tenang, Kiran?” Rahman tersenyum lega. Kirana mengangguk.
“Bicaralah. Oom ingin dengar suaramu.”
Kirana tersentak. Rahman tidak tahu dia bisu?
“Kirana tuna wicara.” Rianto yang menjawab.
“Astaga. Jadi....? Ya, Tuhan, Kiran, maafkan Oom.” Rahman geleng-geleng mengusap wajahnya.
Kirana bicara dalam bahasa isyarat pada Rianto agar menyampaikan ke Rahman.
“Kirana tanya, apakah dulu dia bisa bicara?” Rianto menerjemahkan.
Rahman mengangguk cepat. “Kamu bahkan sangat ceriwis. Kamu juga sangat suka bernyanyi. Ya, Tuhan, Oom kira kamu hanya amnesia.”
“Karena itu saya harap kita tidak membahas masa lalu karena itu akan semakin melukai Kirana,” saran Rianto yang disetujui Rahman.
Kirana menggigit bibir. Sebenarnya dia masih ingin dengar cerita keluarganya. Tapi Rianto benar, dia tidak boleh terus menengok ke belakang, hanya akan membuatnya terluka dan susah move up. Pada saat seperti ini Kirana bersyukur menderita amnesia. Tak terbayang bila ingat kejadian mengenaskan dan kenangan bersama keluarganya. Mungkin dia bakal menghuni rumah sakit jiwa seperti salah satu cerita yang pernah dia buat.
*
“Mulai besok kamu akan didampingi bodyguard, Kirana,” tegas Rahman setelah memberitahu semua aset yang dimiliki Ardito beserta jumlah warisan yang menjadi bagian Kirana.
Kirana yang masih syok mendengar penjelasan Rahman hanya menatap nanar.
“Karena Oom harus membuat konferensi pers, bahwa anak Ardito Setiawan masih hidup dan sudah bisa menerima warisan karena sudah delapan belas tahun dan memenuhi syarat turunnya warisan.”
“Bukankah itu berbahaya?” reaksi Rianto.
“Memang. Karena itu mulai besok Kirana didampingi bodyguard.”
“Kenapa harus ada pengumuman. Tidak kah, ini masalah perdata, yang tidak perlu diketahui banyak orang.”
“Tapi itu adalah syarat yang almarhum ajukan sebelum wafat.”
Kenapa Papa buat syarat demikian?” tanya Kirana pada Rianto dengan raut cemas. Rianto menyampaikan ke Rahman.
Rahman mengangkat bahu. “Entahlah.”
“Itu akan membahayakan Kirana. Saya tidak setuju.” Rianto menegaskan. Kirana meletakkan tangannya yang gemetar ke atas punggung tangan Rianto. Rianto balas menggenggam erat. “Tenang Kiran. Papa akan melindungimu,” bisiknya.
“Hanya itu satu-satunya cara buat Kirana mendapat warisan,” pungkas Rahman mematah keberatan Rianto.
“Satu minggu setelah pengumuman terbuka, perusahaan akan mengadakan rapat pemegang saham. Kamu harus bersiap-siap, Kiran.”
Kepala Kirana berdenyut-denyut. Dia baru delapan belas tahun dan tidak mengenyam bangku kuliah. Dia hanya gadis hilang ingatan yang mendadak bisu. Kirana semakin takut. Merasa seperti anak ayam yang dimasukkan ke kandang harimau. Tidak tahu harus berbuat apa. Semua terasa tumpul dan meresahkan.
“Jangan kecewakan almarhum papamu.” Ucapan Rahman selanjutnya bagai karung semen yang menimpa kepala Kirana. Kirana merasakan penglihatannya buram sebelum akhirnya menggelap.
*
Intonasi suara rendah hilir mudik tertangkap telinga Kirana. Bau-bauan khas rumah sakit menyapa indera penciuman. Seperti deja-vu, Kirana merasa pernah berada di situasi yang sama.
“Ma, Kiran sudah sadar.” Suara Della terdengar paling nyaring di antara bisikan intonasi suara rendah di sekelilingnya.
“Kiran. Syukurlah.” Dea datang tergopoh, mengelus kepala Kirana seraya mengecup kening gadis itu.
Kirana mengedarkan pandangan. Mendapati dirinya berada di ruangan superluas. Dikelilingi beberapa orang asing yang duduk secara acak di beberapa sofa. Beberapa di antaranya bangkit mendekati tempat tidurnya. Seperti ingin memastikan kesadaran Kirana. Kirana mencengkram baju Dea erat.
“Jangan takut, sayang. Mereka teman-teman almarhum papa-mamamu.”
Bagaimana mereka tahu Kiran di sini?” Matanya menjelajah mencoba mengenali wajah-wajah asing itu. Namun hasilnya nihil. Dia hanya mengenal Rianto, Dea, Della, dan Rahman.
“Pak Rahman tadi pagi membuat pengumuman terbuka,” bisik Dea.
Kirana mencengkram dadanya yang mendadak sesak.
“Dan mereka langsung datang begitu tahu anak sulung Ardito Setiawan masih hidup.”
Berapa lama Kiran pingsan?”
“Sekitar dua puluh dua jam. Dokter bilang akibat syok.”
Salah seorang di antara wajah asing mendekat mengelus tangan Kirana. “Saya Tante Anggi dan ini Oom Denisa. Kami teman dekat almarhum papamu. Kami bersyukur kamu masih hidup. Selamat Kirana.”
Kirana hanya mengangguk lemah. Senyum ke dua orang asing itu tidak tulus. Tapi Kirana belum mampu menilai lebih jauh. Kepalanya masih terasa berat.
“Saya Oom Satya. Dulu kamu sering Oom gendong. Oom tidak mengira kamu sudah sebesar ini.” Pria bernama Satya mengelus rambut Kirana. Lagi-lagi Kirana hanya mengangguk lemah.
“Andai Oom tahu kamu masih hidup. Pasti akan Oom jaga seperti anak sendiri. Saya Hans.” Pria berikutnya menjabat tangan Kirana yang terkulai lemah di atas selimut.
“Kirana, Tante merasa bersalah pada mamamu. Andai Tante menemukanmu lebih dulu.” Wanita berpenampilan menor dengan sasakan cukup tinggi memeluk Kirana erat. Kirana merasa sesak dan segera menarik napas dalam. Berharap oksigen yang mengalir melalui selang ke hidungnya terhirup sempurna.
“Saya mohon maaf, tapi Kirana harus istirahat,” sela Dea yang membuat Kirana lega.
“Baiklah Kirana, kami pulang dulu, semoga lekas sehat.” Suara-suara saling berebut bicara. Kirana hanya mengangguk tanpa tersenyum. Kepalanya berat dan dia kembali mengantuk.

The Guardian AngelWhere stories live. Discover now