[1]

54 23 25
                                    

17:09.

"Udah jam segini, pantesan udah sepi parah. Ngeri juga." Gadis berambut hitam itu menyusuri lorong sekolah menuju ruang guru. Tapi ketika sampai dia tak menemukan sosok yang dia cari.

"Hallo pak, maaf ini rekapan kelas yang Bapak minta tadi udah beres. Bapak dimana ya?"

"Kamu taruh saja di meja saya, saya sedang keluar. Terima kasih ya nak."

"Oh iya pak siap-siap, sama-sama pak."

Ditaruhnya kertas-kertas itu di meja yang pojoknya bertuliskan Supandi, S.Pd.

Bergegas dia meninggalkan ruang guru untuk segera pulang. Dia melewati kelas 10, ruang ekstrakurikuler pengibar bendera, kemudian ruang piket. Tunggu, dia kembali melangkah mundur, lalu mengintip ke dalam ruang piket. Yang dia lihat benar, ada bayangan orang diruangan itu. Dibukanya perlahan pintu dan dia melihat seseorang.

"LO LAGI NGAPAIN? MAU MAL..." Kata-katanya terhenti akibat tangan orang itu membekap mulutnya dan membawanya kembali menuju lorong, tapi ini lorong menuju toilet yang lebih sepi dibanding lorong menuju ruang guru.

"Gue lepasin kalau lo janji bakal diem." Ucap cowok berpostur cukup tinggi itu dengan nada bicara sangat datar.

Kiana hanya mengangguk pasrah meskipun hatinya menggerutu memaki cowok yang ada dihadapannya ini. Bekapan itu pun perlahan di lepaskan.

"Lo ngapain bawa gue kesini hah? Jangan beran..."

"Berisik, gue kan udah bilang lu diem gimana sih? Lo lemot apa emang bloon?"

Kiana ingin mengeluarkan amarahnya sekarang tapi tidak bisa karena orang dihadapannya sekarang tengah memelototinya. Dia hanya bisa menghela nafas.

Sabar sabar orang cantik sabar aja Ki.

"Oke gue tanya sekarang, lo ngapain tadi di piket? Pake acara buka-buka tas Pak Afif, mau malingkan lo? Ngaku aja sama gue."

"Oke gue jawab sekarang, gue ga maling, gue tekenin gue ga maling, mau gue ngapain tadi bukan urusan lo."

"Bohongkan lo? Ngaku aja, ga akan gue laporin."

"Gue bilang engga ya engga, lo tuli apa gimana sih?"

"Eh ngatain lagi lo."

"Parahan lo lah pake fitnah gue."

"Eh gue kan liat pake mata kepala gue, berarti gue ga fit.... eh mau kemana lo?"

Bagas pergi meninggalkan Kiana sendirian di lorong. Segera Kiana menyusulnya karena ngeri juga lama-lama di sekolah sendirian jelang maghrib begini.

Kiana mengikuti Bagas berjalan menuju gerbang.

"Kenapa berhenti?"

Bagas tidak menjawab, dia hanya melangkah bergeser ke sebelah kanan.

"Hujan??!! Yah kok hujan sih? Gue balik gimana?" Kiana panik setelah melihat hujan turun dan mulai lebat.

"Lebay." Ujar Bagas sambil menyenderkan tubuhnya ke dinding.

Kiana menoleh bermaksud akan membalas ucapan lelaki berambut hitam itu namun niatnya tertahan ketika Bagas menaruh jari telunjuknya dibibir. Kiana hanya bisa bergumam jengkel.

18.05. Hujan mulai mereda, awan-awan hitam itu sedikit demi sedikit pergi mencari tempat baru. Begitu juga senja yang perlahan pergi dan tergantikan oleh malam.

"Balik pake apa lo?" Tanya Bagas tanpa memandang lawan bicaranya.

"Siapa? Gue?"

"Yaiyalah, lo pikir siapa?"

"Sewot amat mas. Pake angkot."

Bagas menarik tangan Kiana sambil pamit pulang pada pak Afif yang memang sedari tadi sudah kembali keruang piket, beliau juga terlihat sedang bersiap untuk pulang.

"Eh eh apa-apaan lo?"

Bagas hanya mengambil helm dibagasi motornya lalu memberikannya pada Kiana.

"Apaan?"

"Lo bego apa gimana? Ya gue mau anterin lo pulang. Bahaya naik angkot jam segini."

"Gausah. Gue bisa balik sendiri."

"Yakin? Yaudah."

Tanpa menunggu jawaban Kiana, Bagas mengambil helmnya kembali lalu menyalakan motornya dan berlalu pergi.

"Eh gue ditinggal? Woy! Tunggu."

Bagas memberhentikan motornya tepat sebelum dia benar-benar meninggalkan halaman sekolah. Dia kembali memberikan helmnya.

Kiana gengsi menerimanya setelah dia menolak tawaran Bagas dan sekarang memintanya berhenti.

"Kok lo nyodorin helm? Emang tau gue manggil lo kenapa?" Tanya Kiana agar rasa malunya berkurang sedikit.

"Gue itung sampe 3. Kalau lo masi..."

Tanpa pikir panjang Kiana naik ke motor Bagas.

"Jalan. Terusan Ismail Marzuki No.17. Cepet, ga pake lama, keburu hujan besar lagi." Ucap Kiana dengan cepat.

"Bayar 12.500."

Motor matic biru tua itu pun berlalu meninggalkan halaman sekolah diiringi tetes hujan kecil yang masih enggan berhenti.

--------

AroundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang