Malam ini dia datang lagi, sahabat yang sudah seperti saudara bagi gue. Dengan wajah sedih dia berkata rindu. Dengan senyum dipaksakan dia bercerita tentang bertemu.
Kami berada disebuah taman kecil berisi bunga-bunga bermekaran. Bunga mawar putih kesukaan Laras mengelilingi tempat ini. Kali ini gue tidak menangis, hanya terdiam mendengarkan gadis mungil didepan gue. Dia bercerita keluhnya, ia berkata betapa ia merindukan gue. Betapa inginnya ia bertemu dengan gue. Dengan mata sedih ia melihat dengan Lekat kedua bola mata hitam pekat milik gue. "Kar, gue kangen."
Gue terbangun dengan kepala seperti habis menjadi samsak tinju. Nyeri dibagain kanan dan kirinya. Membuat gue kembali menangis namun yang mendominasi tangis gue bukanlah sakit ini, namun Laras.
Dia datang lagi, kali ini wajahnya terlihat sedih. Senyumnya tak seceria kemarin. Cahayanya redup tak bersisa.
Katanya, ia kangen gue. Mau ketemu gue. Jadi? Apa dia sekarang mau jemput gue untuk pergi bareng dia? Ah rasanya nggak sabar.
Gue menggelengkan kepala, nggak, nggak! Gue belum mau mati, gue belum jadi hamba Allah yang taat, gue belum sukses, belum banggain mama papa! No!
Dering handphone menyadarkan gue dari lamunan singkat setelah bangun tidur dengan belek yang masih setia menempel dikedua mata.
Papa calling....
Ah, ini dia. Obat termujarab dalam hidup datang dengan sendirinya.
Dengan cepat gue menggeser tombol hijau untuk mengangkat telepon dari lelaki tampan cinta pertama gue itu.
"Assalamualaikum, pa."
"Waalaikumsalam, lagi ngapain anak papa?"
"Baru bangun tidur pa, hehe."
"Kok baru bangun ini kan sudah jam 8 sayang. Kamu nggak kuliah?" Nada bicara papa biasa saja mendengar gue yang baru bangun dari tidur, beliau sangat paham anaknya adalah kebo sejati!
"Emm... enggak pa."
"Kenapa? Kamu sakit ya? Sakit apa? Papa sama mama kesana ya hari ini?" Gue menggeleng dan tersadar papa nggak bakal lihat gelengan aneh gue ini. Ya, lagi, lagi papa paham, tak ada alasan anaknya nggak berkuliah selain sakit yang sudah terlalu lebay.
"Enggak kok pa, Rara gak kenapa-kenapa."
"Beneran?"
"Iya papa sayang."
"Yaudah, ini mama mau ngomong." Terdengar suara mama diseberang sana, membuat senyum gue melebar dengan sempurna.
"Hallo anak mama sayang."
"Hallo mama." Gue berusaha menahan tangis. Gue kangen mereka.
"Kamu gimana kabarnya nak? Mama kangen." Air mata gue mengalir dengan deras. Memang, mengingat orang tua adalah hal yang sensitif bagi gue.
"Alhamdulillah baik, ma. Mama gimana? Adek? Papa? Kakak?"
"Mama baik, semuanya baik. Kamu baik-baik kan disana? Nggak ada yang nakalin kan? Nggak ada yang buat nangis kan?" Gue terdiam sejenak berusaha memberhentikan tangis yang mengalir deras dan mengatur nada suara supaya tidak terdengar sedang menangis.
"Pulang ya, nak. Ini kan hari jum'at. Besok kamu libur kan? Mama kangen." Nada suara lembut mama menggema membuat tangis gue kembali mengalir.
"Kamu nggak boleh kaya gini terus, nggak boleh ngehindar terus, nak. Sudah hampir 2 tahun, bulan depan sudah peringatan 2 tahun perginya Laras. Dan kamu masih seperti ini, seperti saat Laras pertama kali pergi, pulang ya, nak temuin Laras dimakamnya." Nama itu, Laras, nama yang membuat gue selalu menangis tiap mengingatnya. Nama yang membuat gue menjadi wanita sarkasme yang kehilangan rasa humornya. Nama yang membuat gue menghidari rumah, menghindari pulang dan menghindar untuk kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jones Love Story "Ketika Cerita Cinta di London Kejauhan."
Humor"Jones Akut." Satu kalimat yang mencabik-cabik harga diri gue. Entah kenapa temen-temen kuliah gue hoby (atau doyan?) ngejudge gue sebagai jones akut. Hell-o? Gue single brooooh! Single! Gak pake T yaa! Ntar jadinya singlet (re: baju dalem). "Seora...