CHAPTER 2

19 3 2
                                    

Kini, hening jadi pihak ketiga antara Tulip dan Oji. Pelan-pelan, Tulip mampu memfokuskan diri pada naskah yang seharusnya dibaca kemarin. Cerita yang sedang mengisi layar komputer berjudul Bumi Lelaki Tua. Walaupun tiap hari menemukan banyak nama penulis. Tapi pemilik naskah yang sedang dibacanya mampu diingat dengan jelas, bahkan komplit dengan nama lengkap. Wanita berstatus single parent memiliki dua anak tidak menyerah dari setiap penolakan. Ia sudah merevisi sebanyak lima belas kali sebelum akhirnya memutuskan untuk di eksekusi mencarikan jodoh penerbitnya. Terbayang bagaimana kesibukannya namun tidak pernah absen tiap kali kesempatan terbuka.

Setiap staff memegang fiksi dengan genre berbeda. Ada yang komedi, dewasa, kehidupan remaja sekolah, memoriar, roman, dongeng anak-anak, chicklit, dan berbagai genre lainnya. Tulip menangani fiksi dewasa, kehidupan sekolah remaja, dan memoriar. Rusdi memercayakan status kelayakan naskah yang akan di kirim ke penerbit lewat pegawainya. Karena bagaimanapun tiga tahun lebih bukan waktu yang singkat hingga tidak mungkin tidak mengenali kemampuan menseleksi bawahannya. Hingga tidak perlu lagi ragu untuk masalah tanggung jawab yang dibebankan. Terkecuali ingin mengadopsi penulis kontrak harus ada persetujuan lansung dari Rusdi.

Tiap membuka kesempatan hanya akan menerima lima belas naskah untuk satu jenis genre. Layaknya sebuah kompetisi, semua naskah yang masuk di terima namun akan terkikis pelan-pelan. Tanpa menengok latar belakang penulis. Setelah diterima, pegawai akan terus berkomunikasi dengan penulis, jika sudah bertemu penerbit yang cocok. Kerja sama tiga serangkai pun terjaling, antara penulis, penerbit, dan LP (Link Production). LP akan membantu proses pemasaran buku, seperti bedah buku, mengatur jadwal interview TV swasta, atau diskusi lewat radio. Setelah semua naskah dipilihnya masuk ke penerbit. Selanjutnya menganalisa tingkat peminat setelah terjun kepasar. Baru kemudian mencari tema yang baru untuk seleksi naskah selanjutnya.

"Hohoho, si Oji mencuri kesempatan lagi!!!" wajah mereka menoleh bersamaan mengarah ke pintu.

Tulip paling bahagia melihat wajah Emi. Disambutnya dengan suka cita saat menatap tetangga meja kerja sekaligus sahabatnya datang juga. Walau sebenarnya tanpa Emi pikirannya sudah lebih tenang berkat naskah. Ojipun sudah tidak mengubris masalah kopi atau menanyakan ini dan itu.

"Beh, kesempatan apaan? tapi pagi ini jadi lebih semangat coi, ada kopi ramuan cinta dari doi," lebih menekan kata terakhir dengan menaikkan sebelah alis menunjuk ke arah Tulip yang tidak dapat melihatnya karena terhalang dinding meja kerja.

Emi berjalan cepat menarik dagu Tulip mendekat ke wajahnya. Padahal tanpa tindakan ekstrim begitu Tulip sudah paham harus membalas bola mata yang melotot ke arahnya setelah mendengar kalimat Oji yang selalu bikin bulu kaki merinding karena kegangjengannya.

"Serius? Kau yang membuatkannnya?! apa hatimu sudah luluh dengan tingkah kesurupan arwah eyang Haruki Murakami?"

"Prittt, wasit, offside, Haruki Murakami masih sehat wal afiat woi!"

"Eh, serius, masih hidup?" suara Emi merendah, nyaris berbisik. Tulip hanya mengangguk polos.

"Maafkan aku Eyang Murakami," dengan setengah membungkuk, mengikuti kebiasaan orang Jepang seolah dia benar-benar berada didepan orang yang baru saja difitnahnya.

"Lagian, kamu hiperbola banget sih, aku biasa buatkan kopi untukmu dan yang lain kali," kembali menatap layar komputer. Tidak bisa kerja dirumah, memilih datang lebih awal menjadi pilihan sungguh suram.

Sebelum duduk Emi masih ingin melanjutkan kalimatnya "Ji, sadarlah gadis yang kau dekati ini aliran introvert stadium tiga, dan alergi dengan cinta tipe lelaki sepertimu," sudut bibir bagian kiri tertarik ke atas dengan sinis. Demi membungkam tingkah lelaki yang nyaris mendekati semua wanita yang ditemui.

HE FOR SHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang