CHAPTER 4

16 3 0
                                    

Sekitar jam sepuluh pagi Tulip meninggalkan rumah kontrakannya di jl. Melati. Ini kali pertama menginjakkan kaki ke daerah Pengayoman selama tiba di Yogyakarta. Emi sudah memberikan alamat dan menjadi tutor GPS nya semalam, dan yakin seharusnya ini mudah. Diluar harapan, satu jam berlalu masih tidak menemukan sedikitpun tanda-tanda. Mungkin akibat bangunan tinggi sudah menjamur, jadi sulit menemukannya. Entah terjepit dimana kantor itu sampai tidak ketemu-ketemu juga.

Matahari semakin terik, Tulip benar-benar letih. Apa begini rasanya menjadi tukang pos. Ditepikan roda duanya dibawah pohon mangga berdaun lebat ingin mendinginkan diri sebentar sekaligus konfirmasi kembali ke Emi. Ia terhambat di pertigaan dan tidak mengingat jelas apa yang dikatakan kemarin karena ada dua kali pertigaan yang akan dilewati. Dari suara seberang memberi instruksi ikuti jalur yang ada bank Indonesia. Kedua mata Tulip terus berpendar, fokus dengan petunjuk lewat ponsel. Ketemu juga gedung tinggi gudang uang negara.

Dilirik jam tangan yang melingkar, lima belas menit lewat. Tulip kembali menghubungi Emi.

"Mi, aku sudah sampai ni," nafas berhembus deras akibat lelah dan panas didengar jelas Emi yang sempat membuatnya merasa bersalah. Tapi buru-buru dibuang perasaan itu dan percaya diri ini semua demi Tulip.

"Alhamdulillah, ketemu suama siatpam yang di pintuw nuanti dia tunjwukin si ediwtor lantai berapa, hukhukhuk tapi kalo nggak salah sih lantai tiga."

"Kamu ngomong apaan sih?!" dibalik telepon pemilik suara sedang menikmati buah sambil berbaring depan TV. Khawatir ketahuan dirinya sedang berjuang menghabiskan semangkuk buah, Emi berhenti melanjutkan.

"Tulip, kau masih diluar?"

"Iya, masih diluar, dan sampai ditempat yang salah, aku udah jelajah nyaris jadi ikan kering, tinggal di goreng, itu kantor tidak nemu-nemu juga. Terakhir kamu kesini sebenarnya kapan, Eh?! Tanya orang sini tidak ada yang tau. Jangan-jangan kantornya udah bangkrut kemarin terus tidak kasih kabar." Tulip sudah tidak tahan dengan panas menggila bercampur asap. Dilepaskan ponsel yang terjepit dalam helm. Kemudian menepi lagi dibawah pohon.

"Es dawet mba, panas gini enaknya minum yang dingin-dingin," Tulip menoleh ke asal suara. Bapak berpeci, baju kaos putih, bagian depan baju terpampang dua wajah sumringan gagal menjabat gubernur tahun lalu, celana kain seharusnya hijau segar sudah luntur menjadi hijau zaitun, jelas pemakaian dan cuci berulang menggilas kebaruannya.

Ditangkap sekilas tidak jauh dari posisi bapak penjual es dawet ada tiga orang yang sedang duduk di pos ronda. Mereka sibuk bercengkrama. Tulip mengangguk dan tersenyum kepada bapak penjual es dawet kemudian menaikkan jari telunjuknya. Bapak tersenyum sangat bahagia hingga gigi serinya ikut menyapa. Pose mulut itu lebih cocok jika sedang tertawa. Gerakannya sangat gesit, menyendok satu persatu ke dalam gelas. Cukup sepintas, terdengar lagi suara bapak menyodorkan hasil racikannya.

"Oh, sudah selesai, makasih pak," kini berbalik Emi tidak mengerti apa yang sedang dikatakan Tulip sementara sesuap demi sesuap mendinginkan kerongkongan yang memang sedari tadi merintih bertemu air tapi belum bertemu mini market sekitar tempatnya bernaung. Tidak ingin keseleg Tulip menekan tombol merah tanpa memberi aba-aba diseberang.

HE FOR SHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang