CHAPTER 3

12 3 0
                                    

Tidak tahu asal mula dimana Emi memungut ide tiba-tiba ingin menjodohkan Tulip dengan lelaki yang sudah lama tidak ditemuinya. Enam bulan lalu dibulan Oktober. Rencana yang sudah di susun masak-masak. Mereka akan bertemu untuk pertama kalinya, yang seharusnya disengaja andai salah satu dari mereka tahu rencana Emi. Tuhanpun berpihak padanya, kesempatan datang lewat Rusdi. Sekitar setahun pria itu tidak pernah lagi meminta naskah ke agensi. Tiba- tiba menginginkan naskah, sesuai nama perusahaan tempatnya bekerja, penerbit True Story hanya menerbitkan kisah nyata. Penerbit manapun jika ingin meminta naskah harus melalui Rusdi terlebih dulu. Pemimpin perusahaan segera memberitahu Emi kriteria naskah yang dibutuhkan. Masih sama seperti biasa, salah satu persyaratan menginginkan naskah print out. Semestinya bisa kirim lewat pos. Namun Emi sukses menginprovisasi Tulip saat memohon pertolongan kalau sang editor ingin di bawa lansung ke kantor. Tapi, Ia bukan orang yang mudah tertipu. Tulip tidak serta merta menerima rencana terselubung yang tak diketahuinya.

Tulip menolak karena tidak tahu menahu isi naskah yang akan dibawa. Kawatir tidak mampu menjawab sekaliber pertanyaan nantinya. Dan tidak ingin penerbit nantinya akan mengeluh ke bos akibat perbuatannya. Tulip menyarankan jika tidak bisa hari ini bisa diundur besok. Sedikit lagi Emi ingin memuntahkan alasan sebenarnya. Terpaksa senjata pamungkas dikeluarkan. Digadang- gadang anaknya sedang demam dan naskah harus dibawa hari itu juga. Alhasil rencana berjalan dengan sukses pada kegagalan. Tulip malah ingin berkunjung kerumahnya membesuk si bungsu. Ada kelegahan dalam hati karena anaknya memang benar-benar sedang sakit, tapi sudah lebih baik sejak pagi tadi.

Emi kembali memutar otak, apa yang harus dilakukan. Tulip pecinta anak kecil, jelas ini alasan yang salah. Rusdi sudah menegur karena hari terakhir naskah masuk kemarin, tapi sampai hari ini masih belum tiba. Dikutuk lelaki pekerja keras itu. Segitu jatuh cintanyakah pada naskah hingga tidak sabar ingin membaca. Bagaimanapun caranya hari ini naskah itu sudah harus di bawa.

Menimbang-nimbang lagi, kalau hari ini tidak mungkin. Izin dengan alasan tidak sehat, bagaimana cara membohongi rusdi?. Tulip terlalu payah berbohong. Jalan satu-satunya besok. Kantor True Story masih aktif sampai sabtu. Iya jalan satu- satunya adalah, besok.

"Tulip, bisa mintol nggak? Tapi untuk besok."

"Em, apa?" tangan dan wajah masih fokus ke layar komputer.

"Tolong bawa naskah ini ke kantor True Story besok ya?"

"Eh?" jari-jarinya berhenti bekerja. Menoleh cepat ke naskah beramplop cokelat yang sedang digenggam Emi, kemudian berpindah ke wajah dihadapannya yang sedang memelas. Terdiam sebentar menyimak dengan kening mengerut, kepala meneleng, Emi mulai was-was, AC serasa tidak berfungsi lagi. Terkadang naluri Tulip bekerja terlalu baik jika ada yang ingin menipunya.

"Raka sakit lagi?" lega...

"Bukan, suamiku akan berangkat keluar kota lagi, jadi harus mempersiapkan semua kebutuhannya," di setting sedemikian rupa agar wajahnya benar-benar pantas dikasihani. Pertahankan, sedikit lagi.

"Hayolah, pak Rusdi udah kasi peringatan," segera ditambah bumbu lebih kasihan lagi saat menangkap bibir Tulip seperti ingin berkata tidak.

"Kau bisa menyiapkannya pagi hari, dan siangnya membawa naskah ini, beres kan?" berusaha dicekal rahang yang mengeras, dan bongkahan emosi dalam hati sedari tadi menyodok-nyodok mulutnya untuk bicara jujur saja. Bagaimana mungkin Tulip tidak menangkap rencana baik yang disisipkan, sedikitpun. Sekalipun Ia tahu, tidak mungkin kebaikan ini dianggap sebuah kebaikan.

"Kau tega membuatku kelelahan mengurus anak dan suamiku. Sedangkan aku memiliki sahabat baik sedang bersyahdu ria dirumah nonton dan tidur seharian?"

"Emm, kenapa tidak?."

"Kalian membicarakan apa sepertinya sangat menyenangkan," Ciska nyelonong ketengah-tengah pertanda tingkatan kesabaran Emi harus ditambah.

"Tidak ada yang menarik! Kembalilah ke kursimu nona cantik," itu bukan pujian, karena memang begitulah apa ada adanya fisik Ciska. Sedikit menjengkelkan juga. Rambut lurus sebahu. Sangat sering ganti warna rambut. Dianugrahi hidung tinggi dan wajah tirus. Intinya, porsi tubuhnya bak model. Istilah proposrsional.

"Tapi, aku bisa rasakan ada aura menarik, dan sesuatu yang besar sedang bersembunyi dari obrolan kalian," sambil membungkuk dan mata tertutup, hidungnya bergerak-gerak seperti mengendus aroma makanan. Emi merasa legah, setidaknya bukan Tulip yang merasakannya.

"Ei... menyingkirlah, kau menyedot semua wangi parfumku."

"Oh. kau menggunakan parfum? Kenapa yang tercium bau butek ya," Setelah melihat Emi melirik sinis padanya. Ciska segera pergi dengan santai. Emi melanjutkan pembicaraan mereka.

"Ya sudah, sia-sia persahabatan kita selama ini, bahkan hal sekecil ini kau tidak ingin membantu," naskah yang digenggam ditaruh dekat komputernya, dan kembali bekerja.

"Ei...aku hanya bercanda, kupastikan ini akan sampai dengan selamat besok," Tulip merangkulnya dengan mesrah, dan mengambil naskah yang tadi letakkan Emi dekat komputernya.

Rasanya satu bisul baru saja pecah. Semoga apa yang direncakan berjalan benar-benar mulus. Dan baik untuk sahabatnya.

HE FOR SHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang