ENAM

166 5 0
                                    

Aku bercermin di depan kaca kesayanganku, penampilanku sekarang bisa di bilang jauh dari kata modis. Penutup kepala yang ku pakai untuk menutupi rambut yang sudah tidak bisa ku banggakan lagi.

Tubuh ku kurus, jika bukan orang terdekat yang mengetahui kondisiku mungkin tidak akan ada yang mengenaliku. Aku terlihat seperti mayat berjalan.

Dua bulan yang lalu setelah dokter menyatakan aku terbebas dari kanker. Aku masih tidak berani keluar rumah, aku terlalu pengecut.

Aku takut dengan mata-mata menyelidik itu, aku takut dengan tatapan mengasihani mereka. Aku takut terlihat lemah.

**

Aku Alula Shahin Arkatama perempuan pertama yang kuat seperti burung elang. Ayah memberiku nama itu pasti bukan hanya karena namanya yang indah, ayah ingin aku kuat menjadi wanita yang kuat.

Ya, aku harus berani. Aku harus bangkit. Aku bisa, aku pasti bisa.
Alloh ada bersamaku, benar kata Risa Alloh tidak tidur.

Aku bangkit dari tempat tidur ku berjalan keluar dari kamar yang selama ini menjadi tempatku mengurung diri.

"Teh mau kemana?" Tanya bunda, bunda pasti aneh melihatku keluar dari kamar. Pasalnya jika bukan bunda yang memaksa aku tidak mau keluar kamar.

"Keluar bun, menghirup udara segar. Penat rasanya diam di kamar terus"

Bunda hanya mengangguk, mata bunda berbinar. Terlihat sekali raut bahagia bunda.

"Begini saja sudah membuat bunda bahagia, apalagi kalau aku bangkit dari keterpurukan ini" gumamku sambil berjalan keluar rumah.

**

Ah rasanya aku sudah lama tidak menghirup udara segar ini.

"Selamat pagi Alula" tanya bu Rt.

"Selamat pagi bu, mau belanja bu?"

"Iya, mari nak"

Rumahku memang sering di lewati orang, karena dekat dengan warung yang menyediakan bahan-bahan pokok dan sayur mayur.

Terdengar dari kejauhan bisik-bisik orang, aku sudah mengetahui siapa mereka. Dan ketika melewatiku tatapan itu datang lagi antara jijik dan kasihan.

"Selamat pagi ibu-ibu, mau belanja yah?"

"Eh.. i.. iya Alula" jawab salah satu diantara mereka.

Aku hanya membalas dengan senyuman, aku ingin terlihat tegar. Aku ingin membuktikan pada mereka tatapan itu tidak berlaku untuk ku.

"Teh alul ayo masuk salapan dulu" arsya terus menarik lenganku.

"Iya arsya ayo"

**

"Teh kalau sudah besal aca mau kayak teh lisa jadi doktel bial bisa nyembuhun olang sakit"

"Iya arsya adik teteh pasti bisa jadi anak kebanggan orang tua yah sayang"

Aku memeluk adik ku, air mata ini menetes tanpa ijin. Rasanya tak kuat melihat pemandangan seperti ini, dengan keadaan bunda yang berjuang membiayai aku dan arsya. Apalagi dengan hutang yang bunda pinjam untuk pengobatanku dulu. Arsya adik kecil ku yang menjadi korban, dia terpaksa menunda sekolahnya tahun depan karena alasan biaya.

"Maafkan teteh, karena teteh kita menjadi tambah susah" aku meminta maaf pada adik kecilku, aku tidak peduli dia mengerti atau tidak.

"Teh alul kok nangis? Bun teh alul cengeng nih" arsya memang polos.

"Oh yah? Teh alul kenapa cengeng sayang?" Bunda menghampiri kami, dan mengelusnpuncak kepala ku.

"Tidak apa-apa bunda, alul hanya bersyukur Alloh masih memberi kesempatan alul berkumpul dengan kalian"

Kami sekarang sedang berpelukan bertiga, menangis bersama. Entah bahagia atau sedih, tapi yang jelas kami bersyukur karena kami masih selalu bersama.

Memang benar, tempat yang paling indah adalah rumah. Dan sesuatu yang paling berharga adalah keluarga.

-------- # ---------

Jangan lupa bismillah 😊

Sebening Embun PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang