Tik..Tik..Tik..Tik...(Bagian 1)

4 0 0
                                    

Mataku melirik jam dinding untuk kesekian kali.Pukul 03.00, H-5 jam sebelum saat-saat paling mendebarkan dalam hidup itu akantiba. Momen sakral yang kuinginkan terjadi hanya sekali seumur hidup. Akad nikah.Seharusnya aku bisa kembali tidur sebelum satu jam lagi Ibu akan membangunkankuuntuk persiapan segala macam tektek bengek upacara. Sayangnya, mataku sepertihabis terkena pengaruh segalon kafein dan enggan menutup meski sudah kupaksa.

Padahal aku baru bisa tidur pukul 12 malam tadi.Bukan, bukan karena turut mempersiapkan segala perlengkapan akad nikah yangperlu dibawa esok hari. Eh, hari ini maksudnya. Ibu dan para tante sudah dengantelaten menyiapkan segalanya. Mulai dari baju adat sampai seserahan, aku hanyatahu beres. Pun bukan karena aku harus menghapal kalimat akad yang konon seringterlupa oleh calon pengantin pria. Aku sudah hapal di luar kepala. Yangmembuatku kalut dan deg-degan setengah mati adalah cara mengungkap cinta untukNavisa.

Apa? Mengungkap cinta? Terdengar aneh? Iya, diamemang mengakui kalau dirinya aneh sejak aku memintanya menjadi pacar.
Perkenalanku pertama kali dengan Navisa terjadidua tahun lalu. Kami bertemu di sebuah acara launching apartemen bergengsi diJakarta. Aku baru setahun bekerja di sebuah biro arsitek yang menanganipembangunan apartemen tersebut. Sedangkan Navisa, gadis itu masih kuliahtingkat akhir di jurusan jurnalistik, memiliki wajah bentuk hati, rambut lebatlurus sebahu yang sering digerai, senyum ramah, dan sorot mata tajam. Diasedang meliput acara launching tersebut untuk salah satu tugasnya. Takdisangka, ternyata kami berasal dari kampus yang sama. Obrolan pun langsungmengalir dari yang awalnya membahas acara-acara kampus sampai ke sambung menyambungaku kenal si A dan ternyata temannya si B yang ternyata adalah teman Navisa.Kami tidak lupa saling bertukar nomor kontak.

Sejak saat itu, kami sering bertemu. Hmmm,sebenarnya aku yang sengaja ingin bertemu, sih. Jujur, aku tertarik denganpembawaannya yang santai dan enak diajak ngobrol. Navisa menyukai hal-hal yangberhubungan dengan art. Karena itulah terkadang aku mengajaknya jalan kepameran arsitektur, desain interior, bahkan komik sekalipun. Waktu kutanyamengapa ia menyukai semua yang berbau art, alasannya sederhana."Karena akunggak bisa gambar," jawabnya saat itu.
"Tapi tulisan kamu bagus. Gaya tulisan kamusaat mendeskripsikan sesuatu bisa membuat pembaca membuat visual dalam khayalanmereka," kataku.

Navisa hanya tersenyum dan angkat bahu.
Awalnya, aku hanya menganggapnya teman yangmenyenangkan diajak hang out. Gadis itu sangat ekspresif, gampang tertawa,gampang tersentuh. Cuek, lucu, nggak gampang ge-eran, dan ceplas-ceplos. Cirikhasnya ketika sedang penasaran atau menyelidiki sesuatu adalah ia selalumemiringkan kepala ke kiri dan matanya membulat dengan tatapan serius.
Hal itu pula yang refleks ia lakukan ketika akumenembaknya, meminta kesediaannya menjadi pacarku, tepat setahun setelah kamipertama kali bertemu.

"Kamu serius?" Ia bertanya dengan nadadatar.
Aku mengangguk mantap. Saat itu kami baru sajapulang dari acara launching buku salah seorang novelis favorit Navisa. Sembarimenunggu jalanan yang masih macet di sore hari, kami memutuskan untukmenghabiskan waktu di salah satu kafe.
"Kenapa mau jadi pacarku?"

"Butuh alasan ya, untuk mencintaiseseorang?"
Navisa tertawa saat aku balik bertanya. Ekspresiwajahnya santai sekali, tidak ada raut wajah senang, terkejut, atau mungkinsedih. Duh, jangan sampai sedih juga, lah. Tapi benar, aku masih ingatekspresinya dalam menanggapi tembakanku saat itu. Santai sekali. Padahal akusudah mempersiapkan ajang mengungkap perasaan itu berbulan-bulan sebelumnya.
"Aku ini aneh, lho. Kamu mau punya pacarcewek aneh?" tanya Navisa. Ia lagi-lagi menatapku dengan sorot matamenusuk, sembari menyeruput cappuccino favoritnya.

Keningku berkerut bingung. "Aku udah nembakkamu itu tandanya aku mau terima kamu apa adanya, Nav," kataku. "Daniya, aku tahu kamu aneh."
Gadis itu tergelak. Tawanya ekspresif sepertibiasa.
"Navisa, aku serius."
"Kamu cari pacar atau cari istri?"tantangnya.
"Cari istri," jawabku lebihmeyakinkan.
Kulihat Navisa manggut-manggut dan wajahnyamulai tampak sedang berpikir. Aku deg-degan dibuatnya.
"Oke, aku terima. Dengan satu syarat,"pintanya.
Saat melihat senyum tipisnya, aku sudah bisamenebak pasti permintaannya akan sangat di luar dugaan. "Apa?"
"Jangan pernah ada kata 'cinta', 'aku cintakamu', atau 'aku sayang kamu', dalam bahasa apa pun selama kita pacaran. Sampaikita benar-benar menikah."
JRENG!

"There is no 'love' word!" tegasnyalagi.
Aku melongo saat melihatnya tersenyum puassetelah ia mengungkapkan permintaannya.
"Deal?" tantangnya dengan kerlinganmata seperti elang mendapat mangsa.
Merasa tersulut, aku mengangguk mantap."Deal!"
Momen itu terjadi tepat setahun yang lalu dansampai detik ini, tidak pernah ada kata cinta terucap dari masing-masing mulutkami.
Tok! Tok!
"Darma..."
Terdengar panggilan lembut Ibu dari arah pintu.Sekali lagi kulirik jam dinding, sudah pukul 04.00. Aku beranjak dari tempattidur.
"Ya, Bu." Aku membuka pintu danlangsung kulihat seraut senyum tulus dari wanita yang sudah dua puluh limatahun membimbingku.

"Sudah bangun ternyata. Ayo lekassiap-siap. Ibu mau bangunkan yang lain dan panggil tukang rias dulu."
Setelah ibu pergi, aku beranjak ke mengambilhanduk dan ke kamar mandi. Kembali pikiranku melayang mengingat memori selamasetahun pacaran dengan Navisa. Gadis itu baik, perhatian, sesekali manja dankekanakkan, tapi bisa bersikap dewasa ketika dibutuhkan. Hubungan kami tidakbisa dibilang selalu langgeng tanpa masalah. Kesibukan Navisa yang bekerja disalah satu majalah dan kesibukanku mengerjakan proyek-proyek terkadangmenimbulkan gesekan dan pertengkaran. Namun, itulah realitas sebuah hubungan,bukan?
Yang aku tahu, kami berdua memiliki banyakkecocokan visi dan pandangan tentang hidup. Yang aku tidak tahu, apakah diamencintaiku? Bilang cinta aja dilarang! Sumpah, itu aturan paling tidak masukakal yang pernah kutahu dalam menjalin hubungan.

Pernah suatu kali kami nonton film romantis dibioskop. Saat adegan pemeran pria dan wanita saling mengungkap cinta, yangsering membuat hatiku merasa tersentil, Navisa berbisik.
"Tergoda untuk melakukan hal yangsama?"
"Boleh?" Aku menoleh, menatap wajahlembutnya dalam remang cahaya bioskop.
Senyum Navisa tersungging, ia balas menatapkulekat. "Seorang pria dilihat dari bagaimana ia memegang ucapannya,"desisnya lembut.

Saat itu aku terpana sekaligus merasa tertantanguntuk bisa melakukan apa yang dia minta. Itu juga bukti cinta, toh.
Salah satu kecocokanku dengan Navisa adalahkarena kami berasal dari dunia kreatif. Kecerdasan Navisa di bidang tulisansering membuahkan cerita unik, sederhana, menyentuh hati. Meski ia hanya beranimemperlihatkan karyanya padaku saja. Semua tulisannya di media massa tidakpernah terlepas dari berita dari segumpal fakta.
"Aku ngga pernah bercita-cita jadijurnalis," ungkapnya suatu waktu saat kami datang ke pameran lukisan disalah satu galeri.

"Maunya jadi istri aku, ya?" godakujahil.
Navisa tertawa geli. "Aku pengin jadinovelis."
"Penulis novel?"
Anggukan kepala Navisa begitu mantap."Karena seringkali imajinasi lebih menarik daripada fakta-fakta,"jelasnya. "Seperti semua lukisan ini. Imaji, pattern, sidik otak hasilkarya seseorang yang bebas dan lepas."
Aku hanya mengacak rambutnya lembut, sebuahtanda dukungan.

Navisa selalu merasa dirinya aneh. Bagiku, diaunik. Pertama, dia kidal. Tapi jangan diragukan lagi kecepatan menulisnyadengan tangan kiri secepat orang-orang tangan kanan bisa bekerja. Kedua, diasangat ekspresif dan memiliki raut yang berbeda bahkan karena perubahan suasanasekecil apa pun. Makanya dia pernah bilang,
"Aku ini 20% sensitif, 80% dramaqueen."

***

Anthem from my HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang