2. Awal Mula

815 47 3
                                    

Teruntuk yang percaya bahwa tiap-tiap akibat pasti didahului oleh sebab.

***

Malam itu aku melihat Ayah menampar wajah kakak keras, ibu menjerit histeris, kemudian kakak menangis. Kakak berlari ke kamarnya dan tidak keluar lagi setelahnya.

Aku ingin ikut berlari ke kamar kakak, namun kakiku sama sekali tidak bisa digerakkan. Rasanya semua sendi di kakiku terkunci.

Aku bingung, ingin sekali kupeluk kakak-ku tersayang dan menyuruhnya untuk tidak khawatir.

Aku menangis tanpa suara, menatap ayahku yang sekarang sedang memegangi dadanya, ibu tersedu membantu ayah duduk di sofa ruang keluarga.

Aku beringsut dari tempat persembunyian, merangkak ingin menggapai ibu dan minta penjelasan darinya.

Namun baru beberapa senti tubuhku berpindah, aku mendengar bunyi koper yang ditarik tergesa, kakak datang membawa koper hitam besar ke dalam ruang keluarga. Tubuhnya bergetar menahan tangis.

Aku ambruk ke lantai dingin tanpa suara, tubuhku ikut bergetar dingin.

'Kakak akan pergi, kakak akan pergi' Berkali kuucapkan kalimat tanpa suara itu.

'Aku harus menahannya, aku harus menahannya' tegasku dalam hati.

Namun, bukannya berlari ke arah kakak dan menahannya, aku malah kembali ke tempat awalku bersembunyi. Tidak ingin melihat kakak pergi karena bajingan itu!

Aku membenci kakakku! Membencinya yang mencintai lelaki brengsek tak bermoral, membencinya yang meninggalkan orang tua kandungnya sendiri demi seorang lelaki. Namun aku lebih dan lebih membencinya karena dia tega meninggalkanku!

Aku tidak melihatnya, namun dari apa yang kudengar, sepertinya ayah melempar vas bunga kaca berukuran sedang ke tembok dekat tempat persembunyianku.

Mendengar suara pecahan kaca itu membuatku mengkeret memeluk lutut, menyembunyikan wajahku di antaranya.

Langkah kaki yang diikuti dengan suara koper membuatku mendongak nanar, aku melihatnya. Raut wajah kakak yang tersenyum sendu, kemudian mulutnya yang bergerak tanpa suara mengatakan bahwa ia menyayangiku.

Aku ikut tersenyum sedih, 'Aku juga menyayangi kakak, sangatt' ucapku dalam hati.

Mataku terpejam perih. Tidak ingin melihat kakak yang akhirnya benar-benar pergi, meninggalkanku untuk selamanya.

***

Setelah pertemuanku dengan Andrew kemarin, Andrew Matthew bersikeras untuk menggandakan janji pertemuan menjadi 2 kali lebih banyak dari sebelumnnya.

Jadi, jika sebelumnya aku hanya menemui Andrew 2 kali dalam seminggu, kini aku harus menemuinya 4 kali dalam seminggu.

Awalnya aku menolak gagasan itu, dia pikir aku seorang pengangguran yang tidak memiliki pekerjaan lain selain menerima pengobatan darinya.

Lagipula aku tidak sakit parah yang bisa membuatku mati kan?

Well, itu tidak sepenuhnya benar, mungkin memang aku bisa mati jika tidak segera mencicipi tubuh gadis kecil yang tinggal serumah denganku.

NOTE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang