Ketidakpercayaan akan hal yang mustahil sudah biasa. Jadi ketika aku mengatakan kepadanya mengenai persaanku, ia hanya tertawa kemudian memelukku. Tanpa tahu bahwa benda berdetak di dadaku terasa menyakitkan.
***
Reyna memintaku untuk menemaninya ke sebuah perpustakaan dekat kota. Aku mengiyakan ajakannya untuk sekedar menatapnya membaca seluruh buku psikologi kesukaannya di sana.
Aku duduk di dekat jendela terbuka sambil memandangi gadis berkucir kuda milikku sedang membaca dengan serius di rak ke-2 sebelah kanan. Sekali ia melirikku yang sedang menatapnya kemudian menebarkan senyum cerah yang menular kepadaku. Aku tersenyum, menyuruhnya untuk duduk di sampingku dan membaca buku yang dipegangnya di sini.
Ia datang menghampiriku dan mendudukkan bokong mungilnya persis disebelahku, menyenderkan kepalanya yang mungil di bahuku yang lebar dan melanjutkan membaca buku di tangannya.
Sambil mengendus rambutnya yang wangi, aku ikut membaca halaman buku yang Rey pegang, berisi tentang gangguan kejiwaan yang umumnya dimiliki oleh manusia. Menurut buku ini, manusia merupakan makhluk yang tidak mungkin lepas dari adanya gangguan kejiwaan, karena manusia ditakdirkan memiliki otak dan pikiran yang di dalamnya tak akan mungkin terhindarkan akan adanya gangguan jiwa.
"Sangat menyukai psikologi, eh." ucapku sambil sedikit menarik salah satu rambut kuncir kudanya. Rey berhenti sejenak dari bacaannya dan menatapku, ia tersenyum dan mengaanggukan kepalanya semangat.
"Paman setuju kan jika Rey ingin meneruskan pendidikan di Harvard? Mengambil Psikologi tentunya." ungkapnya yang terus terang cukup membuatku agak terkejut.
Aku berdehem, melegakkan tenggorokanku yang mendadak kering. Memegang kedua bahunya, aku menatap matanya serius.
"Biarkan paman memikirkannya dulu, kau sangat tahu bahwa paman tidak bisa langsung mengatakan 'Ya' untuk permintaanmu kali ini." ujarku hati-hati.
Rey menghela nafas perlahan, wajahnya murung namun senyum lemah tersungging di bibirnya.
"Baiklah paman, Rey berharap paman akan mendukung keputusan Rey kali ini."
Kembali berkutat dengan buku Psikologinya, aku hanya memandang bagian kiri wajahnya dengan pilu. Dengan alasan apalagi aku akan menahan Rey untuk tetap berada di sisiku. Sejenak aku ingin melupakan bahwa dia adalah anak dari saudaraku sendiri, sejenak aku ingin melupakan bahwa kami masih memiliki hubungan darah, dan sejenak aku ingin mengistirahatkan kerinduanku akan dirinya dengan melumat bibir mungilnya lembut. Menangkupkan tanganku di pipinya yang pasti terasa hangat.
Kerutan di wajah Rey megalihkan perhatianku. Aku melihat ia mengeluarkan secarik kertas note berwarna kuning dari selipan buku Psikologi yang sedang ia baca.
Memberikannya padaku, ia bertanya arti dari sederet angka yang ditulis menggunakan tinta merah di atasnya. Aku meliriknya sejenak, tidak menghiraukan angka-angka itu, aku menaruhnya kembali di dalam buku yang Rey pegang.
"Mungkin milik peminjam terakhir, biarkan saja tetap berada di situ. Ayo kita pulang, paman ingin makan bacon buatanmu."
***
Aku terjaga semalaman, tidak berniat menutup mata sedetik pun ketika kesempatan untuk memeluk Rey seperti ini tidak tahu kapan akan terjadi lagi. Ketika matahari mulai naik, Rey tidak juga bangun dari tidurnya.
Rasanya damai, jika memang hubungan kami hanya sebatas paman dan keponakan, tidak ada salahnya ketika dengan jelas aku bisa membuat Rey bahagia. Tidak juga ada keraguan mengenai kebersamaan kami selama ini. Tidak perlu mengkhawatirkan pikiran orang lain, tidak perlu cemas menahan rasa rindu karena setiap saat aku bisa melihatnya bahkan menyentuhnya dengan rasa sayang.
Rey menggeliat, mata indahnya terbuka, ingin rasanya aku mencium lembut kelopak matanya. Bibir mungilnya tersenyum lemah, kemudian aku sadar bahwa keadaan seperti ini tidak baik bagi kesehatan jantungku yang aku yakin sebentar lagi akan meledak.
Mengerjapkan mataku, aku bangkit dari tempat tidur. Rey ikut bangkit dan menawarkan untuk membuatkanku sarapan.
Rey mengaitkan kedua ibu jarinya kikuk, tanda bahwa dirinya merasa tidak nyaman dengan keadaan kami yang sekarang. Ditambah dengan aku yang tidak menjawab pertanyaannya tentang sarapan. Ia tidak sadar jika mulutku terasa kelu, memandang dirinya dengan wajah khas bangun tidur yang sangat manis, manis dan indah.
Aku berdeham, "Y-ya tentu saja, paman rasa perut ini butuh diisi."
Rey tersenyum kikuk, "Baiklah paman, Rey tunggu di meja makan."Setelah Rey pergi ke dapur, aku merebahkan kembali tubuhku di kasur. Rasanya lega, sedikit bahagia mungkin. Aku tahu ini salah, seharusnya aku tidak selega ini setelah menemukan mayat Spencer Lee di tempat pembuangan sampah yang terletak di kompleks sebelah. Seharusnya aku mengkhawatirkan Rey yang semalaman tidak bisa tidur dan akhirnya memutuskan untuk tidur di kamarku.
Tapi jujur saja, aku lega. Sangat amat lega dengan kenyataan ini. Kupikir Rey akan terbiasa dengan kabar kematian Spencer, karena Rey berada di sana, ketika kami berdua menemukan mayat berwajah rusak milik Spencer.
***
"Tuan Marcus, anda dipanggil untuk menjadi saksi atas kematian Tuan Spencer Lee. Jadi kami harap anda bisa bekerjasama dengan menjawab semua pertanyaan yang kami ajukan."
"Tentu."
"Bagaimana anda bisa menemukan mayat tuan Spencer malam itu?" pertanyaan pertama yang sudah kusiapkan jawabannya.
"Setelah pulang dari perpustakaan kota, bersama keponakanku."
"Bagaimana anda bisa melewati st. Lock malam itu padahal biasanya anda melewati st. Clock yang arahnya sangat berlawanan dengan tempat pembuangan sampah?" Ini juga sudah kusiapkan.
"Reyna-keponakanku ingin melewati jalan yang berbeda, biasanya kami menggunakan mobil. Kesempatan untuk berjalan di malam hari sangatlah jarang kami lakukan. Keponakanku itu menginginkan hal di luar dari kebiasaan normal. Bisa diterima jawabannya?" Aku bertanya agak ketus, melihat petugas introgasi yang bersikap kikuk, aku terkekeh dan melanjutkan berbicara,
"Jadi sir, apakah ada pertanyaan yang lebih berbobot ketimbang pertanyaan anda mengenai mengapa saya melewati jalan itu?" pertanyaanku membuat pintu ruang intorgasi terbuka. Seseorang yang tidak ingin kusebut namanya masuk. Ia menyuruh petugas untuk keluar dan introgasi ini digantikan olehnya.
Aku menyenderkan badanku malas, rasanya amarahku hampir meledak ketika melihat wajahnya. Kilatan kejadian di masa lalu membuatku menekan meja dengan lebih keras.
"Aku akan memulai pertanyaan dengan bertanya mengapa kau bertengkar dengan Tuan Spencer 3 hari sebelumnya?"
Kupikir aku telah menyiapkan semua jawaban dari pertanyaan yang kemungkinan akan kuterima. Namun, sepertinya aku melupakan satu kejadian itu. Aku melirik kaca ruang introgasi, melihat Andrew yang menatapku khawatir dari balik kaca itu membuatku agak sedikit tenang. Setelahnya semua pertanyaan kujawab dengan menyebut nama Reyna.
Kupikir aku tidak akan pernah menyeret Rey ke dalam masalah ini, apalagi masalah yang berkaitan dengan Jeremy Affan. Kupikir aku bisa mencegah Rey untuk bertemu dengan Jeremy.
Namun sepertinya aku gagal, karena keesokan harinya Rey dipanggil untuk menjadi saksi kedua.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
NOTE
Mystery / ThrillerUntuk para pecinta kisah Thriller/Mystery. Saya ingin membisikkan suatu rahasia. Rahasia mengenai kisah saya kali ini. Ketika pertama kali kalian membacanya, mungkin kalian akan bingung dengan genre cerita yang terkesan sad romance dan ecek-ecekan. ...