6. Tolong Hargai aku

6K 264 8
                                    

"Pak, boleh mampir ke restoran itu dulu sebentar?" Pintaku pada supir Ayah yang mengantarkan aku pulang.

"Baik, Non." Jawab Pak Jun sambil memutar setir ke kanan untuk masuk ke parkiran restoran.

Sepanjang perjalanan pulang kerumah aku tidak tenang karena memikirkan Nino sudah makan atau belum. Tadinya aku ingin kembali memasakan makanan untuknya dirumah, namun aku tahu pasti Nino gak akan mau makan, seperti sebelum sebelumnya. Daripada mubazir dan buang buang uang belanja, lebih baik aku memesan makanan restoran saja, Nino pasti mau makan.

Aku sudah memesan sayur capcay, ayam goreng mentega, bihun goreng, tahu tempe dan tidak lupa juga nasi putih. Semoga Nino suka dan mau makan walaupun ini sudah sore.

***

"Assalamualaikum.." salamku sambil membuka pintu rumah. Terdengar suara tv menyala, aku segera masuk dan ke ruang tv. Aku tersenyum melihat ada Nino disana, duduk sambil menonton tv -walaupun dia tanpa sedikitpun menengok untuk menyapaku-. Tubuhku langsung melemas saat melihat tangannya sedang memegang satu buah burger yang sudah habis setengah.

"Kamu kenapa makan burger?" Tanyaku masih berdiri sambil menenteng satu kantong plastik berisi makanan tadi. Nino hanya menjawab dengan mengangkat bahu, seolah tidak ada alasan dia memakan burger.

Aku menunjukkan kantong plastik yang kutenteng "ini makanan untukmu. Kamu makan ini saja, jangan makan junkfood itu gak baik." Nino melirik kantong plastik dengan sebentar kemudian kembali menatap tv. Aku menghela nafas. "Tenang saja, ini bukan masakanku. Aku beli di restoran."

"Aku sudah kenyang." Akhirnya dia angkat bicara sembari melahap abis burger itu. Dia menekan tombol power turn off tv, kemudian berdiri dari duduknya.

Aku menahan tubuhnya. "Makanlah sedikit. Tolong hargai aku." Mohonku padanya. Dia menepis tanganku.

"Siapa yang minta kamu beli makanan?" Tanyanya dengan ketus.

"Aku inisiatif sendiri, aku khawatir kamu belum makan."

"Aku lagi gak mau makan berat. Lagian, dari awalpun aku gak pernah minta kamu beli bahkan masak makanan buat aku ya. Jadi itu bukan salah aku kalau aku gak makan." Setelah mengatakan kata kata pedas itu dia langsung pergi ke kamar dan membantingkan pintu.

Aku menatap kantong plastik ini dengan lesu, dia benar benar tidak mau menerima apa yang aku berikan. Yasudah, makanan ini untuk makan malamku saja.

***

Pagi ini lagi lagi aku masak hanya satu porsi, untuk diriku sendiri. Nino masih belum bangun tidur sejak sholat subuh, sudah aku coba membangunkannya tapi dia malah membentakku. So, daripada aku sakit hati lebih baik aku tidak mencobanya lagi.

Aku melirik coffee maker yang berada di meja kitchen set, otakku langsung muncul ide untuk membuatkan coffee, tentu saja untuk Nino. Apa Nino akan meminumnya? Semoga saja mau.

"Ah Nino, udah bangun?" Aku reflek bertanya pada Nino saat dirinya muncul dibalik tembok masuk ke dapur dengan wajah masih mengantuk, rambutnya acak acakan namun justru terlihat sangat tampan.

"Pertanyaan orang bodoh. Mana ada orang masih tidur berjalan kesini." Ketusnya. Dia mengambil gelas kaca dan menuangkan air putih. Aku meringis sambil menggaruk leherku, benar juga apa yang dikatakan Nino.

Kuambil cangkir yang sudah berisi kopi panas, mematikan mesin coffee maker kemudian menyodorkan cangkirnya pada Nino. "Ini buat kamu"

Nino melirik cangkirnya kemudian memutar matanya jengkel "aku tidak minum kopi" ucapnya sambil menepis tanganku dan berlalu pergi.

"Awh!" Akibat tanganku ditepis oleh Nino, cangkir yang kupegang terlepas dari tanganku, air kopi panas mengenai tangan dan punggung kakiku. Aku meringis kesakitan sambil berloncat loncat kecil agar rasa panas dan perih pada punggung kakiku mereda.

Kulirik Nino yang berhenti berjalan berbalik menatapku dengan pandangan biasa saja, tanpa khawatir padaku. Dia justru menggeleng gelengkan kepalanya seakan itu bukan salahnya dan menunjuk beling cangkir yang berserakan. "Mama pasti marah liat cangkir pemberiannya pecah." Ucapnya.

Aku langsung berjongkok -masih sambil menahan sakit- "maaf, aku bakal ganti yang baru" buru buru kuambil pecahan beling dengan tangan kosong.

"Awh!" tanpa sengaja belingnya mengiris jariku. Darah langsung keluar cukup banyak, aku berdiri mengambil tissue dan langsung menutup lukaku dengan tissue.

"Ck!! Gak becus." Aku tertegun mendengar ucapan kasar Nino, pelan namun aku masih bisa mendengar dan mendengarnya sangat membuatku sakit hati. Nino berbalik dan berjalan kembali ke kamar, meninggalkanku tanpa peduli padaku sedikitpun.

***

Dengan terpincang pincang aku berjalan ke sofa sambil menenteng P3K. Setelah duduk dan membuka P3K, dengan segera aku meneteskan obat merah pada luka dijariku kemudian membalutnya dengan kain kassa, namun aku sedikit kesusahan karena aku hanya menggunakan satu tangan untuk membalutnya. Kebetulan saja Nino datang.

"Nino boleh minta tolong?" Tanyaku padanya. Nino melirikku.

"Tolong pasangkan kain kassa ini, aku tidak bisa membalutnya karena aku hanya pakai satu tangan." Pintaku to the point tanpa menunggu Nino berbicara. Nino menghela nafas sambil mengusap wajahnya terlihat malas namun dia menghampiriku dan duduk dikursi sofa kecil tepat didepanku.

Dia mengambil alih kain kassa yang sedang kupegang kemudian membalut lukaku. Reflek Aku tersenyum kecil sambil menatapnya yang sibuk dengan kain kassa, senang sekali mengetahui ternyata dia masih mau membantuku walaupun terlihat malas dari wajahnya.

"Terimakasih.." ucapku setelah dia selesai. Dia mengangguk sambil membereskan P3K.

"Ada luka lain?" Tanyanya membuatku kaget. "A.. ah ada tapi aku bisa mengurusnya sendiri." Aku menjawabnya dengan kikuk sambil menunjuk punggung tangan dan kakiku yang memerah dan mulai melepuh akibat tersiram air kopi yang masih panas tadi.

"Sini." Ditariknya tanganku sambil mengambil obat salep di P3K, kemudian mulai mengolesnya pada kulitku yang memerah. Aku meringis sedikit karena jarinya agak terlalu menekan bagian yang sudah melepuh, namun setelah itu jarinya langsung pelan pelan mengoles salepnya, sepertinya dia mendengar ringisanku, dan itu membuatku senang sekali.

Aku tidak tau, aku bingung apakah lukaku ini musibah atau keberuntungan. Ini terlalu bahagia untuk dibilang musibah, karena luka ini aku bisa melihat sisi baik suamiku padaku.

Kring..

Suara handphone Nino berdering, Nino langsung bergegas membersihkan jarinya yang basah karena salep dan mengambil handphonenya di saku celana pendek yang dia kenakan. Aku melihat layar, ada nama Qia diantara emoticon love sebagai penelepon, Nino langsung berdiri dan mengangkat telepon, wajahnya langsung terlihat panik.

"Kenapa sayang? Ada apa?" Ucapnya dalam telepon. Baru saja aku merasakan senang karenanya, namun juga langsung dibuat sedih karenanya.

Tanpa pamit dia langsung bergegas mengambil kunci mobil dan keluar rumah, dia meninggalkan aku dengan luka luar yang masih belum selesai diberi salep. Namun menambahkan luka yang lebih sakit.

Aku yang salah karena sudah percaya diri menganggap dirinya sudah perhatian padaku, aku lupa ada wanita lain yang diberi perhatian lebih darinya.

Aku menghela napas kemudian melanjutkan mengoles salep pada lukaku.

***

To be continue..

Sorry lama banget dilanjutnya, demi apapun stuck banget sama cerita ini 😣

A Little Bit Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang