7. Surat Pernyataan Cerai

7.5K 297 26
                                    

Sudah hampir 1 jam Aku hanya menatap lukaku yang tertutup perban sambil menunggu Nino kembali, sebenarnya ada apa dengan Qia? Apa dia kecelakaan hingga masuk ruangan ICU rumah sakit sampai sampai Nino sebegitu paniknya? Bahkan Nino pergi tanpa pamit padaku, apa cewek itu meninggal? Oh my God Zee, jahat banget kamu berpikiran seperti itu.

Cklek

Pintu utama rumah terbuka, badanku langsung berbalik badan untuk melihat Nino yang baru saja datang.

Benar saja, Nino muncul dari balik tembok. "Ada apa dengan Qia?" Tanyaku, harap harap cemas takut Nino tidak mau menjawab pertanyaanku.

"Mobil Qia tiba tiba mogok ditengah jalan." Jawaban Nino membuatku tercengang. Mobil mogok? Nino segitu paniknya hanya karena mobil Qia mogok? Wow.

"Kamu segitu paniknya kayak denger kabar orang meninggal tapi ternyata cuma karena mobil mogok?" Tanyaku mencoba meyakinkan.

Nino menghampiriku "lho? Emang kenapa? Mobil mogok ditengah jalan secara tiba tiba itu juga bahaya, bisa aja kendaraan lain dibelakang mobilnya gak sempet ngerem akhirnya menabrak mobil Qia." Aku tertawa mendengar alasan Nino. Ini benar benar lucu tapi sedikit muak jika berhubungan dengan Qia.

"Hahaha kenyataannya? Qia gimana?" Nino diam.

"Baik baik aja kan?" Aku yakin 100% Qia baik baik saja.

"Wait wait! tadi pertama kamu bilang apa? Panik kayak denger kabar orang meninggal? Jadi kamu sumpahin Qia meninggal? Kamu pengen Qia meninggal?" Tanyanya sambil menunjuk nunjukku.

"Bukan, bukan begitu maksudku. Tapi perkataanku benar kalau kamu melihat wajahmu tadi, kamu akan setuju, muka panikmu itu seperti mendengar kabar yang benar benar buruk." Belaku. Dia menggeleng gelengkan kepala tidak setuju.

"Jadi sekarang aku yang salah lagi? Kamu itu lucu Nino. Istri kamu luka luka, kamu lagi obatin luka lukaku, tapi kamu malah pergi gitu aja bahkan tanpa pamit cuma karena ditelfon Qia yang mobilnya lagi mogok."

"Kamu bisa panik parah sama apapun yang dialami Qia walau itu cuma hal kecil, dibanding sama apapun yang aku alami setelah aku nikah sama kamu, kamu tega nyakitin aku, istri kamu, dengan ucapan ucapan kamu, dengan perlakuan kamu, dan juga kamu nyakitin aku dengan masih bersama Qia."

Aku menunjuk nunjuk lukaku "Luka ini aja sebenarnya karena kamu, Nino. Tapi tadi kamu tanpa panik, tanpa bersalah ninggalin aku didapur, bahkan melemparkan kata 'gak becus' padaku. Kamu tau seberapa sakit hatinya aku selama ini?" Semua unek unek dalam hatiku keluar, aku tidak emosi sedikitpun, tidak pakai nada marah, justu malah dengan tenang kata kata itu mengalir begitu saja.

Aku menghela nafas, lega sudah menyampaikan apa isi hatiku, tapi masih terasa berat karena Nino tidak memikirkan semua uneg unegku dengan serius. Seperti ucapan ucapanku tadi tidak sampai padanya.

"Jadi sekarang kamu yang salahin aku? Sudahlah, aku capek berantem sama kamu, gak ada abisnya tau gak." Ucap Nino.

"Aku juga capek sama semua ini Nino." Kalimat ini tidak aku sadari keluar dari mulutku, Sepertinya aku sudah mulai menyerah dengan pernikahan ini.

"Kamu capek sama semua ini? Bagus kalau gitu. Tunggu.." Nino pergi ke kamar entah mengambil apa.

Tak lama dia kembali dengan satu buah amplop, dia menyerahkan amplop itu padaku. Aku membuka amlop ini, terdapat kertas yang tertuliskan..

"surat pernyataan cerai.." bacaku dengan lirih, hatiku langsung berdenyut nyeri, mataku tanpa aba aba langsung berkaca kaca.

"Kamu gila, Nino?" Tanyaku lirih. Nino hanya mengangkat bahunya. Air mataku langsung turun.

"Apa harus dengan cara ini? Bagaimana dengan orang tua kita?" Tanyaku lagi.

"Cara apalagi kalau kita berdua sudah capek dengan pernikahan selain cerai? Masalah orang tua, orang tua kita pasti mengerti." Ucapnya.

Aku menggeleng menolak "ayahku sakit Nino. Jika ayahku mengetahui hal ini, penyakit ayahku akan kambuh."

"Tidak, jika kamu bisa menjelaskan semuanya dengan benar."

"Bisakah kita tidak bercerai? Aku tidak mau bercerai Nino.. maaf Nino aku tarik perkataanku tadi, aku tidak capek dengen ini semua. Aku baik baik saja Nino, jangan ceraikan aku.." tangisanku sudah tidak bisa ditahan lagi, aku nangis sesenggukan sembari duduk disofa, dihadapan Nino yang berdiri tepat didepanku.

"Zee, pernikahan ini tidak ada artinya untukku, begitupun untuk kamu. Pernikahan ini hanya membuat kita semakin sakit hati, aku yang sakit hati karena harus menerima bukan Qia yang jadi istriku, dan kamu sakit hati karena menerima perlakuanku." Kata Nino.

Lagi lagi aku menggelengkan kepala "tidak, pernikahan ini ada artinya untukku. Aku mencintai kamu Nino. Aku gak mau kita pisah.." elakku terbata bata karena sesenggukan.

"Aku gak mau Ayah kenapa kenapa mengetahui pernikahan anaknya gagal" lanjutku.

Nino menghela nafas, "sudah sudah, jangan menangis. Surat itu sudah aku tanda tangani, Simpan surat itu baik baik. jika kamu sudah siap untuk bercerai, tanda tangani dan berikan padaku agar aku bisa proses perceraian kita."

"Maaf, aku tau ini pasti menyakitimu. Tapi menurutku ini yang terbaik untuk kita." Setelah mengucapkan kata kata itu, Nino pergi keluar rumah. Aku hanya bisa menangis tanpa bisa menahan Nino.

Ayah, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus melepaskannya?

Ayah, Maaf sepertinya aku tidak bisa mempertahankan Nino menjadi suamiku..

***

Lagi lagi updatenya lama ya :')
Maaf ya yang nungguin, ini sempet sempetin update mumpung ada ide padahal besok ada tugas hahaha

A Little Bit Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang