Hari berganti dan angin tetap berhembus. Aldrin berguling sendiri di kamar kecilnya, kepalanya bersandar di tempat tidur sambil membolak-balik halaman buku itu. Dikuceknya matanya yang mulai terasa perih membaca beratus halaman di buku yang diberikan oleh David beberapa hari yang lewat. Sebenarnya Aldrin kurang paham dan mengerti tentang apa yang dijelaskan di buku tua itu, namun dia berusaha yakin dan percaya kepada sahabatnya.
Redup lampu mengantarkan Aldrin terlelap dengan buku yang yang jatuh di dadanya.
**
"Bring....Bringg...." Bel sekolah menggema di lorong bergaya Eropa itu. Kelas Aldrin dan David akan mengumpulkan tugas mereka hari ini. Tugas essai yang diberikan selama liburan kemarin harus dikumpulkan hari ini, tetapi buku yang dibacanya semalam sungguh diluar materi hari ini.
"Xermanov Aldrin!"
Suara nyaring melengking dari ruangan di sudut lorong itu, anak-anak lain sudah banyak keluar dari lorong itu dengan muka tertunduk lesu dan berikutnya adalah dia yang akan menjadi korban pembataian di dalam ruangan itu.
"Hmmmmpphh" Ditariknya nafas dalam-dalam oleh Aldrin, kepalanya ditegakkan keatas dan mulai melangkah mendekati sebuah pintu pembatas antara kehidupan dan kematiannya. "Master of physic" tertulis didepan pintunya, Aldrin merapikan lembaran essai-nya dan langsung melolo masuk.
"Letakkan disana!" Perintah wanita tua itu kepada Aldrin sambil menekan pertengahan kacamata coklat dengan lensa slinder 5,5 itu.
"Duduk!"
"Ciiiitttt......" Berdecit bunyi kursi kayu ketika diduduki Aldrin.
Sekarang Ia langsung berhadapan dengan guru paling terkenal di sekolah ini karna kebengisannya, jarak muka mereka hanya 1 meter dengan sebuah meja hijau terbentang di antara mereka berdua.
"Memangnya sedang dimana aku?, ruang sidang?" Dongkolnya di dalam hati.
"Jadi apakah kau mengalami kesulitan dalam mengerjakan essai mu?" Diletakkannya kedua tangannya keatas meja sambil mencondongkan badannya kedepan.
"Tidak Miss Liliana" Aldrin menjawabnya gugup.
Perempuan itu terlihat serius sekali membaca tugas yang diletakkan Aldrin di atas mejanya, dibaliknya lembaran demi lembaran essai itu. Miss Liliana baru berusia 32 tahun, namun kerutan di wajahnya menggambarkan Ia adalah guru yang syarat akan segudang pengalaman, rambut hitam legam dengan hidung yang sangat mancung membuatnya terlihat seperti penyihir di zaman modern ini.
"Bukkkk!" dihempaskannya tugas Aldrin diatas mejanya sendiri.
"Jadi kau pikir apa yang kau kerjakan ini Mr. Xermanov?" semakin didekatkannya pandangan horror itu ke wajah Aldrin.
"Sebuah essai Mrs." tidak mampu lagi mata Aldrin menatap mata perempuan itu.
"Kau sebut ini sebuah essai?!" perlahan jari-jari Mrs. Liliana yang lentik merobek lembaran tugas Aldrin di depan matanya sendiri. Tugas yang selama liburan ini dikerjakannya dengan susah payah, dengan semudah itu dicabikkan menjadi sampah oleh penyihir itu.
"Baiklah selanjutnya!"
Aldrin keluar dari ruangan itu dengan kepala tertunduk, rasanya sudah tidak ada tenaga lagi bagi tubuhnya untuk sekedar menopang kepala itu pada tempatnya. Aldrin berlalu pergi meninggalkan ruangan paling angker di sekolahnya itu.
**
Dibukanya kancing paling atas bajunya, ia masih merasa kepanasan meskipun angin berhembus sepoi-sepoi melewati ranting-ranting pohon maple yang berjejer di taman itu. Mulai terasa panas musim semi kali ini. Aneh jika mengingat bahwa baru kemarin Aldrin kedinginan karena salju, tetapi sekarang ia kepanasan di tempat yang sama.
Aldrin duduk dibawah pohon maple yang rindang, menyandarkan punggungnya di bangku itu sambil mendongak ke atas. Diperhatikannya daun muda yang berwarna hijau cerah tumbuh di antara ranting-ranting pohon itu. Sayu-sayu matanya setelah mengalami hari yang sangat berat.
Tiba-tiba sebuah rangkaian nada membuyarkan lamunannya, Aldrin tersentak dan langsung melihat ke sekelilingnya. Dari sudut mata kanannya, terlihat dari kejauhan seorang gadis sedang bermain alat musik gesek itu. Aldrin tersenyum riang melihat gadis itu bermain, entah kenapa bunyi biola dari gadis itu meninggalkan rasa adiktif bagi pendengarnya.
Tetapi kali ini, dia memainkan lagu yang berbeda dari musim salju kemarin. Permainan biola gadis itu seperti mengikuti pergantian musim-musimnya. Aldrin terbuai dalam nada-nada itu.
Tangannya anggun melantunkan setiap inchi gesekannya, namun ada yang berbeda dari penampilan perempuan itu, dia memakai seragam sekolah! Namun Aldrin yakin bahwa Ia bukan dari sekolah yang sama sepertinya. Gadis itu pasti bersekolah di sekitar sini.
Dicoba diingatnya isi dalam buku itu, sembari melangkahkan kakinya menghampiri perempuan itu.
"Iya! Buatlah kejutan saat pertama berkenalan" Aldrin ingat dengan buku itu.
"Aldrin, Xermanov Aldrin" Ia mengulurkan tangannya tepat dihadapan gadis itu. Alis mata gadis itu diangkatnya sebelah pertanda bingung, belum ada orang asing yang langsung mengajak berkenalan tanpa basa-basi terlebih dahulu. Perempuan itu hanya memasang muka datar, menghentikan permainan biolanya, dan berlalu pergi tanpa merespon apapun kepada Aldrin.
"Permainan biola mu sangat bagus. I'am addicted to you!" Aldrin berteriak kepada gadis yang berusaha menjauh itu.
Gadis itu menghentikan langkahnya, belum ada orang asing yang memujinya seperti itu. Dia hanya mengangkat 4 jarinya tanpa menoleh kebelakang, "Pukul 4 besok sehabis pulang jam sekolah."
Itu adalah kata pertama yang didengar Aldrin dari gadis itu. Sejenak dipikirkannya apakah cara mendekati gadis yang dibaca di buku semalam sudah benar atau salah. Entahlah, setidaknya ia mendengar sesuatu dari wanita itu, dan gadis yang dulunya misterius itu sekarang tidak misterius lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Astronot dan Violinis
RomanceAldrin dan Vivian. Seorang laki-laki yang bermimpi untuk menjadi Astronot dan seorang gadis yang ingin menjadi Violinis terkenal dipertemukan oleh takdir. Aldrin yang bersifat rasa ingin tahu. Vivian yang bersifat penyendiri dan malu untuk mengekspr...