Chapter 1 : PCl

6.7K 229 27
                                    


Ketika sebuah cairan menjadi senjata....

Incheon, Januari 1988

"0401. 2906. 2210. 1912."

Kaki kurusnya melaju cepat, seolah ingin segera menapak di tujuan.

"0401. Saengil chukahamnida (selamat ulangtahun), Eomma!"

Didekapnya kantong putih yang sedari tadi melambung ke udara mengikuti gerak tangan.

"Lima bulan lagi, giliran Appa!"

Senyumnya merekah, begitu bersemangat. Menanti hari yang telah melekat dalam kepala. Angka-angka yang tak pernah ia lupa. Kepala tajam, begitu mereka menjuluki. Bahkan, ia bisa saja hapal seluruh nomor telepon teman sekelas hanya dengan sekali lihat.

"Setelah itu Oppa, lalu little princess, Yoo Rae."

Bayang senyum ibunya melintas. Entah mengapa rasanya tak sabar bertemu wanita yang begitu dihormatinya itu. Padahal baru sejam lebih ia meninggalkan rumah. Apakah karena ia yang terlalu manja dan tak bisa jauh dari ibu? Tapi, perasaannya kali ini berbeda. Entahlah. Ia pun tak paham.

Menu makan siang telah selesai. Begitu yang dikatakan ibunya melalui telepon ketika ia sibuk menekuri sudut-sudut pasar. Tapi, dengan egois jawaban yang terlontar adalah memaksa mereka menunggunya pulang untuk makan siang bersama.

"Hadiahku pasti lebih bagus dari Oppa. Setidaknya, meski sederhana, ini adalah hasil tabunganku sendiri."

Gadis usia belasan itu mempercepat kayuh langkah. Sambil sesekali tersenyum geli mengingat bagaimana Oppa-nya merengek meminta uang pada Appa demi membeli seonmul (hadiah) untuk Eomma. Padahal, semestinya di usianya yang dewasa, haruslah pandai menyisihkan uang jajan. Oppa-nya memang boros dan suka berhura-hura, sedang nilainya di kelas jauh dari kata berprestasi. Berbanding terbalik dengan sang adik yang cerdas, pandai menghitung, pandai menghapal. Juara matematika. Juga selalu menyisihkan uang jajan untuk ditabung. Bukan demi dirinya. Melainkan demi memberi kado ulang tahun untuk keluarganya. Dan setiap tahun, ia tak pernah melewatkan memberi hadiah. Ini adalah tahun ke tiga ia mampu memberi kado ulang tahun untuk keluarga. Secuil do'a yang selalu terselip dalam hati, agar ia mampu memberikan kado ulang tahun di tahun-tahun yang akan datang. Selamanya.

Sepatu flat shoes merah itu menapak riang di jalanan gang menuju rumah. Menimbulkan sisa cekung di tumpukan salju yang melingkupi jalan.

Eomma pasti sangat senang!

Hatinya sungguh berbunga-bunga membayangkan betapa riang sang ibu dan memeluknya erat. Namun, seperti tanda titik yang menjeda, langkahnya terhenti tiba-tiba. Senyum riangnya hilang, tersingkirkan oleh kepulan asap yang merajalela, membumbung ke udara. Bersaing dengan rintik kristal putih yang berjatuhan pelan. Semua warga berlarian, menghambur memenuhi tepi pagar rumah. Ya, rumahnya. Mobil merah bertangki besar terparkir di sana. Juga mobil putih. Gadis itu terpaku sejenak, mengamati wajah-wajah di tepi pagar. Raut cemas dan iba. Bahkan ada yang berderai-derai. Mengapa?

Rasa ingin tahunya terjawab, ketika kini kedua bola matanya menyaksikan dengan jelas, rumah penuh cinta milik keluarganya kini tinggal kerangka menghitam. Para petugas pemadam kebakaran memenuhi lokasi. Api hanya tinggal separuh rumah. Namun tampaknya petugas masih kepayahan memadamkan.
Pandangannya menyapu ke setiap sudut yang mampu terlihat, dengan napas yang serasa tercekat. Berharap mereka ada dalam kerumunan. Atau duduk di sisi mobil ambulans untuk menerima perawatan. Tapi..., nihil. Orang-orang tercinta tak ia jumpai.

Gadis itu gusar. Napasnya serasa tercabut. Dadanya terhimpit kuat. Kantong berisi long coat itu terjatuh begitu saja ketika kini pandangannya terpusat pada petugas rumah sakit yang mengangkut sosok berselimut kain putih dari ujung kepala hingga kaki.

The Genius Killer (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang