Dia tersudut, meringkuk dalam balutan ketakutan. Tubuhnya gemetar, matanya memandang sekitar. Tidak ada gunting atau pisau yang dapat ia lakukan untuk melindungi dirinya. Hanya ada kasur lusuh, sebatang lilin menyala yang diletakan diatas meja, dan gelap yang selalu membayanginya.
Dia tidak tau kenapa disini. Diantara kamar kecil yang memiliki cahaya remang-remang. Sepotong gaun putih yang penuh bercak darah melekat ditubuhnya. Ia menatap lengan-lengan mungilnya yang kini berhiaskan lebam-lebam biru bahkan hitam. Tak hayal membuatnya mengerang sakit saat menyentuhnya atau menggerakan tubuh sedikit. Peluh gadis itu semakin menetes manakalah mendengar bunyi derit pintu lalu disusul bayangan seseorang yang berada dalam kegelapan semakin mendekat kearahnya. Mata gadis itu menatap nanar dan penuh teror pada pisau yang dipenuhi darah yang terlihat dikalah sinar rembulan menerpanya.
Gadis itu mundur ketakutan dengan tubuh gemetar tak tertahankan saat pria itu berdiri didepannya seraya menggenggam sebilah pisau penuh aura kematian. Gadis itu panik ketika punggungnya membentur tembok. Hal itu menandakan ia tak dapat menghindari pria ini lagi. Ia meraba-raba sekelilingnya namun percuma karena ia hanya menangkap debu-debu lantai yang kusam dirasakan telapak tangannya. Pandangannya pun terbatas hanya bergantung pada cahaya lilin yang tak menbantu penerangan dan juga ketakutannya terhadap gelap.
Ia semakin tersudut. Merengkuh lututnya semakin erat. Ia tak berani mendongak. Tubuhnya tersentak saat merasakan jemari nan besar itu menelusuri helaian rambutnya. Deruh napas sosok itu membelai pucuk kepalanya. Tangan itu beralih mengusap keningnya yang terasa lengket. Ringisan kecil sontak keluar dari bibir kecil yang pecah-pecah dan kering. Tubuh pria itu tiba-tiba menegang, tangannya terhenti disana. Mata laki-laki itu tak beralih menatap luka menganga dikening gadis didepannya. Gadis itu takut mendongak. Jadilah ia menerka hal-hal buruk dikepalanya. Bening-bening kristal ketakutan mengaburkan pandangannya.
"Apakah aku pernah memperingatkanmu...." detik-detik yang terasa menyiksa kini berganti dengan aura mengerikan yang dikeluarkan dari sosok didepannya. Suara bas dan berat sosok pria didepannya membuat tubuh gadis itu makin diserbu rasa ketakutan amat dalam dan gemetar yang tak kunjung berhenti.
"....bahwa rasa penasaranmu itu dapat membunuhmu?" Bisiknya didaun telinga gadis itu diiringi nada serak yang dalam. Hingga menggetarkan bulu ditengkuk gadis rapuh yang dirundung gelisah dan ketakutan.
Jemari panjang itu kini berhenti dibawah dagunya, mendongakan dengan gerak pelan dagu perempuan itu. Gadis yang bernama Camelia itu menangkap sepasang mata tajam yang berwarna hitam pekat berselimut kebekuan yang mengerikan. Sampai-sampai ia menahan nafasnya saat mata mereka bertemu untuk pertama kalinya.
"Si...siapa kau? Mmm...memangnya apa yang ku lakukan?" Camelia tercekat merasakan sentuhan jemari dingin pria itu mengelus permukaan bibirnya. Dan mata pria itu yang begitu lekat menatap bibirnya.
"Kau tidak ingat aku, Camelia?"
Pria itu terdiam. Gerakan tangannya terhenti. Sekilas atau hanya imanijasinya saja dia mendengar suara kepedihan yang baru saja pria itu ucapkan. Dan darimana pria itu tahu namanya?
Namun hilang digantikan tatapan tajam pria itu yang kini menatap matanya lurus-lurus.
Pria itu mencengkeram rahangnya sangat kuat. Camelia meringis kesakitan. Tangannya yang kecil dan rapuh itu berusaha melepaskan cengkeraman. Ia mencakar dan memukul-mukul lengan yang penuh otot itu namun usahanya tak membuahkan hasil. Pria itu malah semakin mencengkeram rahangnya lebih kuat.
"Cukup, Heron. Kerja yang bagus. Sepertinya benturan dikepala gadis itu cukup kuat, mungkin saja gadis itu amnesia. Biarkan dia disana. Untuk sekarang kita aman karena gadis itu melupakan segalanya. Biarkan Alargo yang mengurus sisanya." Pria yang berusia setengah baya yang baru diketahui oleh Camelia keberadaannya diambang pintu.
Pria yang dipanggil Heron itu sontak melepaskan cengkeramannya dengan kasar lalu berdiri.
"Apa yang akan dilakukan Alargo?" Mata Heron mengawasi gerak-gerik gadis itu. Camelia menelungkupkan kepalanya diantara lutut yang ia tekuk. Heron mengepalkan tangannya melihat bahu Camelia yang gemetar.
Pria tua itu terkekeh sambil mengeluarkan cerutu dari saku jas mahalnya, "Kau seperti baru mengenal Alargo saja. Tentu saja dia akan membunuh gadis itu setelah menikmatinya hahahaha...."
Heron menyembunyikan tangannya yang mengepal kuat. Kukunya menusuk kulit hingga berdarah. Maka terlihatlah aliran darah dari sela-sela jemarinya yang terkepal.
"Biar aku saja yang membunuh wanita ini." Ucapnya dengan nada tersembunyi didalamnya.
"Ayolah, kau punya misi penting. Jangan main-main. Nanti akan ku berikan kau wanita yang lebih seksi dari sana. Lagi pula gadis itu sangat kurus dan tak menggairahkan sama sekali. Dan jika kau ingin menbunuh, tahan saja. Karena kita tidak punya waktu lagi."
"Tapi---"
"Sudah. Ayo, cepat. Ada yang ingin kubicarakan dengan misi rahasiamu kali ini." Pria itu berbalik dan tak sengaja kakinya menginjak tangan dari seseorang yang beberapa menit yang lalu baru dihabisi oleh Heron atas perintahnya. Dan sekarang mayat itu tergeletak dilantai depan kamar kecil itu. Ia menendang tangan itu dengan dingin karena mengahalangi jalannya.
Heron berjalan mengikuti pria tua itu dengan raut kaku dan dinginnya yang selalu terpasang diwajahnya yang rupawan.
Sebelum pintu tertutup Heron menolehkan kepalanya kebelakang. Menatap Camelia yang melirik mereka dari ujung mata bulat gadis itu dengan sorot takut. Ketika bertemu pandang, Camelia langsung menyembunyikan kepalanya. Sekilas wajah dingin dan kaku itu berganti menjadi raut pedih dan penuh penyesalan.
~~~
Ohohoho....i come back. Jika kalian suka ayo dong vote dan komennya *^_^*
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember Me? [Dark Series II] [End]
Mystery / ThrillerMenceritakan seorang agen rahasia yang ditugaskan untuk membunuh Presiden Fredenmark. Tapi saat menjalankan rencana besar itu ia bertemu seorang gadis yang mampu mencairkan hatinya yang beku. Ia melupakan misi besar itu. Waktu berjalan cepat kejadia...