Terima kasih sudah bersedia menunggu cerita ini ^_^*-------*
Hari telah berganti malam, tak biasanya Heron pulang cepat. Biasanya tengah malam baru pulang. Raut cemas tergambar jelas diretina matanya walaupun mimik wajahnya datar. Pria itu mengetuk-ngetukan jari telunjuknya ke meja secara berirama. Alis tebalnya bertaut keras. Makanan yang terhidang di meja tidak disentuhnya sedikit pun. Camelia menyelesaikan makan malamnya, ia tidak berani beranjak ataupun bertanya pada pria itu akan apa yang mengusik pikirannya. Menit demi menit berlalu seperti itu. Camelia yang terdiam sambil menundukkan kepalanya dan bermain dengan jemarinya dibawah meja sedangkan Heron dengan tatapan lurus kedepan namun pikirannya berkelana kemana-kemana.
Entah muncul darimana sebuah kiasan memori melintas dikepalanya. Memutar adegan dimana situasi yang sama seperti ini. Bedanya, wanita dalam ingatannya yang mirip sekali dengan dirinya nampak memarahi seorang pria di ruang makan karena pria itu hanya diam dan melakukan gerakan seperti Heron lakukan sekarang. Wajah pria itu terlalu kabur untuk dikenal. Kilasan itu berakhir dengan si pria menggelitik pinggang wanita itu menyebabkan mereka tertawa lepas dan si pria memeluk perempuan itu dan mengecup puncuk kepalanya. Hatinya tiba-tiba berdebar kencang. Ia merasakan dejavu. Peristiwa ini pernah terjadi sebelumnya. Tapi ia tidak ingat kapan dan siapa pria itu?
Akibat terlalu keras berpikir, kepalanya menjadi berdenyut nyeri. Pandangan Camelia berkunang-kunang.
Konsentrasi Heron terpecah ketika mendengar suara lenguhan sakit. Ia menghentikan aktivitasnya dan menatap Camelia yang tengah memegang kepalanya. Cepat-cepat Heron beranjak dan mendekati Camelia. Ia menangkup wajah wanita itu dengan kedua tangannya.
"Ada apa? Apa yang sakit?"
Camelia mendongak, menatap mata Heron yang menyiratkan kekhawatiran. Lalu menggeleng lemah, "Tidak apa-apa, kepalaku hanya pening sedikit."
"Tunggu disini, aku akan belikan obat."
Camelia dengan cepat memegang ujung baju Heron yang sudah berdiri, "Tidak perlu, sekarang kepalaku tidak pusing lagi."
Heron mengernyitkan alisnya, matanya menatap lekat wajah Camelia yang kini tertunduk.
"A...aku sungguh tidak apa-apa." ulang Camelia terbata.
Pandangan Heron teralihkan pada siaran Tv yang menampilkan wajahnya, tertulis kata buronan dibawah gambar itu. Camelia kebingungan akan situasi yang terjadi sekarang. Beberapa kali kepalanya menoleh antara TV dan Heron yang kini berekspresi geram. Melihat aura tak menyenangkan itu. Ia tak berani bersuara. Heron mengalihkan pandangannya dan mendapatkan Camelia yang menatapnya. Wanita itu langsung terburu-buru menunduk.
"Ayo." ucap Heron seraya beranjak dari duduknya lalu melangkah ke pintu masuk.
"A...pa?" Camelia yang sedari tadi bergulat dengan pikurannya, mendadak linglung kala Heron bersuara.
"Kita harus pergi dari rumah ini." Heron memutar kenop. Ia membuka sedikit cela pintu untuk mengamati keadaan diluar sana.
Setelah memastikan situasi aman diluar. Ia menarik tangan Camelia dan menggenggamnya erat. Heron berjalan tenang walaupun matanya menatap was-was. Sebuah pergerakan kecil yang ditangkap oleh ujung matanya. Gorden di rumah tetangga mereka nampak bergoyang. Wajah Heron menjadi serius dan tangannya semakin mengerat. Langkah kakinya panjang-panjang dan Camelia kesusahan mensejajarkan langkah mereka.
Bunyi sirine dari kejauhan memecahkan keheningan malam. Lantas Camelia menoleh sementara tubuh Heron menegang. Heron menarik Camelia berlari. Polisi datang dari segala arah, menggunakan mobil dan juga motor. Dari balik bangunan Heron mengintip polisi yang mengepung kontrakan kecil yang sebelumnya mereka tinggali. Matanya mengedar, gawat! Polisi juga berjaga-jaga di sekitar trotoar sambil memegang senjata laras panjang. Jumlah mereka sangat banyak. Dan mustahil bisa keluar dalam keadaan selamat.
Ia menyandarkan punggung, memandang langit. Suara helikopter terdengar dari arah dekat. Bibirnya mengukir senyum sinis. Dia takkan menyerah untuk seseorang, apapun ia akan lakukan. Heron melirik Camelia yang kebingungan sekaligus takut.
Diusapnya lembut pipi itu dan bergumam, "Jangan takut. Aku tidak akan membiarkanmu disakiti mereka."
Camelia terdiam.
Tatapannya tak sengaja menemukan saluran air didekat kaki Camelia. Ia membukanya dan langsung melompat. Pakainya langsung basah. Tinggi air itu sepinggang. Arusnya tida terlalu deras.
Heron mendongak, "Lompatlah, aku akan menangkapmu." serunya dari dalam sana.
Camelia menurut saja. Ia berjongkok kemudian memasukan kakinya perlahan-lahan. Dengan keraguan Camelia melompat dan langsung ditangkap Heron. Mata mereka bertatapan sejenak. Camelia memutus pandangan.
Heron menutup saluran air. Disana gelap, pengap dan bau. Hanya cahaya bulan yang menerobos cela-cela penutup besi saluran air sebagai penerangan. Heron memandu didepan. Ia tak pernah sekalipun melepaskan genggaman tangannya pada Camelia. Mereka menyusuri saluran air itu. Bunyi kendaraan lalu lalang diatas mereka. Tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai pada sebuah cela besar menghadap lautan luas.
Keduanya naik ke pelabuhan dan mendapatkan boat yang tak terpakai. Camelia mengamati Heron yang tengah mengutak-atik boat itu supaya menyala. Ia melirik sekeliling pelabuhan. Kapal-kapal berderet di tepi pelabuhan. Disini masih sepi. Hanya mereka berdua.
Hembusan angin laut menyelusup ketulang. Terasa dingin dan membekukan. Ia memeluk dirinya sendiri. Heron melirik gelagatnya, pria itu mendekati dirinya.
"Kau keinginan?" tanya Heron sambil melepas jaket yang dipakainya.
"Tidak." Camelia menggeleng kecil.
Namun Heron tetap menyampirkan jaket itu hingga membungkus tubuh Camelia. Menjaganya tetap hangat. Setelah itu Heron berbalik dan kembali membetulkan Boat. Sementara dada Camelia terus berdebar kencang.
Tiba-tiba suara kendaraan terdengar dekat. Bunyi sirine mengaum di udara.
Heron mengulurkan tangannya, "Pegang tanganku. Kita harus cepat." serunya panik.
Camelia mengangkat tangannya, berniat menyambut uluran tangan itu. Tapi terhenti ketika mendengar suara letusan dan teriakan di belakang mereka.
"Berhenti disana!!!"
Sebuah kilasan memori datang kembali. Kali ini terlihat jelas. Dimana dia dan Heron saling berhadapan. Pria itu mengenakan topi dan seragam serba hitam. Membidikkan pistol ke arahnya. Lalu menarik pelatuk.
"Bunuh aku! Aku sudah tidak percaya lagi padamu! Dasar pembunuh!" Camelia terbatuk-batuk. Tubuhnya rubuh karena terlalu lama berdiri.Jarum infusnya ia lepas.
"Selamat tinggal." Heron berbisik kemudian berlalu diiringi suara senapan.
Dooorrr....
Camelia tersadar akibat bunyi peluru yang kembali ditembakkan. Ia terlihat meragu memandang uluran Heron. Sementara polisi semakin mendekat.
"Camelia, ayo." seru Heron diiringi nada penekanan.
Camelia menggelengkan kepala berulang kali seraya berkata, "Tidak, tidak, tidak."
Heron mengernyitkan alisnya, "Camelia!" ia panik melihat para polisi berdatangan.
Camelia melangkah mundur.
"Camelia! Apa yang kau lakukan! Cepat masuk ke Boat!"
"Tetap di tempat!!!" para polisi mulai menodongkan senjata.
Sekali lagi Camelia menatap Heron. Dan pria dalam ingatannya itu semakin jelas terlihat, bahwa itu memang Heron. Ia memutar tubuhnya dan berlari menjauh. Sedangkan suara Heron terus memanggilnya.
"Camelia! Camelia! Camelia!"
*----------*
Semoga nulis novel ini lancar sampai tuntas, banyak yang baca +vote+ komen (harapannya ^_^), semoga hari esok semua urusan kita dimudahkan, rezekinya mengalir lancar, dan yang kuliah moga dapat ipk tinggi dan masih sekolah tambah rajin+pintar. Amiiiiin ya robbal alamiiiin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Remember Me? [Dark Series II] [End]
Mystery / ThrillerMenceritakan seorang agen rahasia yang ditugaskan untuk membunuh Presiden Fredenmark. Tapi saat menjalankan rencana besar itu ia bertemu seorang gadis yang mampu mencairkan hatinya yang beku. Ia melupakan misi besar itu. Waktu berjalan cepat kejadia...