Camelia merasakan tempatnya bergerak-gerak. Udara yang panas. Dan tempat yang semakin kecil. Ia membuka mata perlahan. Pandangan pertama yang ia lihat adalah jalanan tol. Kepalanya menoleh ke samping, terdapat banyak pohon yang dilalui. Dan ia baru menyadari dirinya berada di sebuah mobil yang melaju kencang. Sontak Camelia menatap kearah kemudi. Dilihatnya sosok pria berpakaian polisi namun yang membuatnya mengernyitkan wajah, pria itu tak asing walau tidak ditutupi topi.
Pria itu melirik padanya. Camelia terkejut.
"Sudah bangun?"
"Heron."
.
.
.Camelia membuka mulutnya, ingin menanyakan sesuatu namun ia terdiam begitu ingat terakhir pertemuan mereka. Ia terdiam. Mengingat dirinya meninggalkan laki-laki itu. Serta sekelebat ingatan yang membuatnya ragu dan bertanya-tanya.
"Kenapa?" Akhirnya kata itu yang terucap.
"Apa?" Balas Heron datar. Ia menyetir dengan kecepatan tinggi. Mengemudikan mobil itu dengan mahir. Seraya melepas seragam polisi yang ia kenakan.
"Kenapa ... kau membawaku kabur?" Sebenarnya ada banyak sekali pertanyaan yang ia ingin lontarkan. Kenapa laki-laki itu melakukan ini semua? Apa yang dia cari? Apa yang dia inginkan darinya? Dan keterkaitan masa lalu apa yang membuatnya terlibat dengan pria ini?
Heron meliriknya dari sudut mata. Lalu fokus kedepan.
"Karena itu adalah keharusanku." Jawabnya setelah jeda yang agak lama.
Sontak ia teringat bayangan pria ini yang mengacungkan pistol terhadapnya.
"Keharusan membunuhku?"
Camelia terlonjak begitu Heron mengerem tiba-tiba. Kepalanya membentur dashboard, tidak sakit tapi cukup membuatnya meringis. Ia menoleh, dan mendapati kedua jemari Heron yang memutih karena mencengkeram setir kemudi sangat erat. Tatapan mata laki-laki melurus tajam. Rahangnya nampak mengeras dari samping.
"Itu tidak akan pernah terjadi."
"Tapi, kau menodongkan pistol ke arahku."
Heron menoleh cepat.
Wajah Camelia memucat. Berganti gugup ditatap sekian tajam.
"Hanya sepintas lewat. Ingatan. Dan aku tidak tau itu terjadi kapan. Apakah ... aku mengenalmu dulu?"
Lama Heron menatapnya, "Hanya itu yang kau ingat?"
"Ya, hanya itu." Dia sengaja tidak mengucapkan ingatan satunya di meja makan. Terlalu kabur. Dan ia tidak tau siapa-siapa didalam sana.
Heron membiarkan hening mengambilnya. Terbungkam dalam sepi. Dan Camelia butuh sekali jawaban laki-laki ini, tapi dia malah membiarkannya terjebak dalam diam dan penasaran.
"Apa kau disuruh seseorang untuk membunuhku?"
Gerakannya begitu cepat. Tangan Heron berada dibelakang tengkuk Camelia. Mendorong dan mempertahankan posisi kepalanya agar tidak bergerak. Wajah Heron tau-tau sudah amat dekat. Bibir mereka bersatu. Bibir pria itu menekan bibirnya. Melumat bibir bawahnya dan menggigit kecil.
Heron melepaskan bibirnya. Menyandarkan kening mereka satu sama lain. Deruh napas Camelia begitu keras terdengar. Kakinya lemas bagai jeli. Hanya beberapa detik. Tapi mampu melumpuhkan indra penggerak. Matanya menunduk kebawah, rasanya menatap tungkai kaki Heron yang berbalut span dasar hitam lebih aman daripada bersipandang dengan mata tajam yang sekarang menelanjanginya.
"Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu. Termasuk diriku, Camelia." Suara berat Heron langsung masuk ke gendang telinganya. Terdengar kuat dan tanpa keraguan. Namun, ada nada lirih saat pria itu memanggil namanya.
Camelia mengangkat tatapannya, "Kenapa?"
"Kau akan tau suatu hari nanti."
"Kau seakan mengatakan aku begitu berharga bagimu. Tapi, kenapa setiap bayangan yang kulihat dalam benakku kau terlihat ingin membunuhku?"
Jemari Heron meremas rambutnya. Pria itu memejamkan mata. Ia nampak menghela napas. Seperti ada beban berat yang memikul bahunya.
"Itu ... kesalahanku. Maaf. Jika kau mengingat semuanya, kau bebas menghukumku. Apapun. Tapi, jangan pergi dari sisiku lagi. Seperti waktu itu. Itu menyiksaku, Camelia."
Tatapan Heron yang berganti penuh kesedihan membuat Camelia diam. Ia sepenuhnya tidak mengerti. Baik apa yang diucapkan. Maupun yang akan datang nanti. Masalah apa sebenarnya yang bisa membuat pria sedingin Heron terpuruk menyedihkan didepan matanya. Bahkan memohon kepadanya.
"Siapa kau sebenarnya Heron?"
"Seseorang yang amat merindukanmu."
"Itu bukan jawaban Heron. Aku butuh kejelasan."
"Tidak untuk waktu ini, Camelia."
"Kapan? Apa aku harus bodoh seperti ini terus? Lari dari polisi walau aku tidak tau kesalahanku apa. Mengikuti kemanapun kau menarikku. Pergi ke tempat berbeda-beda. Kenapa harus aku? Kenapa tidak wanita lain? Apa aku punya masalah denganmu? Hutang? Kau butuh uang? Aku tidak ingat apapun. Apa yang kau peroleh dari seorang wanita lemah sepertiku."
"Jika aku memberi pilihan, pergi menjauh dariku atau tetap disampingku. Mana yang kau pilih Camelia?"
"Tentu saja pergi."
Ada kepedihan di mata Heron. Namun, sekelebat kemudian menghilang. Menjadi tatapan datar.
"Kalau begitu, aku tidak akan memberi pilihan."
Dan pria itu kembali menciumnya. Kali ini lebih intens dan mendalam. Bibirnya melumat dengan lembut dan menggebu-gebu. Ada rasa asing yang menyelusup. Kerinduan. Ditambah lagi, lengan Heron yang melingkari pinggang kecilnya memeluk dengan protektif. Mengangkat tubuhnya dan ketika sadar Camelia sudah berpindah tempat duduk. Di pangkuan Heron. Laki-laki itu mendekapnya dengan erat seolah tidak mau melepaskan. Dan bibirnya yang gencar menggigit dan mengecupnya beberapa kali. Dan mata Camelia mengamati mata terpejam Heron yang menikmati semua detik yang berlalu. Kedua tangan Camelia berada di kedua pundak Heron. Tenaganya sudah lemas. Dan tanpa terasa ia ikut memejamkan mata. Membiarkan waktu melaju. Bersama hujan yang tiba-tiba datang pada siang hari ini.
Dan masa lalu kembali menjumpainya.
Dalam posisi yang sama. Dimana ia berada di atas tubuh seseorang. Tanpa sehelai benang. Begitupun sosok dibawahnya. Mereka saling mendekap satu sama lain. Bergerak dalam ritme cepat. Kedua tangannya meremas-remas rambut sosok itu dengan kepala terngadah.
Dalam pandangannya, itu sebuah kamar tidur. Walau cahaya temaram lampu tidur yang tidak membantu penerangan. Tapi, ia berada di kasur. Pakaian berceceran dan sebuah foto besar pernikahan menempel didinding. Tunggu, pernikahan?
Tubuhnya tersentak oleh rasa kenikmatan yang datang. Dan dirinya dalam bayangan itu menyebut nama seseorang.
"Alfa!"
Camelia membuka mata. Ia mendorong bahu Heron kuat. Tautan bibir mereka terlepas. Heron menatap Camelia yang melirik ke segala arah. Tatapannya terlihat gugup.
"Kenapa?" Kata Heron terdengar serak.
"Tidak ada. Aku mau duduk di tempatku." Camelia menunduk. Meremas jemarinya dengan pipi memerah.
Heron sebenarnya tidak rela, tapi melihat kerapuhan wanita didepannya. Ia mengangkat tubuh Camelia dan duduk ditempatnya semula.
"Kancingkan bajumu."
"Huh?" Camelia menoleh tak mengerti.
Heron mendekat, tangannya mengancingkan tiga kancing baju Camelia. Mempertontonkan bahu kanannya yang terbuka dan sebagian atas dada. Dan membuat wanita itu merah padam.
Sudah sejauh apa mereka tadi?
✍✍✍
14 September 2019
Mohon saran dan kritik 😉
Vote dan komen ya 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember Me? [Dark Series II] [End]
Mystery / ThrillerMenceritakan seorang agen rahasia yang ditugaskan untuk membunuh Presiden Fredenmark. Tapi saat menjalankan rencana besar itu ia bertemu seorang gadis yang mampu mencairkan hatinya yang beku. Ia melupakan misi besar itu. Waktu berjalan cepat kejadia...