Kembali Bersamamu

556 73 9
                                    

Camelia membuka mata begitu mendengar suara pintu berderit. Sejak terbangun dalam keadaan tidak ingat apa-apa, telinganya begitu sensitif mendengar suara-suara bahkan sekecil apapun. Dua polisi yang mengintograsinya waktu itu muncul kembali.

Ia bangkit duduk. Menyeret tubuhnya ke sudut. Melirik penuh antisipasi.

James melihat gerakan waspada itu, entah apa yang sudah dilalui wanuta ini. Mentalnya mungkin terganggu bahkan mungkin mengalami trauma. Tak tau apa yang menimpanya. Namun, hal itu bukan urusannya. Ada yang harus ia urus. Dan ingatan wanita ini sangat berharga.

Ketika dibawa pertama kali ke sini dan diperika dokter, ternyata wanita ini mengalami hilang ingatan. Pantas, ia seperti orang linglung yang tak tau apapun. Kondisinya sekarangpun lumayan layak walau dipakaikan baju rumah sakit. Karena wanita ini saksi kunci kasus ini. Walau harus menyisihkan kemanusiaannya, dengan mengurung wanita ini dalam sel. Yang penting kasus mereka selesai. Dan ini juga bukan sepenuh kehendaknya, atasanlah yang memerintahkan semua.

Ia mendekat lalu berjongkok. Ia seketika mengalami dejavu. Keadaan ini mirip dengan ketika ia mengintrograsi. Ia yang menatap tajam dan wanita yang bernama Camelia ini, akan bersembunyi dari lipatan lututnya. Menatapnya ketakutan.

"Kau masih tidak ingat siapa dirimu?"

Camelia menggeleng. Lalau matanya menoleh ke pria satunya. Dan kembali menunduk. Ia takut, jika kedua pria ini membawa senjata dan menyiksanya seperti laki-laki besar waktu itu.

"Kau mungkin tak mengenal Heron. Tapi, apa kau ingat laki-laki bernama Alfa Anderson Cooper?"

Camelia diam. Matanya mengerjab beberapa kali. Keningnya berkerut tanda mencari. Ia merasa tak asing dengan nama itu. Tapi, dimana ia pernah mengingatnya?

Melihat reaksi Camelia yang sedang berpikir keras. James melanjutkan kata-katanya. Ia yakin, wanita ini akan mengingatnya.

"Bagaimana dengan Geo Anderson Cooper? Kau ingat nama ini?"

Ada yang menyentak pikirannya. Sesuatu yang tertanam. Berusaha untuk keluar. Yang terbenam dan terlupakan.

Matanya menatap mata James. Ia menggigit bibir. Kedua alisnya semakin terlipat. Otaknya terus mencari. Rasanya nama itu sangat beharga baginya. Tapi apa? Ia menguak isi otaknya. Mengulang kembali memorinya. Memutar. Namun ia hanya berhenti pada ingatan saat ia terbangun dengan tubuh penuh luka. Tak ada yang ia ingat selain itu.

Ia mencengkeram rambutnya. Terus berpikir. Matanya meliar seiring keras kemauannya untuk mengingat. Deruh napasnya ikut terengah-engah. Dimana ia pernah mendengar nama itu? Di jalan? Kenapa nama itu begitu berharga? Dan membangkitkan kesedihannya? Ada apa dengan nama itu? Kenapa dadanya sesak setelah mendengar nama itu? Sebenarnya apa?

"Pak apa tak sebaiknya kita hentikan sejenak? Dia terlihat ..."

"Tidak, dia berusaha mengingat. Dia pasti akan ingat. Ambilkan foto itu. Foto anaknya."

"Anda yakin? Apakah dia tidak akan terluka?"

"Demi Tuhan Fujio, dia hanya mengingat. Apa yang susah dari itu? Kita tidak menyiksanya. Cepat kemarikan."

"Ini."

James meletakkan selembar foto anak kecil yang sedang menembak ke arah kamera dengan pistol mainan.

Camelia yang sebelumnya, menarik-narik rambutnya. Menjadi beku ketika melihat sosok anak kecil di selembar foto itu.

Air matanya menurun jatuh tanpa tau alasannya. Ada sesak yang menyumbat dada dan kerongkongan. Ia meraih foto itu hati-hati. Menatap anak laki-laki yang sedang tertawa lepas di depan kamera. Lalu tangisannya terdengar. Mengisi ruang kosong sel.

"Apa kau ingat siapa anak kecil itu?"

Camelia menggeleng. Air matanya terus berjatuhan. Isakan kecilnya terus bergema.

"Lantas kenapa kau menangis?"

"Tidak tau." Ia mendekap foto itu ke dadanya. Merasakan dadanya ikut membuncah bahkan akan meledak akan kerinduan yang tiba-tiba muncul. Dan berbaur dengan kesedihan yang mengental.

"Kau benar-benar tidak tau?"

"Pak sebaiknya kita panggil dokter saja. Saya takut dia histeris."

Dan benar saja, Camelia menjerit seraya memukul-mukul dadanya. Ia begitu terpukul. Dan menangis kencang.

James menghela napas, "Mungkin bukan sekarang, panggilkan dokter untuk membuatnya tenang."

"Jangan. Jangan ambil foto ini. Kumohon jangan. Jangan. Kumohon jangan ambil ia dariku."

✍✍✍

Sore menjelang. Di kantor polisi. Semua orang nampak sibuk. Begitupun James yang sedang mengurut keningnya. Matanya menatap layar komputer. Dengan pikiran terfokus dan serius. Tiba-tiba pintunya di buka. Muncul Fujio dengan raut pucat.

"Camelia hilang."

"Apa maksudmu?"

"Dia tidak ada di selnya."

"Bagaimana bisa?! Dia satu-satunya yang kita miliki untuk membuka kasus ini. Dan ini kantor polisi Fujio, demi tuhan. Dimana puluhan polisi berjaga disini."

"Sebaiknya kau kesana, aku menemukan sesuatu."

Dan benar saja. Di sel itu kosong. Ada sebuah benda yang tak seharusnya disana.

Selembar kertas dan flashdisk.

Aku membawa kembali milikku. Dan aku memberikan apa yang kalian butuhkan.

"Heron." Ucap James setelah membaca isi pesan itu.

Flashdisk itu berisi sebuah rekaman cctv. Waktu dan tempat kejadian saat kematian Presiden Fredenmark ditembak. Dan pelaku penembak tertangkap pada kamera. Dimana ada sebuah senapan yang keluar dari celah jendela apartemen. Letaknya agak jauh, namun hebatnya peluru itu berhasil menembus jantung Presiden Fredenmark.

Polisi tidak memperkirakan hal ini. Karena saat kejadian, tidak ada suara tembakan maupun orang yang mencurigakan. Dan posisinya begitu jauh dari jangkauan dan tebakan polisi maupun detektif yang disewa. Saat itu mereka mengira Presiden Fredenmark mati gara-gara ada bom meledak yang ditempatkan dibawah podium. Tapi, ini ditetapkan pembunuhan saat keluar hasil pisum bahwa sebelum terjadi bom, Presiden Fredenmark lebih dulu ditembak lalu sedetik kemudian bom meledak meruntuhkan podium dan melukai beberapa orang. Hal ini diduga untuk menyamarkan aksi pembunuhan.

Dan cctv kembali bergerak ke tempat berbeda. Nampak seseorang berjaket hitam, dengan celana jins serupa, bertopi dan masker menutupi wajahnya berjalan dari lorong apartemen. Ada dua orang disana, satunya seorang bapak-bapak berkepala pelontos. Dengan ransel besar di punggung. Dan memakai sarung tangan.

"Apakah Heron ingin mengatakan bahwa pria itu pelakunya?" Tunjuk Fujio ke pria berpakaian serba hitam.

"Ya, tapi bukan dia pelakunya."

"Maksud anda? Lalu siapa? Bukankah tidak mungkin bapak ini?"

"Semua bisa jadi mungkin jika kau pintar Fujio."

"Saya tidak paham maksud anda pak."

"Aku tau siapa dia."

"Bapak ini?"

"Ken."

"..."

"Si kembar."

"Penyamarannya begitu sempurna. Kau pikir untuk apa sarung tangan itu. Dan ransel besarnya. Dan dia melupakan sedikit, bekas luka di matanya. Walau dia membuat kepalanya jadi botak atau kulit kepala palsu. Bekas luka melintang didahi sangat ku ingat." James mempause vidio, menyetop pada saat bapak dilayar itu menoleh ke belakang. Memperlihatkan wajahnya di cctv.

✍✍✍
11 September 2019
Mohon saran dan kritik 😉
Vote dan komen ya 😊

Remember Me? [Dark Series II] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang