Alfa?

449 57 0
                                    

Camelia mencoba menapaki kakinya ke lantai. Berjalan pelan-pelan dan hati-hati. Tangannya ikut meraba dinding mencari pegangan. Sampai beranda rumah, Camelia duduk di kursi dan meluruskan kaki kanannya. Ia menarik napas kepayahan dan menghelanya keluar. Sudah tiga hari semenjak insiden dirinya jatuh. Dan kakinya seiring waktu mulai membaik. Tidak sesakit waktu itu. Berjalan saja susah. Dan ia ingat, ketika di periksa waktu itu tak sengaja ia mendengar percakapan antara dokter dan Heron di ruang rawat. Ternyata dugaanya benar, tangan laki-laki itu mengalami patah. Tidak parah. Tapi, Heron didepan dirinya seperti orang sehat. Namun, ia tau, pria itu tak pernah menggunakan tangan kirinya dan kadang-kadang saat dirinya tidur,pria itu diam-diam mengobati tangannya.

"Aku akan keluar sebentar mencari makanan. Kamu tidak apa ku tinggal di rumah?"

"Tidak apa-apa."

"Tunggu disini."

"Hm."

Camelia mematung begitu Heron mendekatinya lalu mengecup keningnya lama. Heron mengurai ciumannya dan berbisik didepan Camelia.

"Aku pergi."

Camelia hanya diam. Tak menjawab sampai Heron hilang dari pandangannya. Ia tak menyangka Heron akan melakukan itu.

Bermenit-menit berlalu, dihabiskan Camelia dengan mengamati sekitarnya. Ia melihat pergerakan sebuah mobil yang berhenti di depan pagar rumahnya. Muncul seorang pria darisana. Berperawakan besar dan tegap. Ia memakai kemeja hitam dan jeans biru. Rambutnya pendek dan agar pirang. Mata pria itu menangkapnya. Laki-laki itu membuka pagar kayu miliknya. Lalu mendekat seraya tersenyum. Namun, Camelia tidak suka dengan senyumnya. Bukan senyum bahagia atau ramah, cenderung memiliki makna lain. Dan ia tidak tau apa itu.

Pria itu berdiri didepannya lalu membungkukkan badan, menatap sejajar matanya, "Akhirnya aku menemukanmu." Suaranya sangat berat dan fals.

"Aku? Kau kenal aku?" Camelia melirik bingung dan agak takut. Perawakan laki-laki ini cukup sangar ditambah bekas luka di pipinya menambah kesan seram.

Pria itu diam. Menatap matanya lama. Lalu alisnya naik satu, "Kau tidak ingat wajahku?"

Camelia menggeleng. Dan senyum itu kembali hadir dan membuat Camelia tidak nyaman.

"Dimana suamimu?"

"Suami? Aku tidak tau."

"Apa maksudmu tidak tau?"

"Aku tidak ingat dia dan tak tau dia dimana."

"Kau hilang ingatan?"

"Kata Heron begitu."

"Ah, Heron. Dia tidak memberitahumu?"

"Belum, kau kenal dia?"

"Sangat kenal, aku sangat mengenalnya Camelia. Hingga rasanya aku ingin membunuhnya."

"Ke--kenapa?"

"Dia membunuh putraku dan membawa kabur istriku."

"Heron sedang keluar." Camelia mengalihkan pembicaraan. Percakapan ini mulai tidak nyaman.

"Aku tidak butuh dia lagi. Sekarang aku sudah mendapatkanmu. Maka dia sendiri yang akan menemuiku. Dan aku tidak perlu lagi untuk mencarinya."

"Kenapa denganku?" Camelia melirik kiri-kanan. Disini benar-benar sepi. Kemana orang-orang?

"Karena kau istriku."

Camelia sontak menatap sosok didepannya, "Istri?"

"Aku suamimu Camelia, Alfa Anderson Cooper."

"Benarkah?" Kedua alis Camelia menyatu.

"Ya, dan putra kita Geo Anderson Cooper." Ujar Pria itu meyakinkan.

Camelia meneliti wajah sosok yang mengaku Alfa didepannya. Kenapa suaminya bisa seseram ini? Namun hatinya masih ragu dengan ucapan Alfa.

Melihat keraguan itu, Alfa menunjukkan belasan gambar di handphonenya. Dan itu semua berisi gambar dirinya dan Geo. Tapi sosok Alfa tak ada di foto keduanya. Camelia masih ragu walau tidak diungkapkannya.

"Sekarang kau percaya?"

"Apa ada foto kita bertiga?"

"Pertanyaan bagus. Aku lupa bagian itu. Tapi, sayangnya aku tidak membawanya."

Dan kecurigaan itu terlihat sekali di mata Camelia.

Sampai Alfa menunjukkan sebuah vidio.

"Tonton ini sampai habis dan ku yakin kau akan percaya padaku."

Camelia membekap mulutnya. Air matanya mengalir tanpa ia setujui. Terlihat disana Heron mengacungkan pistol ke arahnya yang berurai air mata.

"Tidak mungkin."

"Begitulah kenyataannya Camelia."

"Tapi dia begitu baik padaku."

"Baik belum tentu putih Camelia. Kau harus percaya padaku. Dia membunuh Geo dan merenggutmu dariku."

"Aku akan menanyakannya."

"Untuk apa? Setelah kau bertanya mungkin dia akan membunuhmu. Bersamaku kau akan aman. Kita akan melaporkan ini pada polisi. Lalu, kau bisa menjenguk makam Geo."

"Tapi untuk siapa dia melakukan semua itu?"

"Itu semua karena diriku, dia dendam padaku. Dan membalasnya dengan membunuh putra kita dan menculikmu."

"Dendam?"

"Karena aku menabrak putranya sampai mati."

Camelia menatap Alfa, bibirnya sepenuhnya bungkam. Ada kengerian saat Alfa mengatakannya. Bulu kuduknya meremang. Namun, hatinya masih bimbang.

"Ayo, pergi bersamaku. Dan kita akan menjenguk putra kita."

Ia ragu tapi mendengar Alfa akan mempertemukannya dengan Geo. Ia menaruh keyakinan. Dan ia menyambut tangan itu. Walau firasat buruk terus menghantuinya.

✍✍✍

Heron tiba di rumah. Tempat yang diduduki Camelia nampak kosong. Pintu rumah terbuka lebar seperti kondisi saat ia pergi tadi. Awalnya tidak ada praduga apapun. Ia berpikir mungkin Camelia sedang tidur di kamar atau duduk di dalam ruang tamu. Namun saat memasuki rumah. Berjalan ke dapur dan meletakan barang belanja di atas meja makan. Tak ia lihat Camelia disana. Suara berisik tv atau kipas angin, tak terdengar sekalipun. Senyap. Dan muncul sebuah firasat tak enak.

"Camelia, aku sudah pulang." Seru Heron, ia berjalan ke arah tangga lantai dua. Meniti anak tangga satu persatu. Pikirannya terpusat di kamar atas. Tempat mereka tidur. Begitu pintu terbuka, sepi menjawabnya.

Sigap, ia berbalik arah dan membuka tiap pintu didalam rumah itu. Untuk melihat keberadaan Camelia disana. Kecemasan merasuki tiap-tiap kekosongan begitu nyata terlihat. Ia berlari ke belakang rumah lalu ke depan. Menyusuri jalan sambil mengedarkan pandangan. Hingga penghabisan jalan ia memutar langkah, melirik ke halaman tiap rumah orang, barangkali wanita itu ada disana. Sedang berbicara dengan tetangga atau apalah. Sampai kakinya berhenti di halaman depan rumahnya sendiri. Heron menarik napas mengisi paru-parunya yang kelelahan. Cairan keringat membanjiri pelipis dan dahinya. Matanya menatap hampa. Wanita itu tidak disini. Ia kehilangan lagi.

Kemana dia? Apa Camelia mencari Geo? Jika pun iya, wanita itu takkan jauh berjalan dengan kondisi kaki seperti itu. Lantas kemana? Kemana lagi harus ia mencari?

Mengapa harus sesulit ini demi hidup seperti manusia lain?

Heron mengusap kasar wajahnya. Menyela rambut dengan jemari ke belakang. Matanya memejam frustasi. Saat membuka mata, tak sengaja metanya menangkap benda kecil di bawah meja tepat disebelah kursi Camelia duduk saat ia tinggalkan.

Ia mengambil benda itu, ternyata adalah sebuah kalung berbandul dua kapak saling bersilang. Bibirnya langsung terkatup rapat. Wajahnya mengeras. Ia memukul meja didepannya melampiaskan kemarahan. Ia tau siapa pemilik kalung ini. Si bangs*t.

✍✍✍
14 Oktober 2019
Happy reading 😉
Voment yak 😍

Remember Me? [Dark Series II] [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang