—1—
AKU tak tahu siapa yang memulai permainan ini terlebih dulu di musim dingin ini.
Dia selalu lebih dulu datang daripada aku. Selalu seperti itu. Dan ketika aku sampai di tepian permukaan danau yang sudah menjadi es itu, dia tengah menari-nari di atasnya menggunakan sepatu skating-nya.
---
Semuanya berawal ketika aku sedang bertengkar dengan Vanessa—saudara perempuanku. Aku sungguh tidak tahan dengannya pagi itu karena dia terus mengomel hingga aku memutuskan untuk meninggalkan rumah saja. Maksudku, hanya untuk pagi itu saja, bukan selamanya.
Ketika gadis itu tengah berbaring di sofa depan perapian, kukenakan mantel tebal musim dinginku, dan secara diam-diam aku keluar dari rumah terkutuk itu. Maksudku, rumah terkutuk yang ada Vanessa-nya. Omong-omong sekalian, Mom dan Dad sedang pergi ke luar kota.
Aku berjalan di tengah-tengah salju yang turun semakin lebat. Kususuri jalan raya yang tertutup salju tebal. Aku selalu benci musim dingin, tapi kali ini, aku mencoba menghadapinya, menembusnya, hanya agar aku bisa terhindar dari Vanessa.
Ketika aku sudah merasa sangat kedinginan, aku berpikir mungkin harusnya aku pulang saja, tapi itu bukan ide bagus. Jadi, kuputuskan untuk mampir ke rumah Scott, temanku. Tapi sayangnya saja rumahnya sepi, tidak ada orang. Jadi, akhirnya aku kembali berjalan di tengah dinginnya angin musim dingin ini.
Kini aku sampai di sebuah taman bermain. Sepi, tidak ada orang. Tentu saja! Siapa yang mau keluar rumah pagi-pagi begini saat musim dingin hanya untuk bermain di taman bermain? Ada satu, tentu saja itu aku.
Kini aku duduk di sebuah bangku taman. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Ada beberapa wahana permainan dan apalah itu tidak penting juga bagiku. Hingga pandanganku sampai pada... seorang gadis. Ia mengenakan mantel tebal juga seperti aku, dan dia sedang asyik menari-nari di atas es—tepatnya danau yang telah membeku.
Kuperhatikan dia, sepertinya gadis itu tidak melihatku. Rambutnya orange kecoklatan. Warna kulit wajahnya putih pucat. Ia asyik mondar-mandir dengan sepatu skating-nya tanpa menyadari kehadiranku. Kuakui, sepertinya ia pandai sekali menari di atas es. Dan saat kuamati ke sekitaran gadis itu, tidak ada siapa-siapa.
Gadis itu sendirian. Menari di atas es.
"Hei!" tiba-tiba ia berteriak padaku. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan padaku? Hanya ada aku di sini dan dia. Gadis itu melambai padaku. Dan, aku tersenyum bingung padanya seperti orang linglung.
Gadis itu mendekat padaku dengan sepatu skating-nya. "Mau bermain?"
Aku tak pernah menduga bahwa ia akan mengajakku bermain. Maksudku, aku 'kan tidak bawa sepatu skating. Sedangkan tujuanku ke sini hanya untuk kabur dari Vanessa. Jadi, aku bilang padanya, "Ehm, aku tak bawa sepatu skating."
Gadis itu menyeringai lebar, menunjukkan deretan giginya. "Ayolah, aku bawa dua." Ia menunjuk pada sesuatu yang terdapat di bawah pohon, tak jauh dari tempat kami. Sebuah tas punggung. "kau bisa memakai punyaku," lanjutnya.
Kemudian aku mengiyakan ajakannya. Gadis itu berjalan ke arah tas punggungnya yang terletak di sisi pohon. Ia mengambilnya, kemudian kembali lagi padaku yang masih terpaku di sini. Ia menyerahkan tasnya, dan aku menerimanya. Aku membuka tas punggung itu, lalu tanganku mengambil isinya, sebuah sepatu skating. Aku memakai sepatu itu. Rupanya sepatu itu sangat pas pada kedua kakiku ini.
"Hei, ini pas di kakiku," ujarku padanya.
Ia tertawa. Dan oh, giginya terlihat lagi. Kedua matanya jadi amat sipit. Dan, satu lagi. Gadis itu punya lesung pipit. Aku menyukainya. Maksudku, aku menyukainya saat gadis itu tertawa dimana lesung pipitnya muncul.
Kemudian, aku menuju ke tengah-tengah danau bersamanya. Kami berpegangan tangan. Maksudku, aku yang memintanya untuk berpegangan. Mungkin terdengar norak, tapi ini pertama kalinya aku bermain ice skating tahun ini setelah beberapa tahun terakhir tidak bermain sehingga mungkin aku sudah lupa bagaimana caranya. Oke, jangan tertawa.
Gadis itu melepas peganganku perlahan, membiarkanku agar bisa berdiri sendiri di atas es. Dan oh! Aku terjatuh! Payah sekali aku ini. Oke, ini bukan pertama kalinya aku jatuh di atas es, tapi berkali-kali dalam enam belas tahun. Lelaki payah.
Gadis itu membantuku berdiri. Sekali lagi, dia memegangi lenganku, dan aku juga bertumpuan pada lengannya.
Sekarang, dia mengajakku untuk meluncur perlahan-lahan. Kau bisa bayangkan bagaimana aku berpegangan padanya erat-erat. Sungguh aku tak mau jatuh lagi, apalagi di hadapan seorang gadis.
Oke, sekarang dia melepasku. Akhirnya aku bisa meluncur sendiri di atas es. Aku bersorak girang, seperti seorang anak kecil yang baru pertama kali lancar naik sepeda roda dua. Aku juga bisa mendengar gadis itu tertawa karena melihatku.
"Hei, kita belum kenalan," aku membuka percakapan, mengingat bahwa kami sepenuhnya belum mengenal satu sama lain.
Ia mendekat padaku, dan menyebutkan namanya, "Elena."
"Vero. Dan, terima kasih sudah membantuku meluncur di es. Oh, ya. Apa kau besok ke sini lagi?"
Ia tersenyum manis, lalu berkata, "Tentu saja ke sini. Aku selalu ke sini."
Namanya Elena. Dan ia adalah gadis pertama yang bermain ice skating denganku.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
1# A Girl with her Loneliness
Historia CortaAku melihatnya kala itu. Tentu dengan kedua mataku, kau harus tahu itu! Dia sungguh nyata, tapi sebenarnya tidak benar-benar nyata. 13 November 2018