—2—
HARI ini aku pergi dari rumah lagi. Bukan untuk kabur dari Vanessa, melainkan untuk ... kau tahu? Bermain ice skating dengan gadis itu.
Pagi ini ini aku sudah berbaikan dengan Vanessa, dan juga sudah berpamitan dengannya bahwa aku akan pergi ke danau untuk bermain ice skating bersama temanku.
Kali ini aku membawa sepatu skating sendiri. Ah, kupikir gadis itu tidak akan membawa sepatu cadangan lagi mungkin.
Ketika aku sampai di taman bermain rupanya gadis itu sudah ada di sana. Asyik meluncur di atas es. Saat ia melihatku, Elena melambai sambil tersenyum, seperti kemarin. Aku membalasnya dengan sesimpul senyum penuh arti.
Lalu, aku duduk di bangku yang sama dengan yang kemarin aku duduki. Niatku sih, hanya ingin memakai sepatu skating-ku. Namun saat aku mencoba memasukkan kaki kananku ke lubang sepatu, ugh, rupanya kakiku tidak muat! Aku tak tahu kenapa. Tapi, terakhir kali aku memakainya adalah saat musim dingin setahun yang lalu. Apakah aku tumbuh terlalu cepat?
Aku berdecak kesal sambil membanting sepatuku. Sial! Aku tidak jadi bermain!
Kusadari Elena tengah meluncur ke arahku duduk. Saat sampai di pinggiran danau, ia bertanya, "Hei, tidak bermain?"
Aku tersenyum tipis, lalu mengarahkan pandanganku pada sepatu yang kubanting tadi. "Rupanya aku tumbuh terlalu cepat. Jadi, sepatuku tidak muat."
Dia mencoba menenangkanku dengan berkata, "Tenang saja, aku masih membawa sepatu cadangan yang kemarin kau pakai, kok." Ia menyodorkan tas punggungnya. Sama seperti kemarin, aku kembali memakai sepatu miliknya. Dan sepatu itu sangat pas di kakiku, tidak seperti punyaku yang tadi.
Kemudian kami menuju ke tengah-tengah permukaan es. Dan ya, seperti yang kau tahu, bermain skating itu mungkin hanya meluncur mondar-mandir di atas es, tapi kau juga harus tahu bahwa, ini menyenangkan! Sungguh! Apalagi, aku bermain bersamanya, Elena, gadis yang kutemui kemarin itu sangat cantik meluncur di atas es.
Kami berlomba, siapa yang duluan sampai di ujung danau, dialah pemenangnya. Aku terus mempercepat langkahku meluncur di es, namun rupanya ia lebih cepat daripada aku. Secepat-cepatnya aku meluncur, rupanya dialah pemenangnya. Ya, harus kuakui, dia hebat!
Siapa yang menang tak dapat apa-apa, dan yang kalah juga. Toh, ini hanya sebuah permainan. Lagipula kami hanya berdua. Jadi, siapa yang peduli?
"Hei, omong-omong, kenapa kau selalu membawa sepatu cadangan?" aku membuka suara bertanya padanya. Yah, berbasa-basi.
"Yah, kupikir mungkin saja nanti ada yang akan mau main denganku." Ia mengedikkan kedua bahunya.
"Lalu, di mana teman-temanmu?"
Elena diam untuk beberapa detik, hingga ia menjawab, "Hm, aku tak pernah punya teman musim dingin. Maksudku, mereka tak mau kuajak main ski." Gadis itu menatapku. Ada sedikit rasa kesedihan yang tersimpan di matanya, aku tahu itu. Mungkin, gadis itu kesepian. Tapi, kali ini dia beruntung. Saat ini dan kemarin, aku telah bermain dengannya.
Aku mencoba untuk mencairkan suasana sendu di hadapannya. "Kau tak perlu khawatir, ada aku. Kita bisa bermain sepuasnya, ya 'kan?"
Kemudian Elena tersenyum manis. Mungkin, dia bahagia punya teman sepertiku. Ah, tidak juga. Apa yang bisa diharapkan dari seorang Vero yang payah ini? Bermain ski saja harus dibantu Elena.
"Terima kasih sudah mau jadi temanku." Elena tersenyum lagi, dan ah, aku suka itu.
"Oh, ya. Aku rasa aku harus pulang dulu. Aku kedinginan," ujarku sambil memeluk tubuhku sendiri. "kau juga mau pulang tidak?"
"Oh, baiklah. Kau pulang dulu saja. Aku masih ingin bermain."
Aku memang payah. Anak laki-laki berumur enam belas tahun yang kalah dengan seorang Elena. Kedinginan duluan padahal gadis itu kelihatannya sama sekali tidak. Bahkan, ia datang lebih dulu dari pada aku, dan aku malah pulang lebih dulu daripadanya.
Jadi, aku pun pulang. Meninggalkannya yang masih asyik bermain ski di atas danau es yang membeku. Dan, satu lagi. Dia sudah berjanji akan datang lagi besok. Aku rasa aku harus juga. Aku tak mau melewatkan kesempatanku bermain ski bersama seorang gadis manis.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
1# A Girl with her Loneliness
Short StoryAku melihatnya kala itu. Tentu dengan kedua mataku, kau harus tahu itu! Dia sungguh nyata, tapi sebenarnya tidak benar-benar nyata. 13 November 2018