—4—
"ELEENAAA!" aku meneriakkan nama Elena dengan kerasnya, namun setelah itu hening. Tidak ada jawaban.
Aku merasa khawatir, jantungku berdegup kencang. Aku tak tahu harus berbuat apa, hingga akhirnya hal bodoh yang bisa kulakukan adalah memanggil nama Elena sekali lagi. Namun masih sama, tidak ada jawaban.
Kurasakan air mataku menetes, aku menangis. Astaga, benar-benar seperti seorang anak kecil aku ini. Aku khawatir dengannya, apakah dia masih hidup? Oh, apa yang harus kulakukan? Aku bingung.
Terduduk lemas di tepi danau, aku menangis semakin sejadinya. Sudut mataku masih menatap lubang besar es di depan sana, berharap Elena akan muncul dan berkata 'aku baik-baik saja.' Namun sepertinya itu mustahil karena selama beberapa kali hembusan napas, aku hanya bisa terisak dan terisak.
Perlahan, aku mulai berjalan menuju ke lubang es besar itu. Saat aku sampai di sana, kuperhatikan baik-baik air dingin yang ada di bawahnya, namun tidak ada tubuh Elena. Bahkan tidak ada apa pun. Yang ada hanyalah sebuah kubangan air dingin yang pinggirnya adalah es.
Sekali lagi, kupanggil namanya, tetapi tetap sama. Tidak ada jawaban. Aku kembali menangis. Tubuhku berguncang. Aku menyesal. Aku menyesal kenapa harus Elena yang jatuh, kenapa bukan aku saja.
Kemudian kucoba berpikir keras. Aku harus meminta bantuan! Ya, aku harus cari bantuan!
Sesegera mungkin aku berlari, meninggalkan lubang besar es itu. Meninggalkan danau es itu.
Aku berlari menuju rumah di seberang jalan, rumah Elena. Kupikir, yang pertama harus kuberi tahu adalah keluarganya.
Aku mengetuk pintu rumah Elena dengan terburu-buru. Dan rupanya di samping pintu ada bel, jadi aku menekannya berkali-kali, berharap sang penghuni rumah segera membukanya.
Lalu, seseorang membukanya. Kulihat bahwa dia seorang laki-laki, mungkin lebih tua dariku. Dia melihatku dengan sinis, sambil memarahiku, "Ada apa sih, mengganggu tidur siang orang saja!"
"Eh, itu. E-Elena tercebur ke dalam danau!" aku mengaku sambil terbata dan terburu-buru.
Lelaki di hadapanku menatapku bingung, kedua alisnya terpaut menyatu. "Kau ini bicara apa, hah?! Kau gila ya?"
Aku tak mengerti apa maksudnya. Dia bilang aku gila?
Kemudian aku kembali berkata, "Aku serius! Elena tercebur ke dalam danau itu! Apa kau adalah kakaknya? Cepat tolong dia!" aku menunjuk ke arah letak danau dan juga taman bermain.
Lelaki di hadapanku mendesah, kemudian dia tertawa kecil, hambar. Kedua lengannya mencoba menenangkanku. Aku bingung kenapa dia tidak cemas sama sekali, padahal aku sudah sepanik ini.
Kemudian setelah aku agak tenang, dia kembali berkata, "Adikku Elena sudah meninggal satu tahun yang lalu."
Apa? Apa maksudnya?
Kemudian, ia kembali berkata, "Tercebur ke dalam danau yang dingin hanya karena menyelamatkanku. Dan kau harus tahu, mungkin yang tenggelam di sana adalah arwahnya. Beberapa minggu yang lalu juga ada seorang anak laki-laki kira-kira seusiamu, datang padaku dan berteriak panik juga sepertimu."
Apa?! Apa-apaan ini?! Lelaki ini berkata seperti itu? Padahal jelas-jelas sejak kemarin aku telah melihatnya nyata dan lubang es di tengah-tengah danau itu juga benar-benar sungguhan.
Tidak, aku tidak percaya padanya! Mungkin lelaki ini gila!
Jadi, aku berlari meninggalkan lelaki itu, menuju danau tadi. Aku ingin menyelamatkan Elena sendiri saja.
Ketika aku sampai di sisi danau, kusadari aku tak melihatnya. Lubang besar es itu tidak ada.
---
telah diedit,
13 November '18
ketika musim dingin
di Jogja.
musim dingin tanpa salju,
hujan.—yanti nura

KAMU SEDANG MEMBACA
1# A Girl with her Loneliness
Historia CortaAku melihatnya kala itu. Tentu dengan kedua mataku, kau harus tahu itu! Dia sungguh nyata, tapi sebenarnya tidak benar-benar nyata. 13 November 2018