Oke. Assalamualaikum, semuanya!
Gue sering banget ditanyain sama pembaca, "Coy, lu bisa bahasa jawa?"
Cih.
Gue ditanyain gitu, langsung deh congkak gue keluar. "Jangankan bahasa jawa, ya. Bahasa alien, bahasa pluto, bahasa hati aja gue lancar!"
Habis itu gue nangis dipojokan. Karena kenyataannya, gue udah hampir 8 tahun tinggal di Kota Malang, tapi tiap gue ngomong pake bahasa jawa ... gue dibilang kumur-kumur! Buat kalian yang merasa mem-bully gue dengan itu ... tengkyu loh ya! Kalian akan lihat pembalasanku! Huahahahaha! *tawa iblis*
Nah, di sini gue mau cerita ke kalian mengapa kita itu sangat butuh belajar bahasa jawa.
*****
Gue pindah ke Malang sekitar pertengahan bulan Juni 2009. Gue pindah dari Bogor ke Malang setelah lulus SMP. Gue inget banget waktu hari pertama gue masuk SMK setelah selesai menjalani masa MOS. Waktu itu gue masih polos, belum banyak dosa, ramah, suka menabung dan sebagainya.
Di kelas, gue kenalan sama Felis, Jouly, Tania, Shan, Diana sama Claire which is membuat kita mendeklarasikan diri menjadi A7P. Kita bertujuk suatu hari duduk depan kelas. Kita membahas tentang kehidupan remaja kita yang akan kita lalui bersama secara sadis.
Eh, gak berapa lama, ada gerombolan anak jurusan lain, lewat. Mereka ngelewatin kita di koridor sambil ngomong 'amiit'. Enggak berapa lama setelah itu, ada lagi yang lewat sambil berkata hal yang sama.Amit.
Gue yang baru berapa hari berada di Kota Malang pun terdiam. Gak enggak ngerti kenapa orang-orang tadi lewat sambil bilang 'amiit'. Temen-temen gue mah cuma diem kayak ayam habis disunat.
"Kenapa lu?" tanya si Tania.
"Gue kesel, kenapa mereka enggak permisi ngelewatin kita? Kenapa mereka malah ngomong amit-amit?" kata gue.
Akhirnya, gue pun berdiri. Gue kejar cewek-cewek pakai celanan agak ketat itu (maklum, di SMK kan enggak pake rok).
"Heh!" panggil gue.
Karena enggak ada yang namanya 'heh', mereka yang notabene orang lima pun celingukan. Mereka menatap gue seolah gue adalah gorengan basi dari seminggu yang lalu. Menjijikan. Jadi, itu sebabnya mereka manggil gue amit-amit?!
Fix. Mereka kudu dihajar sampai pintar.
"Kenapa, Mas?" tanya cewek yang rambutnya diikat tinggi kaya monas.
waduh.
Oke, dulu gue emang 'rada laki' dan rambut gue potong pendek banget sampe dibilang mirip sama Cakha Idola Cilik (sumpah gue enggak tahu itu orang). Tapi, tetap aja gue merasa terhina kalau dipanggil mas.
"Cewek, nih," koreksi gue kesel. Mereka berlima kembali celingukan, seolah saling telepati pemikiran mereka. "Kalian anak jurusan apa? Berani-berani ngelewatin gue sambil bilang amit-amit?!" sentak gue kemudian.
Cewek ber-body seksi macam bass betot pun maju. "Kapan kita manggil kamu amit-amit, sih?" tanya dia dengan logat jawa medok banget.
Gue pun maju. "Tadi!"
"Tapi kita enggak bilang amit-amit. Kita bilang amit doang, Mbak!"
"LIIIIIIIIIZ!" teriak Diana dari belakang, kenceng banget sampe-sampe bendera merah putih di lapangan berkibar dengan sendirinya.
"Apa?" sahut gue.
Diana senyum-senyum ke lima cewek di seberang. "Maaf, Mbak. Teman saya ini bukan asli sini, jadi enggak paham bahasa jawa."
KAMU SEDANG MEMBACA
What A Girl Thinks
HumorBukan alien, tapi cuma cewek yang kebetulan sering dibilang somplak. Sering dipanggil cah gendeng, cah pekok, cah setres dan cah sesat. Padahal semua itu Tidak Salah. Namanya Liza, dan itu gue. Gue syedih.