Suatu pagi di Hari Minggu, waktu itu gue masih duduk kelas satu SMP, gue boseeeen banget di rumah. Nonton TV bosen, nonton film bosen, nonton orang mandi bosen, pokoknya bosen lah. Semua kakak gue maen sama temen-temennya masing-masing, dan adek gue terlalu kecil dan gak banget buat diajak maen bareng, gue pun memilih ngikut bokap gue yang mana mau pergi berburu burung di hutan. Walau nyokap awalnya ngelarang, gue tetep aja ngotot. Bokap gue lah yang jadi pahlawan, dia yang minta nyokap ngebiarin gue ikut. Tapi ya gitu, baju gue udah kaya mau ikut tahlilan, pake baju panjang yang biasanya gue pake ngaji dan gak ketinggalan pake lotion anti nyamuk. Sungguh terlalu Mama!"Yah, kok sepi sih?" Tetew..teretetew..tet..teretetew..terereret..Tew! Awe...Awe.... (#Tiba tiba kemasukan Caesar YKS). Gue sedikit takut waktu kita mulai memasuki hutan yang teduh. Sinar matahari enggak terlalu banyak yang bisa sampe tanah karena pohon-pohonnya rimbun banget.
Ayah gue konsentrasi nyiapin senapannya. "Kalo rame mah di pasar atuh Liz." Kata dia. Oh iya juga sih. "Kamu duduk di sini, jangan berisik ya." Gue pun nurut, takut aja kalo ngebantah nanti ditembak. Ayah gue berdiri lima meter dari tempat gue duduk. Dia membidik jauh, senapannya diangkat membentuk sudut 45 derajat.
"Yah.."
"Apaaaa????" Ayah gue kelihatan nahan gondok. "Ayah mau nembak nih, jangan ganggu."
"Hehehe." Gue manggut-manggut. BAhaya juga kala Ayah gue khilaf terus nyangka gue burumg terus ditembak. Ayah pun kembali berkonsentrasi. "Suasana sepertinyamulai memanas, kita lihat di tengah lapangan ada ayah yang mulai membidik, ia sudah mendapatkan target rupanya Bung! Mampukah senapan itu merobek pertahanan lawan?????? Daaaaaan......!!!!!!!!!!!"
DORRR!!!!
"Oh sayaang sekali melebar begitu saja di samping batang rupanya..." Kata gue sambil masang wajah sedih.
Ayah: T_____________T "Kenapa kamu komentarin ayah pas nembak sih? Kan ini bukan maen bola."
Gue: "Abis ayah nembaknya kelamaan, bosen ngelihatnya." Kata gue membela diri.
Ayah: "Emang nembak itu gampang apa?! Harus dibidik biar tepat sasaran Lizaaa!"
"YAh aku nyoba dong." Gue masang wajah imut. "Sekali aja."
Ayah gue ngegeleng, "Enggak boleh, bahaya!"
"Sekali doang yah." (Mewek mode on)
Ayah gue terlihat serba salah. Asal kalian tahu gue ini anak kesayangan bokap, jadi bagi dia kalo ngeliat gue sedih, dia juga ikut sedih. "Oke, sini ayah ajarin." Kata ayah gue luluh akhirnya. Dia menyuruh gue berdiri tegak sambil naro senapan itu di tangan kiri gue.
"Yah. tembakkannya kok gede banget sih?" Tanya gue menyadari ukuran senapan itu jauh lebih gede dari yang gue bayangkan.
Ayah gue: -________- "Udah jangan komentar mulu. Nih sekarang Kamu lihat burung itu?" Tunjuk ayah pada sebuah pohon kelapa. Gue pun ngangguk. "Meremin mata kanan Kamu biar lebih tajem, kaya gini nih." (Ayah meragain orang mata picek ==>> >__= ) "Bisa?"
Gue: O_______< <<== Kurang lebih gitu lah.
Ayah: "Sip.sekarang Kamu taro tangan di sini.." Ayah naro telunjuk gue di pemicu senapan. "Nanti pas.."
DORRRRR!!!
(Gue gak tau kenapa, tiba-tiba senapa gue kaya meledak gitu, dan burung-burung yang hinggap di pohon langsung pada terbang semua)
Ayah: "Jangaan ditarik duluuuu, ayah kan belum nyuruuuh!!! Tuh kan malah nembak, kalo salah tembak terus kena ayah gimana??!"
Gue: "Hehehehe, maaf yah :( sekali lagi deh."
"-_________- Hmmm, burungnya terbang semua deh." Ayah pun tetep gigih ngajarin anaknya ini. "Kalo burungnya udah diem, terus Kamu udah ngerasa pas baru ditembak, oke?" Gue manggut. "Nah sekarang Kamu bidik burungnya." Perintah ayah, gue pun lakuin. "Tahannnn...Nah baru tembak!"
"Yah tembak apanya?"
"BURUNGNYAA!"
"Nanti burungnya kesakitan Yah." Kata gue sedih.
Ayah gue: @_______@ "Kamu jadi nembak apa enggak sih??!"
Gue berfikir seribu kali lagi. "Tapi nanti Kalo burungnya luka gimana Yah? Mati dong?" Kata gue sambil natap ayah.
"Itu senapan angin Lizi,burungnya gak akan mati. Nanti kalo dia luka kita sembuhin terus kita rawat di rumah." Gue memutar badan dan menghadap ayah gue, masih ragu buat nembak. "Senapannya jangan kamu hadepin siniiii!" Ayah gue panik.
"Oh." Gue ngadep ke pepohonan lagi. "Oke deh yah, aku siap!"
Ayah gue tersenyum. Dia ngajarin gue kaya tadi lagi, tapi bedanya dia berdiri dua langkah di belakang gue. "Nah itu ada burung!"
Gue: "Sekarang yah?"
Ayah: "Iya!!"
Gue: "Enaknya tembak dimana nih Yah?"
Ayah: Hnnnnngggg -_____- "DI mana ajaaaa!"
Gue: "Aku bingung Yaaaah!"
Ayah: T________T "Badannya aja!"
Gue: "Oke, kakinya aja deh."
Ayah: ERRRGGHHH "CEpetan keburu terbang itu burung!"
Gue: "Terbang kemana yah?"
Ayah: "KE rumahnya lah Lizi!"
Gue: "Ayah tau rumahnya?"
Ayah: "CEPETAN DITEMBAK LIZI! BURUNGNYA UDAH MAU PERGIIII!"
DORRRRRRRRRRRRR!!!!
Ayah gue ===>> O___O "HARUSNYA KASIH ABA ABA DONG KALO MAU NEMBAK. AYAH JANTUNGAN NIH!" gue cuma ngakak, sementara ayah gue ngelus dadanya sambil baca doa tolak maut.
Gue: "Yah mana burungnya?" Gue baru nyadar.
Ayah gue lari ke pohon yang tadi ada burungnya. "WAh Liziiii! Burungnya kenaaaaa!" Ayah gue lari ke gue sambil bawa burung yang nciet-nciet manggil emaknya.
Gue langsung terharu men. Ini adalah tembakan pertama dan gue langsung dapet. "Aku kasih nama Kamu Milo ya." KAta gue dengan mata berkaca-kaca.
Ayah gue: -___-
Gue: "Yah ayo pulang, kita gips kakinya Milo."
Ayah gue: "Oke deh oke." Ayah gue ngelus kepala gue.
Gue: "Yah ini burung apa namanya?"
Ayah gue: "Burung kuntul."
Gue: "Waaaaaaah, ini nih namanya burung kuntul!" Kata gue semangat. "Yah minggu depan kita berburu lagi yok??"
Ayah gue: =,= "Enggak bakal lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
What A Girl Thinks
HumorBukan alien, tapi cuma cewek yang kebetulan sering dibilang somplak. Sering dipanggil cah gendeng, cah pekok, cah setres dan cah sesat. Padahal semua itu Tidak Salah. Namanya Liza, dan itu gue. Gue syedih.