To the teenagers who live in this century,
Gue mau bilang mari kita rapatkan barisan dan bersama-sama menguatkan diri. Bukan hanya godaan pergaulan dari luar, tapi juga hasrat serta keinginan liar dari dalam. Gue merasakan apa yang kalian rasakan walaupun kenyataannya gue enggak bisa dibilang lagi "teenager" ya. Tapi, jiwa itu bukan masalah umur, melainkan passion, semangat dan sebagainya.
Jiwa muda yang gue miliki ini didasari oleh bukti-bukti yang real, such as gue masih minum susu sapi yang tinggi kalsium, tidur teratur, sikat gigi pagi setelah sarapan dan sebelum tidur, makan-makanan bergizi tinggi guna pertumbuhan (meski tinggi gue mentok di 163 cm aja sih). Eventhough I am offcially 23 this year, dunia gue itu masih berputar-putar di sana aja. Jangan kira gue bakalah gahol terus kehidupan gue mulai berubah ke arah 'bebas'. Nope, it ain't my style meski gue nanti dikasih kebebasan.
Jadi, intinya adalah ...
Gue masih muda.
Udah, itu aja.
Gue enggak suka ngomong yang berat-berat karena takut gumoh sendiri.
Oh, iya. Akhir-akhir ini, gue makin sering kena omel nyokap. Alasannya beragam. Gue yang suka main game sampe tengah malam, bangun pagi sering kesiangan, males masak, males diajak ke mana-mana, males ini, males itu. Garis besarnya sih karena gue males.
Gue yang sejak Juli kemarin berhenti kerja karena bener-bener mentok jenuh dan ada masalah sama hati dan pikiran berkaitan dengan people who work there too, akhirnya memilih tinggal di rumah sambil mencari pekerjaan lain. But, guess what? Gue keenakan sampai gue males buat kerja lagi.
HA HA HA.
Jangan ditiru, ini hanya sekadar sharing dan ambil positifnya aja (meski kemungkinan besar enggak ada).
So, gue pun minggu kemarin bangun tidur dengan kepala cenut-cenut waktu nyokap ngomel akbar. She rushed to my room with big cruel eyes like those can swallow me alive. Dan dalam satu tarikan nafas, dia teriak, "LIZIIIIIIIIIIIIIIIIIIII BANGUUUUUUUUUUUN!"
Gue terjengkang. Takut malaikat pencabut nyawa udah kekeselan sama gue yang jauh dari pintu taubat. Gue pun duduk dengan mata terbuka lebar karena kaget dan pandangan kosong. Ah, gue masih idup.
"Mama kenapa sih marah-marah mulu?" tanya gue setelah urat kesadaran sudah kembali kendor dan bekerja secara optimal.
Nyokap masih kesel. "Bangun kamu! Udah siang bolong nih!"
"Nanti aku tambal mah kalau bolong," jawab gue yang berniat kembali tidur.
Nyokap enggak terima. Akhirnya dibukalah pintu kamar serta jendela gue lebar-lebar hingga angin dari luar menyerang pakai kekuatan avatar pengendali udara.
"Ampun, Mah!" teriak gue sambil berdiri di tempat tidur.
"Cepet mandi kamu tuh terus masak sana bikin sarapan!"
Tanpa pikir panjang gue pergi ke kamar mandi sebelum dikutuk beliau menjadi Tugu Malang yang kedua. Di kamar mandi, gue berendam di bathtub dan hampir ketiduran saking enaknya berendam air hangat. Setengah jam kemudian (lima belas menit tidur), gue pun selesai dan setor muka ke dapur.
Masaknya enggak ribet, cuma bikin tumis ketan dengan bumbu bawang merah dan bawang putih sama goreng ikan teri, ini makanan khas Palembang bukan, ya? Soalnya orang Malang kayaknya enggak pernah sarapan pakai ketan deh. Heehee.
"Kamu tuh, nanti punya suami, masa bangun siang mulu?" sindir nyokap.
Gue, Bokap, Bayu dan Nyokap duduk di meja makan bareng. Sementara Bang Noufal dan istri (nikah desember 2017 kemarin) udah berangkat kerja.
"Aku bangun pagi, Mah. Siang itu kalau jam 12 nanti," bantah gue.
"Udah, jangan ngelawan. Kamu itu makin hari makin malas. Kenapa , sih?!" tanya nyokap lagi, sementara Bayu udah bawa piring ke lantai 2 biar enggak kena omel juga. Maklum, nyokap kalau udah mulai ngomel, satu jagat Indonesia raya ini juga bakal kena sambar.
Gue melirik bokap, mencari secercah pertolongan, namun tampaknya bokap juga takut kena sambar. Akhirnya, gue pun menghela napas panjang.
Andai nyokap tahu, apa yang bikin gue sebenernya keluar dari kerjaan lama, apa yang bikin gue semakin menutup diri, apa yang bikin gue males menyambut pagi, apa yang bikin gue selalu menghindar tiap ada acara keluarga besar, dan sebagainya.
Mungkin, nyokap bakal berubah cara pandang ke gue.
Tapi, semales-malesnya gue, gue itu masih sering denger istilah 'istri-able' dari orang-orang ke gue. Bukannya sombong melainkan congkah nih, ya, hahahaha. Gue tuh udah kaya ibu rumah tangga! Dari masak, nyapu, ngepel, nyuci, (nyetrika masih nyokap karena gue itu enggak suka sama panasnya), dan lainnya. Tiiiiiaaaaap hariiiiiii!
"Enggak apa-apa, Mah," jawab gue ceria. Karena menurut gue, ortu enggak perlu tahu perasaan gue, isi pikiran gue, bahkan seluruh hal-hal yang bikin gue stres. Gue pengen mereka bahagia tanpa kepikiran sama gue.
"Kamu tahu enggak, males itu mau diobatin pakai obat mujarab apa pun enggak akan bisa!" celoteh nyokap dengan indahnya.
Dengan bijak, bokap nambahin, "Kalau males itu nanti sama mertua kamu dilempar lewat pintu belakang."
Gue melongo. "Nih akibat kebanyakan nonton sinetron. Enggak semua mertua itu jahat, Ma, Yah. Mereka itu juga tahu lah namanya gadis baru nikah, masa langsung gesit kaya emak-emak. Hmmm," protes gue terus ngunyah lagi. "Lagian, nanti aku car mertua yang udah tuaaaa banget. Jadi dia udah enggak ada tenaga buat marah-marah. He he he."
Bokap gue nggeleng-nggeleng sambill nahan ketawa. "Kamu tuh, lihat nenek waktu tua, makin rewel. Yang ada kamu tambah repot ngurusinnya nanti."
"Ya udah nanti mertuaku aku ajak shopping terus biar bahagia," timpal gue.
"Hmm. Lihat kan anakmu, Yah? Makin pinter ngomongnya," celetuk nyokap. "Emang, males itu enggak ada obatnya!"
Habis makan gue langsung cuci piring dan siap-siap.
"Kamu mau ke mana?" tanya bokap.
Gue melirik nyokap yang duduk di sofa sambil nge-check Whatsapp-nya. "Mau ke dokter."
"Lah? Ngapain?" bokap makin penasaran.
"Minta obat penyembuh males," seloroh gue siap-siap lari dari nyokap.
*adegan selanjutnya mengandung kekerasan jadi enggak gue tulis di sini he he he*
KAMU SEDANG MEMBACA
What A Girl Thinks
HumorBukan alien, tapi cuma cewek yang kebetulan sering dibilang somplak. Sering dipanggil cah gendeng, cah pekok, cah setres dan cah sesat. Padahal semua itu Tidak Salah. Namanya Liza, dan itu gue. Gue syedih.